Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Ticker

6/recent/ticker-posts

Harun Nasution, Mu’tazilah dan Mitos Pembaruan

Oleh: Qosim Nursheha Dzulhadi

HARUN Nasution (1919-1998) dikenal sebagai pemikir rasional Indonesia, yang mengklaim dirinya sebagai neo-Mu’tazilah. Klaim ini membawa kepada pengakuan lain bahwa ia merupakan pengikut yang absah dari gerakan pembaruan Abad Pertengahan Mu’tazilah.

Klaimnya ini dia buktikan dengan thesis doktronya di McGill University, Montreal, Canada, tahun 1968 dengan judul The Place of Reason in Abduh’s Thology, Its Impact on his Theological System and Views. Disertasi ini kemudian diterbitkan menjadi buku dengan judul Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), cet. I, 1987).

Harun mengkritik bahwa runtuhnya teknologi dan ekonomi dunia Muslim sebagiannya disebabkan karena mereka menganut paham teologi Asy’ariyyah. Karena dalam pandangan Harun, teologi Asy’ariyyah adalah fatalistik. (Lihat, Fauzan Saleh, Modern Trends in Islamic Theological Discourse in 20th Century Indonesia: A Critical Study (Leiden: E. J. Brill, 2001), hlm. 198-200).

Dalam tulisannya “The Mu’tazila and Rational Philosophy”, Harun menyatakan, “The doctrines of dynamism, human freedom and accountability, rationalism and naturalism taught by the Mu’tazila contributed significantly to the development of philosophy and the religious and secular sciences during the Classical Period of Islamic civilization.” (Lihat, Harun Nasution, “The Mu’tazila and Rational Philosophy”, dalam Richard C. Martin, Mark R. Woodward, and Dwi S. Atmaja, Defenders of Reason in Islam: Mutazilism from Medieval School to Modern Symbol (Oxford: Oneworld, 1997), hlm. 191-192).

Dalam tulisannya di atas, Harun mengklaim bahwa kontribusi Mu’tazilah dalam peradaban Islam klasik begitu signifikan, utamanya pada perkembangan filsafat, agama dan ilmu-ilmu sekular (alam). Klaim Harun tentu saja ini sangat berlebihan. Seolah-olah tidak ada kontribusi dari pemikir dan intelektual lain, khususnya para ulama kalangan Ahl al-Sunnah wa al-Jamāʻah. Padahal, kontribusi pemikiran yang sangat fenomenal sampai hari ini bukan milik Mu’tazilah, tetapi milik Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah. Harun mungkin lupa di Baghdad Mu’tazilah juga tidak memberikan kontribusi apa-apa di abad ke-5.

Sepertinya sama dengan kelompok Syi’ah, Mu’tazilah tidak begitu besar kontribusinya kepada peradaban Islam. Di abad ke-5 juga, misalnya, kelompok Bāṭiniyyah-Taʻlīmiyyah justru merusak tradisi keilmuan. Ini kemudian yang membuat Ḥujjat al-Islām, Imam Abū Ḥāmid al-Ghazālī (w. 505 H/1111 M) bangkit mengkritik dan ‘menguliti’ borok-borok Mu’tazilah. Ketika itu sekte Syiah Bāṭiniyyah tidak memiliki basis keilmuan dan epistemologi yang jelas. (Lihat, Imam al-Ghazālī, Faḍā’iḥ al-Bāṭiniyyah, taḥqīq: Dr. ‘Abd al-Raḥmān Badawī (Kairo: al-Dār al-Qawmiyyah, 1383 H/1964).
Ide rasionalitas Mu’tazilah yang terkenal mungkin dalam al-jadal (etik-berdebat) untuk melawan musuh-musuh Islam ketika itu. Itu pun tidak berlangsung lama. Belakangan, doktrin Mu’tazilah yang menonjol malah ide khalq Al-Qur’ān (baca: kemakhlukan Al-Qur’ān, tidak qadīm). Dan ternyata, doktrin ini merupakan adopsi dari pemikiran Yahudi dan Kristen. Tidak murni ide Mu’tazilah. Makanya ide ini lebih banyak “merusak” daripada “memperbaiki”, yang dalam sejarah dicatat sebagai fitnah khalq al-Qur’ān. (Lihat, Dr. Aḥmad Ḥijāzī al-Saqā, al-Mu’tazilah: Qirā’ah fī Makhṭūṭāt al-Baḥr al-Mayyit (Kairo: Dār al-Burūj, cet. I, 2003), hlm. 91, 135). Dan Imam Aḥmad ibn Ḥanbal yang menjadi eksponen ulama’ Sunni, yang merasakan getirnya fitnah khalq al-Qur’ān, sampai hari ini lebih terkenal dari sekte dan para pemikir Mu’tazilah sendiri.

Ternyata, kebebasan berpikir (ḥurriyyah) yang didengung-dengungkan oleh kaum Mu’tazilah tidak banyak memberikan kontribusi pada peradaban Islam. Kontribusi mereka hanya pada konsep nalar-bebas, selebihnya adalah politis. Malah, menurut Dr. ‘Imārah, konsep kebebasan manusia – dalam berpikir – (al-ḥurriyyah al-insāniyyah) justru problematik. (Lihat, Dr. Muḥammad ‘Imārah, al-Mu’tazilah wa Musykilat al-Ḥurriyyah al-Insāniyyah (Kairo: Dār al-Syurūq, cet. II, 1408 H/1988 M). Dan sampai hari ini ide-ide kebebasan yang kembali diusung oleh kaum modernis dan posmodernis semakin dipertanyakan. Karena modernis maupun posmodernis bias Baratnya begitu kenal. Ide modernisasi yang satu-atap dengan rasionalisasi, sebagaimana banyak disuarakan di awal 1970-an, menjadi wacana yang tak kunjung membumi.

Syeikh Muḥammad ‘Abduh sendiri, yang diklaim oleh Harun Nasution sebagai pelaku rasionalitas Mu’tazilah, tidak seluruhnya berpikir rasional. Justru aliran pemikiran Sunni lebih kelihatan dalam pemikiran Muḥammad Abduh. Jika pun konsep pembaruan yang diusung oleh Abduh merupakan bentuk “dinamisme”, itu bukan mutlak milik Mu’tazilah. Itu sebabnya pembaruan yang dilakukan di Al-Azhar oleh Abduh tidak dikaitkan dengan konsep rasionalitas Mu’tazilah. Lebih dari itu, para mujaddid dalam Islam mayoritas Sunni. Jadi, ruh dinamisme dalam Sunni juga besar. Di sini tampaknya proyek tajdīd tidak serta-merta menjadi milik pendaku rasionalitas (al-‘aqlāniyyah).

Deretan pemikir dan mujaddid pasca Imam al-Ghazālī, adalah Sunni. Sebut saja, misalnya, Imam Ibn Taimiyyah, Imam Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Imam al-Suyūṭī, Imam al-Syāṭibī, bahkan sampai al-Dihlawī, adalah Sunni. Para muḥaddits, fuqahā’, bahkan mufassir juga mayoritas dari Sunni. Sekali lagi, apa yang ditawarkan oleh Harun tentang teologi Mu’tazilah, yang memang ingin disebarkan di perguruan tinggi melalui pengenalan lewat buku Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah sejak 1987 sejatinya tidak membumi. Bisa saja malah elitis sehingga idenya terlalu mengawang dan lupa turun ke bumi.

Untuk itu penting dicatat bahwa: kaum Sunni sendiri bukan para pemikir jumud. Mereka juga berpikir, rasional, dan pastinya menafsirkan realita umat melalui keilmuan mereka. Rasionalitas juga milik kaum Sunni. Itu sebabnya di tangan kaum Sunni pergerakan intelektualitas begitu dinamis dan diakui ampuh. Karena untuk berpikir rasional tidak harus menjadi Mu’tazilah.

Maka penting dicatat bahwa ide pembaruan yang saat ini selalu dikaitkan dengan ide teologi rasional Mu’tazilah hanya mitos belaka. Tidak lebih. Wallāhu aʻlamu bi al-Ṣawāb!

Penulis adalah guru ngaji di Pondok Pesantren Ar-Raudlatul Hasanah, Medan, Sumatera Utara dan pengurus Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Sumatera Utara

Posting Komentar

0 Komentar