Prawoto
Mangkusasmito dilahirkan di desa Tirto Grabak, Magelang, Jawa Tengah
pada tanggal 4 Januari 1910. Ia adalah putra sulung dari Mangkusasmito,
seorang lurah dari keluarga santri yang taat beragama. Latar belakang
pemahaman Prawoto dalam bidang agama cukup baik. Sejak kecil ia sudah
belajar mengaji di pesantren dan surau. Ajaran
agama yang dipahaminya juga ia terapkan dalam perilaku keseharian.
Namun, pendidikan agamanya tidak ia lanjutkan ketika ia masuk sekolah
dasar dan hidup di lingkungan perkotaan. Prawoto masuk sekolah HIS di
Temanggung pada tahun 1917. Di sana, ia berteman dengan Mohammad Roem.
Setelah tamat HIS, ia melanjutkan studinya ke MULO di Magelang, di sini
Prawoto bertemu dengan Yusuf Wibisono. Selanjutnya Prawoto memasuki
AMS-B di Yogyakarta dan tamat pada tahun 1931.
Prawoto
mulai bersentuhan dengan pergerakan Islam ketika ia sekolah di AMS
Yogyakarta. Ia masuk organisasi pemuda Jong Java. Prawoto kemudian aktif
di Jong Islamieten Bond (JIB), sebuah organisasi pemuda Islam yang
mayoritas anggotanya terdiri dari pelajar-pelajar bumiputera dari
sekolah Belanda. Prawoto menikah dengan gadis Yogya yang bernama
Rabingah pada tanggal 20 Oktober 1932. Pada tahun 1935, ia melanjutkan
studinya di Rechts Hoogeschool (RHS) di Jakarta. Ia juga mengajar di HIS Muhammadiyah dan aktif sebagai anggota pengurus Studenten Islam Studie Club (SIS) dan kemudian menjadi ketuanya.
Aktivitasnya sebelum kemerdekaan
Prawoto
mulai terlibat dalam partai politik pada tahun 1940 ketika bergabung
dengan Partai Islam Indonesia yang dipimpin oleh Dr. Sukiman
Wiryosanjoyo. Dalam kongres pertama PII, ia terpilih menjadi komisaris
untuk mewakili Jawa Barat dan berkedudukan di Jakarta. Di sinilah awal
mula Prawoto terjun ke dunia politik. Tahun-tahun sebelum Jepang datang
(1937-1939) lebih banyak digunakan Prawoto untuk pergerakan dan
organisasi. Pada tahun 1942, Prawoto turut pula mendirikan Perwabi
(Persatuan Warung Bangsa Indonesia). Perkenalannya dengan Natsir dimulai
ketika dia menjadi Sekretaris II Sekolah Tinggi Islam Jakarta. Saat itu
Natsir menjadi Sekretaris I. Di masa pemerintah
kolonial Jepang, Prawoto bersama-sama dengan Moh. Roem, Yusuf Wibisono,
Anwar Cokroaminoto, dan Zainul Arifin, membentuk Barisan Hizbullah di
Jakarta.
Aktivitasnya di Masyumi
Sejak
partai Masyumi didirikan pada 7 November 1945, Prawoto telah menjadi
pimpinan partai. Pada Muktamar VII tahun 1954 di Surabaya, Prawoto
terpilih menjadi Sekretaris Umum. Pada Muktamar VIII tahun 1956 di
Bandung, ia terpilih menjadi Wakil Ketua I. Dan pada Muktamar IX 1959 di
Yogyakarta, ia terpilih menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Masyumi.
Masyumi dibubarkan pada tanggal 17 Agustus 1960. Menjelang dibubarkannya
Masyumi, Prawoto menunjukkan pendiriannya. Ketika banyak orang datang
kepadanya untuk menyampaikan pesan pemerintah agar ia mengutuk
pemimpin-pemimpin Masyumi yang terlibat dalam pemberontakan tersebut, ia
menolaknya dan tetap pada pendiriannya bahwa Masyumi sebagai institusi
tidak terlibat dalam pemberontakan tersebut. Sehingga, menurutnya,
Masyumi tidak perlu mengutuk seperti yang diminta oleh Pemerintah saat
itu.
Pengaruh Pemikiran Prawoto di Masyumi
Dalam
sidang BPKNP (Badan Pekerja Komite Nasional Pusat) pada tanggal 10
Oktober 1949 yang membahas pendidikan agama, Fraksi Masyumi yang
diketuai Prawoto menginginkan bahwa pendidikan agama hendaknya dijadikan
mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah. Saat itu, pembahasan telah
mencapai pasal-pasal rancangan undang-undang dan usul dari partai
Masyumi, juga telah diambil jalan tengah oleh ketua Badan Pekerja, dan
dapat diterima oleh para menteri dan Masyumi sendiri. Namun, oleh Fraksi
PNI, yang diketuai oleh Mr. Sartono, usulan Masyumi dianggap kurang
jelas dan tidak menjawab beberapa pertanyaan fraksi PNI. Bagi Prawoto
sendiri, hal ini sangat prinsipil. Fraksi Masyumi protes atas anggapan
Mr. Sartono. Akhirnya, Fraksi Masyumi meninggalkan ruang rapat sebagai
sebuah bentuk protes karena mereka menganggap hal itu sangat prinsipil.
Ketika menjadi Ketua Pemimpin Pusat Masyumi, Prawoto pernah mengatakan bahwa perjuangan dalam partai itu merupakan Jihad Asghar. Yang dimaksud Prawoto dengan Jihad Asghar
adalah jihad yang lebih banyak meminta kekuatan pikiran, kekuatan akal,
dan kekuatan akhlak. Oleh karena itu, menurut Prawoto, ada sembilan hal
yang perlu diperhatikan, yakni:
- Perlu adanya kebulatan tekad umat untuk memadukan tenaga-tenaga dalam lapangan politik yang sebelumnya besar.
- Mengikhtiarkan untuk mencapai harmoni dengan kepentingan-kepentingan di luar umat Islam agar terhindar dari pertentangan-pertentangan.
- Masyumi hendaknya melakukan perjuangan yang berjalan paralel dengan kehidupan bernegara dengan ikut bertanggung jawab atas persoalan-persoalan.
- Dalam menghadapi persoalan-persoalan hendaknya partai menggalang kembali kekuatan pikiran, kekuatan akal, dan kekuatan akhlak.
- Adanya penekanan perluasan lapangan usaha dalam bidang ekonomi.
- Memandang semua perjuangan partai politik dengan dasar kaidah-kaidah agama.
- Mengakomodasi pertentangan pendapat antar partai atau golongan sebagai indikasi adanya persatuan yang mengarah pada demokrasi.
- Menentukan suatu kepantasan berpolitik dengan adanya norma-norma, sehingga kehidupan politik dapat dijadikan seni tersendiri. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara mengoreksi diri terhadap potensi politik yang dimiliki.
- Dan yeng terakhir, hendaknya Masyumi tetap pada khittah perjuangan dalam menempuh jalan yang masih panjang.
Tentang
perbedaan pendapat, Prawoto mengatakan bahwa itu juga bagian dalam
ajaran Islam. Hal ini disampaikannya terkait dengan isu perpecahan di
kalangan pemimpin-pemimpin Masyumi. Masih dalam hal yang sama, ia juga
pernah menyampaikan tentang kedekatan diantara tokoh-tokoh Masyumi.
Masa-masa sulit juga dialami Prawoto setelah dikeluarkannya Dekrit
Presiden 1959. Pembatasan ruang gerak dan ideologi serta menurunnya
prestise partai-partai politik menjadi beberapa persoalan Masyumi saat
itu sampai akhirnya nanti tentang keterlibatan pemimpin-pemimpin Masyumi
dalam pemberontakan PRRI yang berujung pada pembubaran Masyumi.
Pemikiran Prawoto tentang UUD 1945 dan Pancasila.
Undang-Undang
Dasar dibuat melalui proses yang cukup panjang sejak disampaikannya
janji Jepang utuk memberi kemerdekaan kepada Indnesia. Untuk itu,
dibentuk badan yang bertujuan menyelidiki usaha-usaha persiapan pada
tanggal 9 April 1945. Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
menghasilkan suatu rumusan yang diberi nama ”Piagam Jakarta” atau Jakarta Charter.
Piagam ini disebut Soekarno sebagai hasil yang baik dengan satu
persetujuan antara pihak Islam dan pihak kebangsaan. Akhirnya pada
tanggal 17 Juli 1945, BPUPK menutup sidang ke-2 dan terakhir yang
menerima secara bulat hasil rancangan.[1]
Prawoto beranggapan bahwa rancangan UUD di atas merupakan suatu
rancangan yang murni tetapi hanya berlaku sampai tanggal 18 Agustus
1945. Prawoto mengatakan ada suatu ”pertanyaan sejarah”, mengapa rumusan
yang dibuat dengan susah payah itu dengan mudahnya diubah di rapat PPKI
dalam hitungan beberapa menit? Prawoto sangat mempermasalahkan
perubahan tersebut. Salah besar apabila ada yang mengatakan bahwa masa
sebelum proklamasi dan masa proklamasi tidak ada
hubungan sama sekali. Padahal sangat jelas bahwa hubungan itu begitu
terlihat dikarenakan masa perjuangan kemerdekaan adalah sebuah proses
cita-cita dan upaya membuat rumusan dan konsep terbaik untuk negara
Indonesia. Prawoto juga mengatakan bahwa banyak diantara tokoh Islam
yang membuat konsep tersebut merasa heran dan kaget dengan perubahan
tersebut. Prawoto bahkan pernah membuat pernyataan sebagai berikut:
”Kepada penganut agama-agama lain di luar Islam, kami menyatakan bahwa
kami tidak menaruh keberatan sedikitpun jika saudara-saudara di dalam
rumusan-rumusan itu menginginkan pula jaminan untuk menunaikan syari’at
agama golongan saudara”.
Dalam
menyikapi Dekrit Presiden (yang salah satu keputusannya untuk kembali
kepada UUD 1945), Prawoto mengkritisi bahwa yang dimaksud kembali ke UUD
1945 adalah kembali kepada rumusan awal. Dia juga mempermasalahkan
tentang Dekrit Presiden tersebut. Menurutnya, dalam keadaan
genting/darurat, Dekrit tersebut sah-sah saja untuk dikeluarkan. Akan
tetapi, menurut teori staatsnoodrecht (hukum tata negara
darurat), negara bukan ditentukan oleh pendapat subjektif seorang
penguasa, tetapi oleh faktor-faktor objektif. Seharusnya setelah keadaan
darurat sudah pulih, maka hukum harus dikembalikan.
Dalam
membicrakan tentang Pancasila, ada berbagai hal yang bisa kita ambil
dari pemikiran Prawoto. Menyambung dengan permasalahan UUD 1945 serta
dikeluarkannya Dekrit Presiden 1959, Prawoto tetap kepada pendiriannya
seperti yang tersirat dari apa yang disampaikannya seperti di atas.
Pemikiran Prawoto yang sangat jelas tetap mendukung Pancasila,
memberikan keyakinan bahwa Prawoto sangat setia pada Pancasila. Hal ini
ia buktikan ketika menghadapi fitnah yang mengatakan bahwa para pemimpin
Masyumi anti Pancasila. Namun, ia tidak setuju apabila ideologi partai
disamakan. Dia beranggapan bahwa partai Islam tetap partai Islam, yang
partai Kristen tetap partai Kristen, dan yang partai Nasional tetap
partai Nasional. Masing-masing memegang rumusan itu sebagai pegangan
bersama. Maka, jika semua partai ber-ideologikan Pancasila, ia
menganggap pada hakikatnya ada satu partai saja. Jika demikian, maka
motto negara ”Bhineka Tunggal Ika” tidak dipakai lagi.
Asrama Mahasiswa
Pada tanggal 26 Mei 1952, Prawoto Mangkusasmito bersama dengan
tokoh-tokoh lain termasuk Yusuf Wibisono, Jusdi Ghozali, M. Roem, Abdul
Kadir, Jamilus Nurut, Wartomo, Sindian Djayadiningrat, Hariry Hadi,
Ismael Hassan. mendirikan sebuah Asrama Mahasiswa Islam Sunan Gunung
Jati di Jl. Bunga No. 7 Jatinegara, Jaktim, dan selanjutnya atas bantuan
dari berbagai pihak didirikan pula Asrama Mahasiswa Islam Sunan Giri di
Jalan Sunan Giri No. 1 Rawamangun. Peembangunan asrama dimaksudkan
untuk memberikan tempat tinggal bagi para aktivis serta sebagai tempat
pengkaderan ummat Islam, sebagai calon pemimpin Umat dan Bangsa.Prawoto dan kawan-kawan memiliki pemikiran yang cemerlang, bukan hanya melakukan perjuangan masa itu baik tenaga dan pikiran, tetapi mereka juga melakukan persiapan membina generasi muda yang dipersiapkan untuk meneruskan perjuangannya membesarkan bangsa ini. “Biarpun kader kita sedikit yang penting jadi perwira daripada banyak hanya jadi serdadu” Begitulah ungkapan beliau penuh optimisme dalam membentuk tunas-tunas bangsa.
Asrama Mahasiswa Islam Sunan Gunung Jati dan Asrama Mahasiswa Islam Sunan Giri telah menghasilkan kader-kader diantaranya Prof. Jimly Asshidiqie, SH (Mantan Ketua MK), AM Fatwa (Mantan Wakil Ketua MPR), Prof. Dr. Irwan Prayitno (Gubernur Sumbar), Abdullah Azwar Anas (Bupati Banyuwangi), Muljaman Haddad (Deputi Gubernur BI), Prof. Dr. Riza Sihbudi (Atase Pendidikan London), Prof. Dr. Muchlis R Luddin (Guru Besar UNJ), Letkol Kes. Dr. Wawan Mulyawan (Sekretaris RSPAU), dan Masih banyak lagi kader-kader yang tersebar di berbagai belahan Nusantara, salah satunya adalah Om Jay (Widjaya Kusuma) yang sangat aktif di kompasiana ini.
Selain murah, Asrama Sunan Giri memiliki sistem pendidikan yang berlandaskan Ilmu, Iman dan Amal. Kegiatan keilmuan, keagamaan, dan sosial menjadi bagian dari kehidupan warga Asrama, selain itu warga diwajibkan berkecimpung di berbagai organisasi kemahasiswaan dan kemasyarakatan, baik HMI, PII, IMM, BEM, dan organisasi-organisasi lain, sehingga semakin hidup suasana keberagaman, ditambah latar belakang suku, agama, dan budaya yang berbeda membuat warga asrama memiliki pandangan yang bijaksana terhadap keberagaman.
Sampai saat ini Kedua Asrama yang dibangun masih kokoh berdiri, baik secara fisik maupun tradisi intelektualnya. Cita-cita Prawoto Mangkusasmito untuk mendidik kader-kader bangsa tidak akan pernah mati di hati kami, namanya senantiasa menjadi cambuk perjuangan membangun Indonesia yang lebih baik, Hidup kami di Asrama ini merupakan sebuah misi melanjutkan cita-citanya membangun Indonesia.
Sumber:
Zulfikar Ghazali, dkk, Tokoh Pemikir Paham Kebangsaan Prawoto Mangkusasmito, Wilopo, Ahmad Subarjo, Jakarta, Depdikbud IDSN, 1998http://sejarah.kompasiana.com/2010/08/23/prawoto-mangkusasmito-235672.html
0 Komentar