Pada
waktu kesadaran bersatu diantara anak bangsa mulai tumbuh awal tahun
1920-an, mulailah terbentuk organisasi-organisasi pemuda yang menyandang
nama daerah. Berdirilah Jong Java, Jong Sumatera, Jong Pasundan, Jong
Batak, Jong Minahasa, Jong Celebes dan lain sebagainya. Semua organisasi tersebut merasa betapa tidak enaknya menjadi anak jajahan.
Jong
Java sebagai organisasi kedaerahan diketuai oleh Ir. Sjamsurizal yang
kemudian dikenal menjadi Gubernur Jakarta yang pertama. Kasman
Singodimedjo juga memiliki organisasi pemuda yang bernama Koetoardjosche
Studerenden Board (KSB), sebuah perkumpulan pelajar di kota Kutoardjo.
Melihat banyaknya muncul organisasi kedaerahan ini Kasman berpikir ini
dapat menimbulkan konflik, atau dengan kata lain Kasman melihat
perpecahan dalam wadah kedaerahan ini dapat berbahaya, padahal semuanya
adalah putra putri nusantara. Oleh sebab itu, masih menurut Kasman, Jong
Java harus berani menjadikan Islam sebagai dasar untuk mempersatukan
seluruh organisasi kedaerahan ini. Ada yang setuju, ada juga yang tidak
setuju, karena dalam Jong Java ada juga pemuda-pemuda yang bukan
beragama Islam seperti dari Katholik, Protestan, Hindu dan lain-lain.
Sjamsurizal sebagai Ketua Jong Java saat itu setuju dengan gagasan
Kasman.
Setelah
diadakan sampai dua kali pemungutan suara, namun hasilnya banyak yang
tidak setuju, sehingga sebagian anggota yang beragama Islam merasa sedih
lalu mereka menemui Haji Agus Salim. Agus Salim menyarankan agar
pemuda-pemuda Islam mendirikan satu organisasi yang benar-benar
pelajaran Islam dapat dilaksanakan didalamnya, maka berdirilah Jong
Islamiten Bond (JIB). Disinilah terlihat bahwa semangat keislaman dan
kebangsaan diajarkan secara bersamaan, apalagi kita sedang dijajah
Belanda.
Setelah
JIB berdiri dan kegiatan-kegiatannya dimulai, muncullah ide untuk
membuat kepanduan yang dipelopori oleh Kasman dan diberi nama National
Indonesche Padvindery (Natipy) atau dalam bahasa Indonesia diartikan
Kepanduan Nasional Indonesia. Dibentuklah cabangnya diberbagai daerah,
Kasman menjadi instrukturnya, sehingga semangat untuk mempersatukan
organisasi-organisasi kedaerahan ini dapat dilaksanakan dengan mudah.
Sementara dinegeri Belanda juga muncul semangat nasionalisme yang
dirintis oleh mahasiwa-mahasiswa Indonesia di belanda antara lain Bung
Hatta, Ali Sostroamidjojo, Nazir Pamuntjak, Abdul Madjid dan tokoh-tokoh
lainnya. Mereka membuat perhimpunan pemuda pelajar Indonesia di negeri
Belanda. Mereka beranggapan bahwa sudah waktunya merundingkan persatuan
organisasi-organisasi pemuda Indonesia sehingga pada Juni 1928
dibentuklah pantitia kongres pemuda Indonesia yang diketuai oleh
orang-orang dari Jong Java, Jong Sumatera, Jong Batak, Jong Celebes dan
JIB yang kemudian pada tanggal 28 Oktober 1928 melahirkan sumpah pemuda.
Kasman
lebih berkonsentrasi mengembangkan kepanduan diberbagai daerah dan
organisasi sambil berceramah dan berpidato keagamaan yang membenci
penjajahan dan penindasan.
Pada
tahun 1937 ummat Islam mengadakan Kongres di Surabaya untuk menyatukan
langkah maka lahirlah satu wadah perjuangan ummat Islam yang bernama
Majelis Islam A'la Indonesia yang disingkat MIAI, anggotanya terdiri
dari PSII, Muhammadiyah, Nahdatul Ulama. Al Irsyad, Hidayatullah
Islamiyah Banyuwangi, Al Khairiyah Surabaya dengan semboyan ”Berpegang
teguhlah kalian dengan tali Allah dan janganlah bercerai berai”, yang
pada gilirannya MIAI ini melahirkan Partai Islam Masjumi.
Pada
tanggal 3 Maret 1942 pecahlah perang Pasifik. Para tentara Dai Nippon
sudah mendarat dikepulauan Indonesia tanpa mendapat perlawanan yang
berarti dari Belanda. Rakyat Indonesia merasa gembira karena telah lepas
dari penjajahan Belanda. Namun kegembiraan itu tidak berlangsung lama
karena bangsa Indonesia kembali dijajah oleh Jepang. Maret 1943 Jepang
mendirikan Pusat Tenaga Rakyat (PUTRA) pimpinannya diserahkan kepada Ir.
Soekarno, Mohammad Hatta, KH. Dewantara serta KH. Mas Mansjur dikenal
dengan empat serangkai. Disisi lain Jepang mendekati para ulama dan
kyai-kyai karena dilihat pengaruh mereka yang cukup kuat ditengah
masyarakat. Bulan Oktober 1943 Jepang merasa perlu membentuk pasukan
cadangan yang terdiri dari putra-putri Indonesia. Terbentuklah Pasukan
Pembela Tanah Air (PETA) yang bercorak Islam dan Kasman diangkat sebagai
Komandan Batalyon dengan pangkat Daedancho. Awalnya Kasman ragu dan
ingin menolak, karena ia pernah mengatakan tidak mau bekerjasama dengan
penjajah. Dia sudah mencari akal agar tidak terpilih dalam seleksi,
sengaja dia mengurangi tidurnya beberapa malam sehingga badannya lemah,
matanya merah menahan kantuk dan tampak lesu, bahkan ia berusaha menahan
buang air kecilnya supaya menjadi kuning dan tidak terpilih, kata
Kasman dalam bukunya ”Hidup Itu Berjuang”.
Tapi
sebaliknya malah ia dinyatakan lulus, sementara rekannya Mohammad
Natsir tidak lulus karena Natsir berkacamata. Pasukan PETA ini dibina
dan dikembangkan oleh Kasman keberbagai daerah, sehingga menjadi
kekuatan yang disegani. Namun kemudian PETA ini menjadi bumerang bagi
Jepang, banyak pemberontakan didaerah yang dilakukan oleh PETA melawan
pemerintahan Jepang karena dalam hati mereka selalu hidup semangat untuk
merdeka dan tidak rela terhadap kerja paksa yang diberlakukan kepada
rakyat Indonesia.
Jepang menyerah kepada Sekutu
Ketika
kota Hiroshima dan Nagasaki dibom oleh sekutu dan Jepang menyerah,
termasuklah pemerintahan Jepang yang ada di Indonesia. Pemuda-pemuda
ingin segera Soekarno dan Hatta mengumumkan kemerdekaan Republik
Indonesia. Disini ada episode tersendiri bagaimana keinginan pemuda
Indonesia agar kemerdekaan tidak terkesan sebagai pemberian Jepang
sampai Soekarno dan Hatta diculik dan dibawa ke Rengasdengklok. Sebagai
komandan PETA saat itu, Kasman sedang berada di Bandung. Setelah
Indonesia merdeka PETA dirubah menjadi Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan
dipimpin oleh Kasman Singodimedjo. Ditatalah kembali organisasi
keamanan, pemanfaatan senjata-senjata peninggalan Jepang yang berserakan
dimana-mana, serta diatur tingkat kepangkatan di militer sehingga
mulailah dibentuk kekuatan militer secara lebih baik.
Menjadi Ketua KNIP
Pada
tangal 18 Agustus 1945 Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang dibentuk sebelumnya merasa
pekerjaannya sudah selesai pasca diproklamirkannya kemerdekaan RI,
mereka ingin membubarkan diri. Dibentuklah lembaga baru yang bernama
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) untuk mengambil alih tugas-tugas
panitia persiapan kemerdekaan itu, dan Kasman diangkat sebagai Ketua.
Oleh
Kasman dikembangkanlah KNIP sampai ke daerah-daerah yang berfungsi
sebagai DPR dan DPRD. Melalui KNIP inilah kemudian Badan Keamanan Rakyat
diganti menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pada tanggal 20 Oktober
1945 diumumkan berdirinya Kementerian Keamanan Rakyat dengan Menterinya
Mohammad Surjo Adikusumo, Panglima tertingginya Supriyadi dan Komandan
Staff Umum Mayor Urip Sumohardjo. Kasman melepaskan semua
jabatan-jabatan lainnya dan sepenuhnya berkonsentrasi menjadi Ketua
KNIP.
Sementara
diluar pemerintahan tumbuh gerakan yang mengikuti pemikiran Sutan
Sjahrir yang sosialis dan Tan Malaka yang komunis. Mereka berkeinginan
merubah Kabinet Presidensil menjadi Parlementer, memperkuat peranan KNIP
sebagai lembaga legislatif dan menyingkirkan Kasman kemudian
menggantinya dengan Sutan Sjahrir melalui sebuah petisi yang
ditandatangani oleh 150 orang.
Menjadi Jaksa Agung
Kasman memang ditakdirkan sebagai perintis. Nasibnya
belum berhenti, ia menjadi Jaksa Agung pertama. Ibarat lembing, dimana
saja ditancapkan, ia menempel. Begitulah Kasman. Dari JIB ia menjadi
Ketuanya kemudian mendirikan kepanduan, merintis Tentara Keamanan
Rakyat, menjadi ketua KNIP dan menjadi Jaksa Agung. Di Kejaksaan ia
bangun infrasturktur dari pusat sampai ke daerah, membenahi administrasi
dan personalia, membangun hubungan horizontal dengan instansi terkait,
membangun penjara-penjara di daerah, turun bersama Presiden ke
Tangerang, Bekasi, Serang, Bogor, Rangkasbitung dan seluruh Madura dan
Jawa Timur. Walaupun tidak ada yang ingat bahwa Jaksa Agung yang pertama
yang meletakkan dasar-dasar kejaksaan dinegeri ini adalah Kasman,
bahkan beliau dikesampingkan, tidak lama kemudian diapun diganti menjadi
urusan Mahkamah Tinggi Kemiliteran Kementerian Pertahanan. Jabatan beliau dipemerintahan yang terakhir adalah Menteri Muda Kehakiman RI.
Setelah
tidak berada di pemerintahan, beliau kembali ke Masjumi menjadi
Sekretaris Jendral ketika Mohammad Natsir dipercaya sebagai Ketua. Pada
September 1948 terjadi pemberontakan PKI yang dimotori oleh Muso, pada
saat itu pemerintah Hindia Belanda menawarkan bantuan kepada pemerintah
RI karena mereka memiliki keinginan untuk kembali menjajah Indonesia.
Tawaran ini ditolak Soekarno atas desakan rakyat, tetapi kemudian pada
tahun 1949 Belanda menggempur Jogjakarta ketika pusat pemerintahan
berada di sana serta menawan Soekarno Hatta dan membuangnya ke Pualu
Bangka. Sekalipun tidak lagi berada di Pemerintahan melalui Dr. Sukiman
Wirosandjojo yang ketika itu menjadi Menteri Dalam Negeri dari Partai
Masjumi, Kasman bersedia menjadi juru bicara pemerintah untuk
berkeliling ke desa-desa menyampaikan kepada masyarakat tentang bahaya
komunis dan keinginan kembalinya pemerintah Belanda ke Indonesia. Beliau
tidak pernah mengenal lelah untuk bangsa dan negaranya, bahkan ketika
perundingan Meja Bundar di Den Haag, Kasman ikut bersama Mohammad Roem
memperjuangkan hak-hak kemerdekaan Indonesia. Beliau betul-betul sebagai
perintis dan berjuang dengan motto hidupnya ”Hidup adalah Berjuang”.
Kasman
Singodimedjo dilahirkan di desa Klapar atau Kaliredjo Kecamatan begelen
Kabupaten Purworejo Jawa Tengah 25 Februari 1904. Anak
seorang Modin (Muadzin), keluarga yang sangat sederhana. Ayahnya
Singodimedjo bertugas mengurus orang-orang sakit atau meninggal dan
ibunya bernama Kartini, seorang pedagang kain keliling untuk membantu
keuangan keluarga. Kasman anak tertua dari empat bersaudara. Adiknya
semuanya perempuan. Kasman terlambat masuk Sekolah Dasar karena waktu
itu masuk sekolah harus di tes dengan mengangkat tangan kanannya keatas
kepala lalu meraih telinga kiri, karena tangan Kasman tidak mencapai
telinga kiri, ia tidak dapat masuk sekolah, sementara adiknya Kasmah
sudah duduk di kelas tiga, sehingga umur Kasman ketika masuk Sekolah
Dasar dimundurkan menjadi 1908, padahal ia lahir tahun 1904. Sebagai
anak tertua Kasman harus memikirkan adik-adiknya serta bagaimana harus
dapat sekolah sendiri. Akhirnya ia dapat juga menyelesaikan kuliahnya
Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta sampai mendapat gelar ”Mesterr
Inderechten”, yang sangat bergengsi pada waktu itu. Istrinya bernama
Soepinah Isti Kasyati, sesama aktifis yang dinikahinya pada 17 September
1928. Kasman Singodimedjo wafat di Jakarta 25 Oktober 1982. (Drs. H. Amlir Syaifa Yasin, MA/Sekretaris Umum Dewan Da’wah)
0 Komentar