Sejarah adalah cerita kaum muda ~
Kita
mengenal tokoh-tokoh pejuang Islam di Indonesia seperti Mohammad
Natsir, Mohammad Roem, Kasman Singodimedjo, Sjafruddin Prawiranegara,
Prawoto Mangkusasmito, S.M. Kartosoewirjo. Mereka lahir dari dua
organisasi Islam kalangan muda waktu itu yang berperan membina sikap dan
keyakinan mereka sebagai muslim pejuang yang dididik di Jong Islamieten Bond (JIB) dan Studentent Islam Studie Club (SIS), perkumpulan mahasiswa untuk studi Islam.
Jong Islamieten Bond
adalah perkumpulan pemuda Islam yang didirikan di Jakarta pada tanggal 1
Januari 1925 oleh pemuda pelajar ketika itu. Tujuan pertama
pembentukannya adalah untuk mengadakan kursus-kursus agama Islam bagi
para pelajar Islam dan untuk mengikat rasa persaudaraan antara para
pemuda terpelajar Islam yang berasal dari berbagai daerah di Nusantara
dan sebelumnya masih menjadi anggota perkumpulan daerah, seperti Jong
Java (7 Maret 1915), Jong Sumatra (9 Desember 1917), dan lain-lain.
Sedangkan SIS didirikan pada tahun 1930-an.
H. Agus
Salim, Mohammad Natsir, Mohammad Roem, S.M. Kartosoewirjo dan Kasman
Singodimedjo adalah tokoh-tokoh di JIB, sementara Jusuf Wibisono dan
Prawoto Mangkusasmito adalah tokoh-tokoh di SIS. Sekalipun Jusuf
Wibisono pernah di JIB dan Kasman pernah di SIS. Kedua organisasi ini
dapat menghambat gagasan sekularisasi yang dicanangkan oleh pemerintahan
Hindia Belanda melalui Snouck Hugronje karena mereka mempelajari Islam
secara kritis sehingga basis keislaman mereka di JIB disamping sebagai
pejuang kemerdekaan dapat terbangun dengan baik. Di JIB H. Agus Salim
adalah merupakan tokoh pembangun karakter sehingga selain Mohammad
Natsir, Mr. Mohammad Roem adalah anak kesayangan H. Agus Salim.
JIB bukanlah
organisasi politik. Hal ini terlihat dari pidato Samsurijal, yang
terpilih sebagai ketua umum, pada Konggres JIB I pada tahun 1925 di
Yogyakarta yang mengatakan, “Pada kursus-kursus,
ceramah-ceramah dan debat-debat yang kami selenggarakan, akan diusahakan
sejauh mungkin meningkatkan pengertian tentang politik terutama dari
sudut Islam. Tetapi JIB tidak akan ikut aksi politik“.
Susunan Pengurus Pusat JIB pertama adalah: Raden Samsurijal (ketua);
Wibowo Purbohadidjojo (wakil ketua); Syahbuddin Latif (sekretaris I);
Hoesin (sekretaris II), Soetijono (bendahara I); dan So’eb (bendahara
II). Komisaris-komisaris adalah Moegni, Thoib, Soewardi, Syamsuddin,
Soetan Palindih, Kasman Singodimedjo, Mohammad Koesban, Soegeng, dan
Haji Hasim. Pengurus Pusat tersebut mula-mula baru memiliki empat
cabang: Jakarta, Yogyakarta, Solo, dan Madiun. Kedudukan Dewan Pimpinan
Pusat (DPP) tersebut berada di Jakarta.
Dalam catatan sejarah, keluarnya Syamsuridjal dari keanggotaan Jong Java (Perkumpulan Pemuda Jawa) dan kemudian mendirikan Jong Islamietend Bond
(JIB/ Perhimpunan Pemuda Islam) adalah karena organisasi Jong Java
menolak untuk mengadakan kuliah atau pengajaran keislaman bagi
anggotanya yang beragama Islam dalam organisasi ini. Sementara, agama
Katolik dan Theosofi justru mendapat tempat untuk diajarkan dalam
pertemuan-pertemuan Jong Java. Pada masa lalu, Jong Java adalah
organisasi yang berada dalam pengaruh kebatinan Theosofi.
Sosok yang
dianggap berpengaruh dalam menyingkirkan Islam dari organisasi Jong Java
adalah Hendrik Kraemer, utusan Perkumpulan Bibel Belanda yang diangkat
menjadi penasihat Jong Java. Sejarawan Karel Steenbrink dalam “Kawan
dalam Pertikaian:Kaum Kolonial Belanda Islam di Indonesia 1596-1942″
menulis bahwa Kraemer adalah misionaris Ordo Jesuit yang aktif
memberikan kuliah Theosofi dan ajaran Katolik kepada anggota Jong Java.
Di organisasi pemuda inilah, Kraemer masuk untuk menihilkan
ajaran-ajaran Islam. (Lihat, Karel Steenbrink, hal.162-163)
Selain
Syamsuridjal, permintaan agar Islam diajarkan dalam pengajaran di Jong
Java juga disuarakan Kasman Singodimedjo. Kasman bahkan mengusulkan agar
Jong Java menggunakan asas Islam dalam pergerakan dan menjadi pionir
bagi organisasi-organisasi pemuda lain, seperti Jong Sumatrenan, Jong
Celebes, dan Pemuda Kaum Betawi. Kasman beralasan, Islam adalah agama
mayoritas di Nusantara, dan mampu menyelesaikan segala sengketa dalam
organisasi-organisasi yang saat itu banyak terpecah belah. Karena tak
disetujui, maka pada 1 Januari 1925, para pemuda Islam mendirikan Jong
Islamietend Bond (JIB/Perkumpulan Pemuda Islam) di Jakarta. Dengan
menggunakan kata “Islam”, JIB jelas ingin menghapus sekat-sekat
kedaerahan dan kesukuan, dan mengikat dalam tali Islam.
Dalam statuten JIB dijelaskan tentang asas dan tujuan perkumpulan ini:
Pertama, mempelajari agama Islam dan menganjurkan agar ajaran-ajarannya diamalkan. Kedua, menumbuhkan simpati terhadap Islam dan pengikutnya, disamping toleransi yang positif terhadap orang-orang yang berlainan agama.Dalam kongres pertama JIB, Syamsuridjal dengan tegas menyatakan : “Allah SWT mewajibkan kami tidak hanya berjuang untuk bangsa dan negara kita, tetapi juga untuk umat Islam di seluruh dunia. Hanya, hendaknya di samping aliran-aliran Islam, kita selalu memberi tempat kepada aliran-aliran nasionalistis. Selain kewajiban yang utama ini, kami wajib berjuang untuk umat Islam seluruhnya, sebab kami orang Islam adalah hamba Allah SWT. dan kami hanya mengabdi kepada-Nya, Yang Maha-kuasa, Maha-arief, Maha-tahu, Raja alam semesta. Inilah prisip yang menjiwai JIB”.
Untuk mengkonter pelecehan-pelecehan terhadap Islam, para pemuda Islam yang tergabung dalam JIB kemudian mendirikan Majalah Het Licht
yang berarti Cahaya (An-Nur). Majalah ini dengan tegas memposisikan
dirinya sebagai media yang berusaha menangkal upaya dari kelompok di
luar Islam yang ingin memadamkan Cahaya Allah, sebagaimana yang pernah
mereka rasakan saat masih berada di Jong Java. Motto Majalah Het
Licht yang tercantum dalam sampul depan majalah ini dengan tegas
merujuk pada Surah At-Taubah ayat 32: “Mereka berusaha memadamkan cahaya
(agama) Allah dengan mulut-mulut mereka, tetapi Allah menolaknya, malah
berkehendak menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang kafir itu
tidak menyukai.” JIB dengan tegas juga mengkonter pelecehan
terhadap Islam, sebagaimana dilakukan oleh Majalah Bangoen, majalah yang
dipimpin oleh aktifis Theosofi, Siti Soemandari. Majalah Bangoen yang
dibiayai oleh organisasi Freemason pada edisi 9-10 tahun 1937 memuat
artikel-artikel yang menghina istri-istri Rasulullah. Penghinaan itu
kemudian disambut oleh para aktivis JIB dan umat Islam lainnya dengan
menggelar rapat akbar di Batavia.
JIB juga membentuk Organisasi Pandu Indonesia (National Indonesische Padvinderij,
disingkat Natipij), organisasi pandu pertama yang memakai nama
Indonesia, suatu istilah yang belum lazim dipakai ketika itu. Di setiap
cabang, JIB mengadakan kursus-kursus agama Islam. Pada bulan Oktober
1931 JIB membangun sekolah HIS (Hollandsch Inlandsche School) sejenis SD untuk anak Bumiputra golongan atas di Tegal dan pada bulan November 1931 dibangun lagi HIS di Tanah Tinggi Batavia.
Sebelumnya, pada 1926, dua tahun sebelum peristiwa Sumpah Pemuda, para aktivis muda yang berasal dari Jong Theosofen (Pemuda Theosofi) dan Jong Vrijmetselaarij
(Pemuda Freemason) sibuk mengadakan pertemuan-pertemuan kepemudaan.
Pada tahun yang sama, mereka berusaha mengadakan kongres pemuda di
Batavia yang ditolak oleh JIB, karena kongres ini didanai oleh
organisasi Freemason dan diadakan di Loge Broderketen, Batavia. Alasan
penolakan JIB, dikhawatirkan kongres ini disusupi oleh
kepentingan-kepentingan yang berusaha menyingkirkan Islam. Apalagi,
Tabrani, penggagas kongres ini adalah anggota Freemason dan pernah
mendapat beasiswa dari Dienaren van Indie (Abdi Hindia), sebuah lembaga
beasiswa yang dikelola aktivis Theosofi-Freemason.
Jong
Islamieten Bond dalam kongresnya yang ketiga, Jogjakarta 23-27 Desember
1927, membicarakan masalah Islam dan kebangsaan juga nasionalisme dalam pandangan Islam yaitu mencintai tanah air, bangsa dan agama.
Organisasi ini kelak berperan banyak dalam penyelenggaraan Kongres
Pemuda II bersama Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), Jong
Indonesia, dan beberapa organisasi pemuda lainnya.
Pada tahun
1922, sebagaimana ditulis oleh A.D El Marzededeq dalam “Jaringan Gelap
Freemasonry: Sejarah dan Perkembangannya Hingga ke Indonesia” disebutkan
bahwa di Loge Broderketen, Batavia, juga pernah terjadi aksi pelecehan
terhadap Islam oleh salah seorang aktivis Freemason yang memberikan
pidato pada saat itu dengan mengatakan, “Islam menurut mereka itu
merupakan paduan kultur Arab, Yudaisme, dan Kristen. Indonesia mempunyai
kultur sendiri, dan kultur Arab tidak lebih tinggi dari Indonesia. Mana
mereka mempunyai Borobudur dan Mendut?
Para aktivis
nasionalis sekular, terutama mereka yang aktif dalam organisasi
Theosofi dan Freemason berusaha menjauhkan peran agama, khususnya Islam,
dalam sistem pemerintahan. Negara tak perlu diatur oleh agama, cukup
dengan nalar dan moral manusia.
Paham
kebangsaan yang diusung oleh kelompok nasionalis sekular pada masa lalu
di negeri ini adalah ideologi “keramat” yang netral agama (laa diniyah) dan
kerap dibentur-benturkan dengan Islam. Kelompok nasionalis sekular,
sebagaimana tercermin dalam pemikiran Soekarno dan para aktivis
kebangsaan lainnya yang ada dalam organisasi seperti Boedi Oetomo,
adalah mereka yang menolak agama turut campur dalam sistem pemeritahan.
Mereka berusaha menjauhkan peran agama, khususnya Islam, dalam sistem
berbangsa dan bernegara. Mereka menjadikan Turki sekular di bawah
pimpinan Mustafa Kemal At-Taturk sebagai kiblat dalam mengelola
pemerintahan.
Kiblat
kelompok kebangsaan kepada Turki Sekular tercermin jelas dalam
pernyataan tokoh Boedi Oetomo, dr Soetomo yang mengatakan, “Perkembangan
yang terjadi di Turki adalah petunjuk jelas, bahwa cita-cita
“Pan-Islamisme” telah digantikan oleh nasionalisme.” Dengan rasa bangga,
saat berpidato dalam Kongres Partai Indonesia Raya (Parindra) pada
1937, Soetomo mengatakan,”Kita harus mengambil contoh dari bangsa-bangsa
Jahudi, jang menghidupkan kembali bahasa Ibrani. Sedang bangsa Turki
dan Tsjech kembali menghormati bangsanya sendiri.”
Tokoh Boedi
Oetomo lainnya, dr Tjipto Mangoenkoesomo, juga dengan sinis meminta agar
bangsa ini mewaspadai bahaya “Pan-Islamisme”, yaitu bahaya persatuan
Islam yang membentang di berbagai belahan dunia, dengan sistem dan
pemerintahan Islam di bawah khilafah Islamiyah. Pada 1928, Tjipto
Mangoenkoesoemo menulis surat kepada Soekarno yang isinya mengingatkan
kaum muda untuk berhati-hati akan bahaya Pan-Islamisme yang menjadi
agenda tersembunyi Haji Agus Salim dan HOS Tjokroaminoto. Tjipto
khawatir, para aktivis Islam yang dituduh memiliki agenda mengobarkan
Pan-Islamisme di Nusantara itu bisa menguasai Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Jika mereka berhasil masuk dalam PPKI,
kata Tjipto, maka cita-cita kebangsaan akan hancur.
Pernyataan
Tjipto Mangoenkoesomo makin memperjelas sikap kalangan pengusung paham
kebangsaan atau nasionalis sekular yang berusaha membendung segala upaya
dan cita-cita Islam dalam pergerakan nasional dan pemerintahan di
negeri ini. Sebelum kemerdekaan, perdebatan soal Islam dan kebangsaan
antara kelompok nasionalis sekular yang diwakili oleh Soekarno dan
kawan-kawan dengan kelompok Islam yang diwakili A. Hassan, M. Natsir,
dan H. Agus Salim begitu menguat ke publik. Berbagai polemik tentang
dasar negara menjadi perbincangan terbuka di media massa. Kelompok Islam
menginginkan negara yang nantinya merdeka, menjadikan Islam sebagai
landasan bernegara. Sementara kelompok nasionalis sekular berusaha
memisahkan agama dan pemerintahan. “Manakala agama dipakai buat
memerintah masyarakat-masyarakat manusia, ia selalu dipakai sebagai alat
penghukum di tangan raja-raja, orang-orang zalim, dan orang-orang
tangan besi,” kata Soekarno mengutip perkataan Mahmud Essad Bey.
Sarekat
Islam (SI), sebagai organisasi pergerakan yang mengusung cita-cita
Islam, melalui tokohnya HOS Tjokroaminoto memang menyerukan kepada SI
untuk melancarkan gerakan tandzim guna mengatur kehidupan
rakyat di lapangan ekonomi, sosial, budaya, menurut asas-asas Islam.
Sedangkan H. Agus Salim, selain menyerukan perlawanan terhadap
kapitalisme, juga menyerukan tentang kekhilafahan Islam dan
Pan-Islamisme, sehingga berdiri apa yang disebut dengan Central Comite Chilafat. Nasionalisme dalam pengertian Salim adalah memajukan nusa dan bangsa berdasarkan cita-cita Islam.
Mohammad Natsir dalam Majalah Pembela Islam tahun 1931 menulis bahwa kelompok yang ingin memisahkan agama dari urusan negara adalah kelompok ”laa diniyah” (netral
agama). Natsir menegaskan, ada perbedaan cita-cita antara kelompok
kebangsaan dan para aktivis Islam tentang visi negara merdeka. Natsir
menyatakan, kemerdekaan bagi umat Islam adalah untuk kemerdekaan Islam,
supaya berlaku peraturan dan undang-undang Islam, untuk keselamatan dan
keutamaan umat Islam khususnya, dan untuk semua makhluk Allah umumnya.
Natsir menyindir kelompok nasionalis sekular dengan mengatakan,
“Pergerakan yang berdasarkan kebangsaan tidak akan ambil pusing, apakah
penduduk muslimin Indonesia yang banyaknya kurang lebih 85% dari
penduduk yang ada, menjadi murtad, bertukar agama. Kristen boleh,
Theosofi bagus, Budha masa bodoh.”
Sementara
kelompok kebangsaan, terutama mereka yang aktif dalam organisasi
Theosofi dan Freemason, mengampanyekan bahwa nasionalisme yang dibangun
di negeri ini harus sesuai dengan doktrin humanisme, di mana manusia
berhak menentukan hukum buatan sendiri yang bertujuan untuk mengabdi
kepada kemanusiaan, tanpa campur tangan agama manapun. Van Mook, tokoh
Freemason di Hindia Belanda ketika itu, dalam sebuah pidato di Loge
Mataram, Yogyakarta, tahun 1924, mengatakan, “Freemasonry membimbing
nasionalisme menuju cita-cita luhur dari humanitas.”
Paham
humanisme yang dibawa oleh elit-elit kolonial, teruatama mereka yang
aktif sebagai anggota Theosofi dan Freemason inilah yang kemudian
“ditularkan” kepada “anak-anak didik” para priyai dan elit Jawa yang
menjadi abdi kompeni. Mereka mengampanyekan soal kesamaan semua
agama-agama, tidak percaya dengan hukum Tuhan dan mempercayai kodrat
alam, dan tentu saja sebagaimana trend imperialisme negara-negara Eropa
ketika itu, adalah mengampanyekan bahaya “Pan-Islamisme”, semangat
solidaritas Islam dunia untuk membangun sebuah pemerintahan.
Karena itu,
untuk membendung Pan-Islamisme di Nusantara, apalagi ketika itu banyak
tokoh-tokoh Islam yang pulang dari haji dan menimba ilmu di Makkah juga
menyuarakan Pan-Islamisme, maka pemerintah kolonial membentuk
basis-basis tandingan dengan mendukung berdirinya organisasi-organisasi
kebangsaan seperti Boedi Oetomo, Jong Java, dan lain sebagainya. Selain
itu, mereka juga merangkul para priyai sebagai kepanjangan tangan
pemerintah kolonial, memberi keluasan bagi anak-anak keturunan mereka
untuk bersekolah di negeri Belanda, dan mendirikan pendidikan-pendidikan
netral (neutrale onderwijs), yang berbasis pada pembentukan karakter manusia dengan berpedoman pada hukum kodrat alam.
Tak sedikit
dari para elit dan priyai Jawa ketika itu, baik yang aktif dalam
organisasi kebangsaan ataupun mereka yang menjabat sebagai residen,
asisten residen, wedana, dan sebagainya yang masuk dalam organisasi
Theosofi dan Freemason. Bahkan, tak sedikit juga dari mereka yang masuk
sebagai anggota Rotary Club, sebuah lembaga kemanusiaan yang dibentuk
oleh Zionisme Internasional. Pelecehan demi pelecehan terhadap Islam
dilakukan oleh para pengusung kebangsaan, seperti pernyataan bahwa ke
Boven Digul lebih baik daripada ke Makkah, pergi haji adalah upaya
menimbun modal nasional untuk kepentingan asing, Islam adalah agama
impor yang berusaha menjajah tanah Jawa, dan sebagainya.
Era
kepemimpinan R. Samsurizal (Raden Sam), di JIB dari awal berdiri 1
Januari 1925 sampai tahun 1926, setelah itu berturut-turut yang menjadi
Ketua JIB adalah Wiwoho Purbohadijoyo (1926-1929), Kasman Singodimejo
(1929-1936), M. Arifaini (1935-1936) dan Sunarya Mangunpuspito
(1936-1942). Atas perintah Pemerintah fasis Jepang semua organisasi
dibekukan, termasuk JIB. Baru pasca kemerdekaan Indonesia, sekitar tahun
4 Mei 1947, JIB “bangkit kembali” dengan nama Pelajar Islam Indonesia (PII), dideklarasikan di Yogyakarta, dengan deklalatornya Yusdi Ghozali.
0 Komentar