oleh: Bahrul Ulum
KH. HASYIM Asyari dikenal sebagai seorang ulama yang
sangat toleran terhadap perbedaan mazhab. Meski ia termasuk pendiri
Nahdatul Ulama yang dikenal banyak mengambil pendapat Imam Syafi’i namun
dengan tegas ia menyeruh para ulama NU menjauhi sifat fanatik buta
terhadap satu mazhab.
Mengenai hal ini ia menulis, “Wahai para ulama yang fanatik terhadap
madzhab-madzhab atau terhadap suatu pendapat, tinggalkanlah
kefanatikanmu terhadap urusan furu’ (cabang agama), dimana para
ulama telah memiliki dua pendapat atau lebih yaitu; setiap mujtahid itu
benar dan pendapat satunya mengatakan mujtahid yang benar itu satu akan
tetapi pendapat yang salah itu tetap diberi pahala. Tinggalkanlah
fanatisme dan hindarilah jurang yang merusakkan ini (fanatisme). (Mawa’idz, hal. 33 dalam kompilasi kitab Hasyim Asy’ari, Irsyadu al-Sariy fi Jam’i Mushannafati al-Syaikh Hasyim Asy’ari).
Seruan tersebut tidak hanya dituangkan dalam tulisan, namun juga ia praktekkan dalam kehidupan bermasyarakat.
Menurut KH. Shalahuddin Wahid (Gus Sholah), suatu ketika, Kiai
Hasyim Asyari akan kedatangan seorang ulama bernama KH. Abdurrahman
Syamsuri dari Pondok Pesantren Muhammadiyah, Paciran Lamongan, Jawa
Timur.
Ketika itu Kiai Hasyim dengan KH. Abdurarhman berbeda pendapat
mengenai hukum memukul kentongan sebelum adzan. KH. Abduurahman
berpendapat bahwa memukul kentongan sebelum adzan tidak dibolehkan.
Sedang KH. Hasyim membolehkan dengan syarat itu bukan bagian dari ibadah
sholat.
Karena tahu KH. Abdurrahman hendak silaturahmi ke pesantrennya, KH.
Hasyim mengintruksikan kepada masjid Nahdliyin di sepanjang jalan yang
akan dilalui oleh KH. Abdurrahman untuk menyimpan kentongan dan tidak
membunyikannya. Hal itu dilakukan untuk menghormati tokoh Muhammadiyah
tersebut. Hal yang sama juga dilakukan oleh KH. Abdurahman ketika KH.
Hasyim Asyari bersilaturahmi ke pesantrennya. Seluruh masjid
Muhammadiyah yang akan dilalui KH. Hasyim diperintahkan untuk memasang
kentongan sebagai bentuk penghormatan kepada tokoh NU tersebut.
Demikian pula ketika ada seorang jamaah (santri) datang ke KH. Hasyim
Asy’ari melaporkan bahwa ia baru datang dari Yogyakarta. Menurutnya, di
kota gudeg itu ada sebuah aliran sesat.
Mendengar penjelasan tersebut, KH. Hasyim bertanya tentang ciri-ciri
aliran tersebut. Si jamaah ini menjelaskan bahwa pemahaman kelompok itu
memiliki kesamaan dalam rukun iman dan Islam dengan mayoritas umat
Islam. Namun ada sedikit perbedaan dalam pelaksanaan shalat Shubuh,
yaitu mereka tidak menggunakan qunut.
Si jamaah ini juga melaporkan bahwa pemimpin kelompok tersebut bernama H. Muhammad Darwis.
Mendengar laporan tersebut, KH. Hasyim tersenyum dan menyatakan bahwa
H. Muhammad Darwis adalah temannya ketika di Mekkah. Ia juga menegaskan
jika kelompok Yogyakarta itu bukan aliran sesat.
H. Muhammad Darwis adalah pendiri Persyarikatan Muhammadiyah yang dikemudian hari dikenal dengan nama KH. Ahmad Dahlan.
Sikap KH. Hasyim Asyari ini menunjukkan bahwa ia seorang ulama yang
sangat paham dengan masalah-masalah furuiyah. Jika sebuah masalah masih
terkait dengan persoalan khilafiyah, ia sangat bijak menyikapinya.
Pengalaman hidup di Timur Tengah dan pengetahuannya yang mendalam
tentang ilmu Islam, membuatnya bisa membedakan mana persoalan cabang dan
pokok dalam agama.
Selama hidupnya, KH.Hasyim dikenal sebagai seorang ulama yang
menyeru pentingnya persatuan umat Islam dengan meninggalkan fanatisme
buta. Ia mendorong para ulama bersatu padu dan tidak terpecah-belah demi
kejayaan agama Islam.
Dalam kitabnya Risalah Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah, Kiai Hasyim mewanti-wanti para ulama agar bersikap santun terhadap mereka yang berbeda dalam masalah furuiyah.
Jika ditemukan amalan orang lain yang memiliki dalil-dalik mu’tabarah, akan tetapi berbeda dengan amalan Syafi’iyyah, mereka tidak boleh diperlakukan keras.
Hal ini dipertegas dalam Muktamar NU ke-XI pada 9 Juni 1936, “Janganlah perbedaan itu (perbedaan furu’) kalian jadikan sebab perpecahan, pertentangan, dan permusuhan,”.
Apalagi Kiai Hasyim tahu bahwa masyarakat Indonesia sebagian besar
adalah orang awam yang masih banyak bergantung pada ulama. Hal ini bisa
dimaklumi karena sebagian besar masyarakat belum bisa secara langsung
memahami al-Qur’an dan Hadits.
Karena itulah orang-orang yang menganut mazhab empat yaitu Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hanbali tidak boleh dikatakan sesat.
Meski ketika di Makkah ia menerima ide-ide Muhammad Abduh agar umat
Islam kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah, namun ia menolak pemikiran
yang yang melepaskan diri keterikatan mazhab.
Ia berkeyakinan bahwa tidak mungkin semua orang bisa memahami maksud
sebenarnya ajaran-ajaran al-Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari
pendapat-pendapat ulama mazhab. Menafsirkan kedua kitab tersebut, tanpa
mempelajari dan meneliti buku para ulama mazhab, menurut Kiai Hasyim
hanya akan menghasilkan pemutarbalikan dari ajaran-ajaran Islam yang
benar. Hal ini berarti bertentangan dengan pemahaman para ulama
mujtahid yang memiliki spesialisasi dan kemampun menyimpulkan
hukum-hukum agama, dengan mengambil dan bersumber dari al-Qura’n dan
Hadits, berdasar standar ilmu-ilmu yang terkait. (Lathiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama Biografi KH. Hasyim Asy’ari, hal.26).
Kiai Hasyim menjelaskan bahwa jika seseorang tidak mau merujuk kepada
para ulama yang otoritatif, dikhawatirkan ada orang awam yang tiba-tiba
mendeklarasikan diri menjadi figur sumber agama dan berbicara tentang
al-Qur’an dan hadits, namun ternyata ia melakukan perilaku bid’ah dan
pemahaman sesat dan menyesatkan orang lain yang sama-sama awam. (Risalah Ahlussunnah wal Jamaah, hal 16).)
Jika ini terjadi, maka yang terjadi bukan memecahkan problematika umat, tapi malah menambah permasalahan baru.*
Penulis Sekretaris Umum MIUMI (Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia) Jawa Timur
0 Komentar