Ucapan yang ditujukan kepada ulama
mujtahid madzhab ini menunjukkan kepada para ulama bahwa Imam Syafi’i
sangat memperhatikan posisi hadits. Kaidah-kaidah fikih tidak lepas dari
al-Qur’an dan al-Hadits.
Imam al-Syafi’i dilahirkan di bumi
Palestina. Tepatnya di kota Gazza pada tahun 105 H. Ia seorang keturunan
Bani Quraisy. Nasabnya bertemu dengan Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam.
Rantai silsilahnya adalah, Abu Abdullah bin Idris bin al-Abbas Utsman
bin Syafi’i bin al-Saib bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin
al-Muttalib bin Abdul Manaf.
Dikisahkan, bahwa Imam al-Syafi’i
dilahirkan pada malam Imam Abu Hanifah meninggal dunia. Seorang imam
meninggal dunia dan saat itu pula lahir seorang imam yang lain.
Imam al-Syafi’i lahir dari keluarga
tidak mampu di Palestina. Mereka hidup di dalam perkampungan yang
mayoritas dihuni oleh orang-orang Yaman. Ayahnya meninggal duni ketia
beliau masih kecil.
Sejak kecil sudah mendalami bahasa Arab
dan gramatikanya. Karena itu, ia pernah tinggal bersama suku Huzail
selama sepuluh tahun untuk mempelajari bahasa. Suku Huzail terkenal
sebagai suku yang paling baik bahasa Arabnya. Imam al-Syafi’i banyak
menghafal banyak syair dan kasidah dari bani Huzail ini.
Beliau mengembara ke berbagai negeri
untuk mempelajari Islam. Pertama ke Makkah, Madinah, Irak dan Yaman.
Salah satu guru besar utamanya adalah Imam Malik. Kepada Imam Malik
beliau belajar langsung di Madinah hingga Imam Malik meninggal dunia.
Guru-gurunya yang lain adalah, dari
Makkah: Muslim bin Khalid al-Zinji, Sufyan bin Uyainah, Said bin
al-Kudah, Daud bin Abdurrahman, Al-Attar dan Abul Hamid bin Abdul Aziz.
Di Madinah: Malik bin Anas, Ibrahim bin Sa’ad al-Anshari, Abdul Aziz bin
Muhammad al-Dawardi, Ibrahim bin Yahya al-Usami, Muhammad Said bin Abi
Fudaik dan Abdullah bin Nafi’ al-Saigh. Di Yaman: Matraf bin Mazin,
Hisyam bin Yusuf, Umar bin Abi Maslamah dan Abi Laith bin Sa’ad. Dari
Irak: Muhammad bin al-Hasan, Waki’ bin al-Jarrah al-Kufi, Abu Usamah
Hamad bin Usamah, Ismail bin Attiah al-Basri dan Abdul Wahhab bin Abdul
Majid al-Basri.
Madzhab Syafi’i pertama kali berkembang
di kota Makkah kemudian ke Baghdad dan Mesir. Pendapat-pendapatnya
digali dari gurunya yang utama dari fikih orang Makkah dan orang Irak.
Hadits menjadi perhatian penting dalam
penggalian hukum, setelah al-Qur’an. Jika beliau menemui permasalahan
hukum, pertama kali beliau mencari hadits Nabawiy untuk panduan
memberikan fatwa. Ia menghafal kitab hadits Muwattha’ yang ditulis oleh
gurunya, Imam Malik.
Ia pernah berkata: “Di mana saja bumi membawaku dan di mana pun juga langit meneduhku, apabila diceritakan dari Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam
sedangkan aku tidak mengatakannya: Ya, aku dengar dan patuh! Dan beliau
berkata lagi: Walau bagaimana kukatakan atau bagaimana sekalipun aku
asaskan, sedangkan di sana ada pendapat dari Rasulullah yang
bertentangan dengan perkataanku maka perkataan atau pendapatku adalah
apa yang dikatakan oleh Rasulullah”.
Para pengkaji ilmu hadits berpendapat
bahwa para hali hadis itu tidur, sedangkan Imam al-Syafi’i menyadarkan
mereka. Sehingga mereka pun sadar. Banyak murid-muridnya yang menjadi
ahli Hadits, salah satu yang paling terkenal adalah Imam Ahmad bin
Hanbal, yang juga seorang di antara empat Imam Mujtahid.
Fakhruddin al-Razi menggambarkan
tanggung jawab besar yang dipikul oleh Imam al-Syafi’i yaitu ketika ia
beruusaha menyatukan antara pematuhan terhadap hadits dan menggunakan
akal. Maka, beliau berhasil menggabungkan dua aliran tersebut dengan
adab-adabnya. Tanpa mempertentangkannya secara dikotomis.
Imam Syafi’i sangat peduli dengan ilmu
hadis. Ia menyelidiki dengan teliti perkara-perkara yang diriwayatkan
oleh pembawa hadits Rasulullah. Dengan kapasitas ini, Imam al-Syafi’i
berhasil membuka cakrawala ilmu bagi para pakar hadits dan kaum
rasionalis.
Ia juga ahli mantiq. Karena itu, ilmu
ushul fikihnya dikatakan oleh Fakhruddin al-Razi berhasil meletakkan
peraturan umum dalam bidang hukum sebagai tempat rujukan untuk
mengetahui derajat dalil-dalil. Disamping itu ia hali gramatika bahasa
Arab, retorika bahasa dan dikenal pula sebagai penyair. Karya syairnya
terkumpul dalam kitab Diwan al-Syafi’i.
Imam al-Syafi’i meninggal dunia di Mesir
pada hari Kamis di malam terakhir bulan Rajab pada tahun 204 H, pada
usia 54 tahun. Sebelum meninggal, beliau menderita penyakit wasir. Kerap
ia mengajar murid-muridnya sambil menahan sakit wasir, sampai keluar
darah.
Ketekunan ibadahnya luar biasa. Beliau
membagi waktu malamnya menjadi tiga bagian: satu pertiga untuk menulis
dan mengajar, satu pertiga untuk shalat dan bertahajud dan satu pertiga
lagi untuk tidur.
Seorang ulama bernama Hilal bin al-A’la
memuji kehebatan dalam bidang hadis: Para ahli hadits bagaikan anak-anak
Imam al-Syafi’i, beliau pembuka kunci untuk mereka itu.
0 Komentar