Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Ticker

6/recent/ticker-posts

Memperjuangkan Kementerian Agama: Dari Kemenang, Depaq, Kemenag Lagi Kemudian di Depak

Oleh: Akbar Muzakki
 
Kementerian Agama (Kemenag) dulu berjuluk Departemen Agama; kini  dalam kepemimpinan Presiden RI Joko Widodo bakal ditiadakan. Dan urusan agama sepenuhnya akan diserahkan kepada individu kecuali masalah haji dan wakaf.
 
Hilangnya Kemenag akan melapangkan berbagai aliran agama dan aliran sesat agama untuk berkembang lebih pesat. Gerakan keagamaan akan semakin liar. Sementara adu domba masalah agama akan bermunculan di tengah-tengah masyarakat. Karena tak ada lagi pengawasan yang ketat dan terjaga. 
 
Hal ini mengingatkan pada masa penjajahan Belanda, beberapa masalah yang berhubungan dengan urusan keagamaan terpencar-pencar ke beberapa kantor. Masalah haji, perkawinan, dan pendidikan agama berada di bawah naungan Departement van Binnenlands Bestuur (dipimpin oleh seorang Kepala Urusan Pemerintahan Umum atau Directeur van Binnenlandsch Bestuur, dan kantor untuk urusan bumiputera (Het Kantoor voor Inlandsche Zaken). Adapun hal-hal yang berhubungan dengan hukum agama ditangani oleh peradilan agama (raad agama) dan peradilan umum (raad van justitie).
 
Sedangkan pada waktu zaman Jepang semua persoalan tersebut diatas, tetap pengurusannya kecuali kantoor van Inlandsche Zaken yang dihapuskan. Sebagai gantinya oleh Jepang didirikan kantor Urusan Agama (shumuhu) sebagai bagran dari Gunseikanbu, sedangkan di daerah-daerah diadakan shu-muka sebagai bagian dari pada Pemerintahan Keresidenan (shu).
Jadi segala hal yang menyangkut soal agama dalam arti yang luas, yang pada zaman Hindia Belanda, bagian-bagian agama dipecah-pecah untuk diawasi oleh beberapa Departemen, misalnya ;Urusan Pengajaran Agama dibawah Departemen van Onderwijssn Eredienst (Pengajarandan Ibadah).
b. Urusan Pengadilan Agama dibawah Departe­men van Justitie (Kehakiman)!
c. Urusan Nikah, talak, dan rujuk dibawah Departemen van Nederliands Bestuur (Dalam Ne-geri) dan lain sebagainya.
Panitia penyelidikan pengajaran Republik Indonesia yang diketuai oleh Ki Hadjar Dewantoro dengan 51 anggotanya dalam laporannya tanggal 2 Juni 1946, menerangkan bahwa Pengajaran yang bersifat pondok, pesantren, dan madrasah dipandang perlu, untuk dipertinggi dan dimodernisir serta diberi bantuan biaya dan lain-lain sampai dengan yang telah diputuskan oleh BP. KNIP tahun 1945.
 
Pada akhir tahun 1946 dengan keputusan Men­teri Agama tgl. 22 Nopember 1946, No. 1185/KJ,diadakara ketentuan tentang susunan kementerian Agama dan fungsinya, beserta lapangan dan tugasnya masing-masing.
Dalam susunan pertama ini, belum mempunyai jawatan-jawatan dan hanya meliputi 8 bagian yaitu :Sekretariat, Kepenghuluan, Pendidikan Agama, Penerangan Agama, Masehi Kristen, Masehi Katolik, Pegawai, dan Keuangan
 
Departemen agama yang unik
Indonesia sering disebut sebagai nation state yang unik di dunia karena memiliki departemen pemerintah yang khusus menangani masalah kehidupan beragama. Kesepakatan hal ini berlandaskan pada UUD 1945 pasal 29 yang terikat secara idiologis dengan dasar negara Pancasila pada sila pertama.
Mohammad Yamin adalah orang yang mula-mula mengusulkan dalam salah satu sidang BPUPKI agar pemerintah Republik Indonesia, di samping mempunyai kementerian pada umumnya, seperti luar negeri, dalam negeri, keuangan, dan sebagainya, membentuk juga beberapa kementerian negara yang khusus. Salah satu kementerian yang diusulkannya ialah Kementerian Islamiyah, yang katanya, memberi jaminan kepada umat Islam (masjid, langgar, surau, wakaf) yang di tanah Indonesia dapat dilihat dan dirasakan artinya dengan kesungguhan hati.
 
Terbentuknya Departemen Agama sebagai pemenuhan keinginan dan hasrat umat beragama. Mereka menyatakan kehendaknya supaya soal yang bertalian dengan urusan agama langsung oleh suatu departemen khusus.
Pada tanggal 25 sampai dengan 27 Nopember 1945 dilangsungkan sidang pleno Komite Nasional Pusat, merupakan Parlemen sementara untuk mendengarkan keterangan pemerintah ketika itu. Wakil-wakil komite Nasional Daerah keresidenan Banyumas yang duduk dalam Komite Nasional Indonesia (KNI Pusat), dalam pandangan umum atau keterangan pemerintah mengusulkan; “Supaya dalam Negara Indonesia yang sudah merdeka ini, janganlah hendaknya urusan Agama hanya disambil lalukan dalam tugas Departemen Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan atau De­partemen-departemen lainnya, tetapi bendaknya diurus oleh suatu Departemen Agama tersendiri”.
 
Usul tersebut mendapat sambutan dan dikuatkan oleh tokoh-tokoh Islam yang hadir dalam KNI ketika itu. Maka tanpa pemungutan suara, kemudian dinyatakan bahwa adanya Departemen Agama tersendiri, mendapat perhatian Pemerintah.
 
Sebagai realisasi dari pada hal tersebut diatas, berdasarkan pengumuman pemerintah pada tanggal 3 Januari 1946, didirikanlah Departemen Agama tersendiri dengan Menteri Agama yang pertama ialah K.H. Rasjidi, yang sebelumnya menjabat sebagai Menteri Negara dalam Kabinet Presidentil ke II.
Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Ke Tuhanan Yang Maha Esa sebagai Sila yang pertama, harus menjamin pelaksanaannya serta benar-benar memberi corak di dalam kehidupan bangsa dan Negara. Dengan adanya Departemen Agama, maka hal-hal yang mengenai keagamaan dan pekerjaan yang pada zaman pemerintahan Hindia Belanda diurus oleh beberapa Depar­temen dan Jawatan itu, kemudian dilaksanakan dan menjadi tanggung jawab Departemen Agama.
 
Maklumat Departemen Agama no. 2 tertanggal 23 April 1946 menetapkan bahwa :
1. Shumuka yang dalam zaman Jepang termasukdalam kekuasaan Residen menjadi Jawatan Agama Daerah, yang selanjutnya ditempatkan dibawah Departemen Agama.
2. Hak untuk mengangkat penghulu landraad (sekarang bernama Perngadilaa Negeri), ketua dan
anggota Raad Agama yang dahulu ada dalam tangan Presiden selanjutnya diserahkan kepada Departemen Agama.
3. Hak untuk mengangkat penghulu masjid, yang dahulu ada dalam tangan Bupati, selanjutnya diserahkan kepada Departemen Agama.
Dalam pengumuman Departemen Agama No. 3 hal-hal yang tersebut dalam maklumat No. 2 di atas dikuatkan dengan pengumuman persetujuan Dewan Kabi­net dalam sidangnya pada tanggal 29 Maret 1946.
Sehari kemudian, Jum’at malam 4 Januari 1946, H.M. Rasjidi berpidato di depan corong RRI Yogyakarta, menegaskan bahwa berdirinya Kementerian Agama adalah untuk memelihara dan menjamin kepentingan agama serta pemeluk-pemeluknya.
 
Amal bakti Kementerian Agama diawali dengan pidato Haji Mohammad Rasjidi, BA selaku Menteri Agama pertama pada hari Jum’at malam tanggal 4 Januari 1946.
 
Depag sebuah kebutuhan
Di satu sisi untuk mengakomodasi aspirasi para pemimpin Islam, dan di sisi lain adalah mempertegas bahwa agama merupakan elemen yang penting dan terkait secara fungsional dengan kehidupan bernegara di Indonesia. Dengan kata lain, negara Republik Indonesia bukanlah negara sekuler. Para founding fathers negara kita menyadari akan perlunya pengaturan dan kebijakan negara yang berkaitan dengan agama melalui suatu departemen khusus.
 
Kementerian Agama (kini Departemen Agama) bukanlah kementerian teknis yang dibentuk dan dapat dibubarkan sesuai kebutuhan. Keberadaannya memiliki legitimasi yang kuat dalam politik, hukum, dan tatanan pemerintahan negara kita. Dalam tulisan Rasjidi berjudul, “Departemen Keagamaan Hanya Mengada-ada” dalam majalah Panji Masyarakat No 371 tanggal penerbitan 23 Zulqaidah 1402/11 September 1982. “Sejak didirikan, yakni tanggal 3 Januari 1946 Departemen Agama sudah mengurus kepentingan berbagai agama di Indonesia. Saya yang pertama kali memegang jabatan Menteri Agama ketika itu, datang sendiri pada tokoh dan pimpinan Katholik I.J. Kasimo. Saya katakan padanya: Pak Kasimo, di Departemen Agama harus ada wakil dari Katholik. Pak Kasimo gembira sekali waktu itu. Pak Kasimo lantas menunjuk salah seorang wakilnya untuk Departemen Agama. Demikian pula halnya kepada pihak Kristen Protestan, Hindu, Budha dan lain-lain, saya minta mengirimkan wakil-wakilnya untuk duduk di Departemen Agama.” tulis Rasjidi.
 
Rasjidi menuturkan, “Keberadaan Departemen Agama tak bisa dilepaskan dari sejarah perjuangan kemerdekaan negara ini. Adalah fakta sejarah yang tak bisa dihapuskan, kemerdekaan negeri ini diperoleh dengan pengorbanan besar para syuhada, para pahlawan dan umat Islam. Bukan berarti mengecilkan peranan golongan lain. Ini pula yang menjadi dasar pidato saya di Yogyakarta.”Lebih jauh diungkapkannya, “Saya katakan pada waktu itu, pemerintah RI perlu mengadakan Departemen Agama yang akan mengurus pesantren-pesantren, madrasah dan lembaga pendidikan Islam yang tersebar di seluruh tanah air. Ini mutlak, karena jauh sebelum kemerdekaan itu terwujud lembaga-lembaga Islam yang saya sebutkan tadi sudah ada, berkembang dan berakar di kalangan masyarakat. Namun demikian, itu tidak berarti kita lantas mengenyampingkan kepentingan agama-agama lain. Kita memberikan tempat dan kedudukan yang pantas bagi mereka. Semua pemimpin-pemimpin Indonesia ketika itu, khususnya pemerintah Kabinet Sjahrir, memahami apa yang saya kemukakan dan aspirasi umat Islam,” ujar Rasjidi.
 
Masih menurut Rasjidi, Departemen Agama di negara kita jauh lebih luas ruang lingkup tugasnya dibanding Kementerian Wakaf seperti yang ada di negara-negara Arab. Berkenaan dengan wacana yang menghendaki digantinya nama Departemen Agama menjadi “Departemen Keagamaan”, Rasjidi memandang pikiran-pikiran semacam itu sebagai pikiran yang kacau dan hanya mengada-ada, namun kita perlu waspada, tegasnya.
 
Kesederhanaan Rasjidi
Sebelum diangkat menjadi Menteri Agama, Rasjidi telah menjabat Menteri Negara yang mengurusi peribadatan dalam Kabinet Sjahrir I.Sebagai Menteri Agama di awal kemerdekaan, Rasjidi berangkat kerja ke kantor Kementerian Agama di Yogyakarta dengan mengayuh sepeda. Kemudian ada seorang yang bersedia meminjamkan mobilnya. Tapi ban mobil itu sudah tidak berfungsi lagi sehingga diisi rumput kering.
 
Kisah Menteri Agama ke kantor naik sepeda diceritakan oleh Ibu Rasjidi (istri almarhum HM Rasjidi). Rasjidi mengemban tugas bersejarah sebagai orang pertama memimpin Kementerian Agama dalam Kabinet Sjahrir II. Seminggu setelah mengakhiri tugas Menteri Agama dalam kabinet yang berakhir 2 Oktober 1946, Rasjidi diangkat oleh Presiden sebagai Sekjen Kementerian Agama dan saat itu Menteri Agama K.H.R. Fatchurrahman Kafrawi.
Sebagai pejuang kemerdekaan, Rasjidi mengusahakan dukungan dari negeri-negeri Islam di Timur Tengah terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia. Perjuangan diplomasi RI di Timur Tengah yang dilakukan Rasjidi dan kawan-kawan menghasilkan pengakuan kedaulatan dari hampir seluruh negara anggota Liga Arab terhadap Republik Indonesia sebelum negara-negara lain mengakui kemerdekaan kita. Sementara dalam aktivitas ilmiah dan dakwah, Rasjidi diakui sebagai ilmuwan Islam yang besar dan berjasa membangkitkan etos intelektualisme Islam di Indonesia. Hal mengesankan pada Rasjidi adalah keyakinannya yang mutlak terhadap kebenaran Islam dan penguasaan ilmu di bidang ke-Islaman yang utuh dan lengkap serta ditunjang dengan wawasan dalam multidisiplin ilmu.
 
 Dalam sejarah pengembangan perguruan tinggi Islam khususnya IAIN, Rasjidi adalah tokoh yang berjasa merintis dan membimbing studi purnasarjana bagi dosen-dosen IAIN di Jakarta yang menjadi cikal bakal program pascasarjana IAIN/UIN sekarang. Sementara itu sejak tahun 70-an Rasjidi pernah mengingatkan betapa bahaya penggunaan metode orientalis dalam studi Islam di Perguruan Tinggi Agama Islam khususnya IAIN.
 
Menurut beliau, metode orientalis akan mengikis otentisitas keilmuwan Islam yang selama ini dipertahankan. Bahkan ada hal-hal terselubung yang berbahaya memudarkan keimanan. Ide sekularisasi yang diusung Nurcholish Madjid dan kawan-kawan di awal dekade 1970-an mendapat kritikan hebat dari Rasjidi.
Menurutnya, sekularisasi pada akhirnya akan menghasilkan sekularisme juga yang bertentangan dengan Islam. Pada awal tahun 1970-an, umat Islam Indonesia mengerahkan segala daya upaya untuk menggagalkan RUU Perkawinan sekuler yang diajukan pemerintah ke DPR ketika itu. HM Rasjidi, dalam artikelnya di Harian Abadi edisi 20 Agustus 1973, menyorot secara tajam RUU Perkawinan tersebut yang antara lain dalam salah satu pasalnya menyatakan, perbedaan karena kebangsaan, suku, bangsa, negara asal, tempat asal, agama, kepercayaan dan keturunan, tidak merupakan penghalang perkawinan.
 
Tokoh yang hafal Al Quran itu dikenang sebagai sosok ulama-intelektual yang istiqamah mengawal akidah umat terhadap bahaya sekularisme, liberalisme, dan pemurtadan.

Posting Komentar

0 Komentar