Oleh:
Akbar Muzakki
Kementerian
Agama (Kemenag) dulu berjuluk Departemen Agama; kini dalam kepemimpinan Presiden RI Joko Widodo
bakal ditiadakan. Dan urusan agama sepenuhnya akan diserahkan kepada individu
kecuali masalah haji dan wakaf.
Hilangnya Kemenag akan melapangkan berbagai aliran agama dan
aliran sesat agama untuk berkembang lebih pesat. Gerakan keagamaan akan semakin
liar. Sementara adu domba masalah agama akan bermunculan di tengah-tengah
masyarakat. Karena tak ada lagi pengawasan yang ketat dan terjaga.
Hal ini mengingatkan pada masa penjajahan Belanda, beberapa masalah yang
berhubungan dengan urusan keagamaan terpencar-pencar ke beberapa kantor.
Masalah haji, perkawinan, dan pendidikan agama berada di bawah naungan Departement van Binnenlands Bestuur (dipimpin oleh seorang
Kepala Urusan Pemerintahan Umum atau Directeur van Binnenlandsch Bestuur,
dan kantor untuk urusan bumiputera (Het
Kantoor voor Inlandsche Zaken). Adapun hal-hal yang berhubungan dengan
hukum agama ditangani oleh peradilan agama (raad
agama) dan peradilan umum (raad van justitie).
Sedangkan pada waktu zaman Jepang semua persoalan tersebut
diatas, tetap pengurusannya kecuali kantoor van
Inlandsche Zaken yang dihapuskan. Sebagai gantinya oleh Jepang
didirikan kantor Urusan Agama (shumuhu)
sebagai bagran dari Gunseikanbu,
sedangkan di daerah-daerah diadakan shu-muka
sebagai bagian dari pada Pemerintahan Keresidenan (shu).
Jadi segala hal
yang menyangkut soal agama dalam arti yang luas, yang pada zaman Hindia
Belanda, bagian-bagian agama dipecah-pecah untuk diawasi oleh beberapa
Departemen, misalnya ;Urusan
Pengajaran Agama dibawah Departemen van Onderwijssn Eredienst (Pengajarandan
Ibadah).
b. Urusan Pengadilan Agama dibawah Departemen van Justitie (Kehakiman)!
c. Urusan Nikah, talak, dan rujuk dibawah Departemen van Nederliands Bestuur (Dalam Ne-geri) dan lain sebagainya.
b. Urusan Pengadilan Agama dibawah Departemen van Justitie (Kehakiman)!
c. Urusan Nikah, talak, dan rujuk dibawah Departemen van Nederliands Bestuur (Dalam Ne-geri) dan lain sebagainya.
Panitia
penyelidikan pengajaran Republik Indonesia yang diketuai oleh Ki Hadjar
Dewantoro dengan 51 anggotanya dalam laporannya tanggal 2 Juni 1946,
menerangkan bahwa Pengajaran yang bersifat pondok, pesantren, dan madrasah
dipandang perlu, untuk dipertinggi dan dimodernisir serta diberi bantuan biaya
dan lain-lain sampai dengan yang telah diputuskan oleh BP. KNIP tahun 1945.
Pada akhir
tahun 1946 dengan keputusan Menteri Agama tgl. 22 Nopember 1946, No.
1185/KJ,diadakara ketentuan tentang susunan kementerian Agama dan fungsinya,
beserta lapangan dan tugasnya
masing-masing.
Dalam susunan
pertama ini, belum mempunyai jawatan-jawatan dan hanya meliputi 8 bagian yaitu
:Sekretariat, Kepenghuluan, Pendidikan Agama, Penerangan Agama, Masehi Kristen,
Masehi Katolik, Pegawai, dan Keuangan
Departemen
agama yang unik
Indonesia sering disebut sebagai nation state yang unik di dunia karena memiliki departemen
pemerintah yang khusus menangani masalah kehidupan beragama. Kesepakatan hal
ini berlandaskan pada UUD 1945 pasal 29 yang terikat secara idiologis dengan
dasar negara Pancasila pada sila pertama.
Mohammad Yamin
adalah orang yang mula-mula mengusulkan dalam salah satu sidang BPUPKI agar
pemerintah Republik Indonesia, di samping mempunyai kementerian pada umumnya,
seperti luar negeri, dalam negeri, keuangan, dan sebagainya, membentuk juga
beberapa kementerian negara yang khusus. Salah satu kementerian yang
diusulkannya ialah Kementerian Islamiyah, yang katanya, memberi jaminan kepada
umat Islam (masjid, langgar, surau, wakaf) yang di tanah Indonesia dapat
dilihat dan dirasakan artinya dengan kesungguhan hati.
Terbentuknya
Departemen Agama sebagai pemenuhan keinginan dan hasrat umat beragama. Mereka
menyatakan kehendaknya supaya soal yang bertalian dengan urusan agama langsung
oleh suatu departemen khusus.
Pada tanggal 25
sampai dengan 27 Nopember 1945 dilangsungkan sidang pleno Komite Nasional
Pusat, merupakan Parlemen sementara untuk mendengarkan keterangan pemerintah
ketika itu. Wakil-wakil komite Nasional Daerah keresidenan Banyumas yang duduk
dalam Komite Nasional Indonesia (KNI Pusat), dalam pandangan umum atau keterangan
pemerintah mengusulkan; “Supaya dalam Negara Indonesia yang sudah merdeka ini,
janganlah hendaknya urusan Agama hanya disambil lalukan dalam tugas Departemen
Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan atau Departemen-departemen lainnya,
tetapi bendaknya diurus oleh suatu Departemen Agama tersendiri”.
Usul tersebut
mendapat sambutan dan dikuatkan oleh tokoh-tokoh Islam yang hadir dalam KNI
ketika itu. Maka tanpa pemungutan suara, kemudian dinyatakan bahwa adanya
Departemen Agama tersendiri, mendapat perhatian Pemerintah.
Sebagai
realisasi dari pada hal tersebut diatas, berdasarkan pengumuman pemerintah pada
tanggal 3 Januari 1946, didirikanlah Departemen Agama tersendiri dengan Menteri
Agama yang pertama ialah K.H. Rasjidi, yang sebelumnya menjabat sebagai Menteri
Negara dalam Kabinet Presidentil ke II.
Negara Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Ke Tuhanan Yang Maha Esa sebagai Sila
yang pertama, harus menjamin pelaksanaannya serta benar-benar memberi corak di
dalam kehidupan bangsa dan Negara. Dengan adanya Departemen Agama, maka hal-hal
yang mengenai keagamaan dan pekerjaan yang pada zaman pemerintahan Hindia
Belanda diurus oleh beberapa Departemen dan Jawatan itu, kemudian dilaksanakan
dan menjadi tanggung jawab Departemen Agama.
Maklumat
Departemen Agama no. 2 tertanggal 23 April 1946 menetapkan bahwa :
1. Shumuka yang dalam zaman Jepang termasukdalam kekuasaan Residen menjadi Jawatan Agama Daerah, yang selanjutnya ditempatkan dibawah Departemen Agama.
2. Hak untuk mengangkat penghulu landraad (sekarang bernama Perngadilaa Negeri), ketua dan
anggota Raad Agama yang dahulu ada dalam tangan Presiden selanjutnya diserahkan kepada Departemen Agama.
3. Hak untuk mengangkat penghulu masjid, yang dahulu ada dalam tangan Bupati, selanjutnya diserahkan kepada Departemen Agama.
1. Shumuka yang dalam zaman Jepang termasukdalam kekuasaan Residen menjadi Jawatan Agama Daerah, yang selanjutnya ditempatkan dibawah Departemen Agama.
2. Hak untuk mengangkat penghulu landraad (sekarang bernama Perngadilaa Negeri), ketua dan
anggota Raad Agama yang dahulu ada dalam tangan Presiden selanjutnya diserahkan kepada Departemen Agama.
3. Hak untuk mengangkat penghulu masjid, yang dahulu ada dalam tangan Bupati, selanjutnya diserahkan kepada Departemen Agama.
Dalam pengumuman
Departemen Agama No. 3 hal-hal yang tersebut dalam maklumat No. 2 di atas
dikuatkan dengan pengumuman persetujuan Dewan Kabinet dalam sidangnya pada
tanggal 29 Maret 1946.
Sehari kemudian, Jum’at malam 4 Januari 1946, H.M. Rasjidi
berpidato di depan corong RRI Yogyakarta, menegaskan
bahwa berdirinya Kementerian Agama adalah untuk memelihara dan menjamin
kepentingan agama serta pemeluk-pemeluknya.
Amal bakti Kementerian Agama diawali dengan pidato Haji
Mohammad Rasjidi, BA selaku Menteri Agama pertama pada hari Jum’at malam
tanggal 4 Januari 1946.
Depag
sebuah kebutuhan
Di satu sisi untuk mengakomodasi aspirasi para pemimpin
Islam, dan di sisi lain adalah mempertegas bahwa agama merupakan elemen yang
penting dan terkait secara fungsional dengan kehidupan bernegara di Indonesia.
Dengan kata lain, negara Republik Indonesia bukanlah negara sekuler. Para founding fathers negara kita menyadari
akan perlunya pengaturan dan kebijakan negara yang berkaitan dengan agama
melalui suatu departemen khusus.
Kementerian Agama (kini Departemen Agama) bukanlah
kementerian teknis yang dibentuk dan dapat dibubarkan sesuai kebutuhan.
Keberadaannya memiliki legitimasi yang kuat dalam politik, hukum, dan tatanan
pemerintahan negara kita. Dalam tulisan Rasjidi berjudul, “Departemen Keagamaan
Hanya Mengada-ada” dalam majalah Panji
Masyarakat No 371 tanggal penerbitan 23 Zulqaidah 1402/11 September 1982.
“Sejak didirikan, yakni tanggal 3 Januari 1946 Departemen Agama sudah mengurus
kepentingan berbagai agama di Indonesia. Saya yang pertama kali memegang
jabatan Menteri Agama ketika itu, datang sendiri pada tokoh dan pimpinan
Katholik I.J. Kasimo. Saya katakan padanya: Pak Kasimo, di Departemen Agama
harus ada wakil dari Katholik. Pak Kasimo gembira sekali waktu itu. Pak Kasimo
lantas menunjuk salah seorang wakilnya untuk Departemen Agama. Demikian pula
halnya kepada pihak Kristen Protestan, Hindu, Budha dan lain-lain, saya minta
mengirimkan wakil-wakilnya untuk duduk di Departemen Agama.” tulis Rasjidi.
Rasjidi menuturkan, “Keberadaan Departemen Agama tak bisa
dilepaskan dari sejarah perjuangan kemerdekaan negara ini. Adalah fakta sejarah
yang tak bisa dihapuskan, kemerdekaan negeri ini diperoleh dengan pengorbanan
besar para syuhada, para pahlawan dan umat Islam. Bukan berarti mengecilkan
peranan golongan lain. Ini pula yang menjadi dasar pidato saya di
Yogyakarta.”Lebih jauh diungkapkannya, “Saya katakan pada waktu itu, pemerintah
RI perlu mengadakan Departemen Agama yang akan mengurus pesantren-pesantren,
madrasah dan lembaga pendidikan Islam yang tersebar di seluruh tanah air. Ini
mutlak, karena jauh sebelum kemerdekaan itu terwujud lembaga-lembaga Islam yang
saya sebutkan tadi sudah ada, berkembang dan berakar di kalangan masyarakat.
Namun demikian, itu tidak berarti kita lantas mengenyampingkan kepentingan
agama-agama lain. Kita memberikan tempat dan kedudukan yang pantas bagi mereka.
Semua pemimpin-pemimpin Indonesia ketika itu, khususnya pemerintah Kabinet
Sjahrir, memahami apa yang saya kemukakan dan aspirasi umat Islam,” ujar
Rasjidi.
Masih menurut Rasjidi, Departemen Agama di negara kita jauh
lebih luas ruang lingkup tugasnya dibanding Kementerian Wakaf seperti yang ada
di negara-negara Arab. Berkenaan dengan wacana yang menghendaki digantinya nama
Departemen Agama menjadi “Departemen Keagamaan”, Rasjidi memandang
pikiran-pikiran semacam itu sebagai pikiran yang kacau dan hanya mengada-ada,
namun kita perlu waspada, tegasnya.
Kesederhanaan
Rasjidi
Sebelum diangkat menjadi Menteri Agama, Rasjidi telah
menjabat Menteri Negara yang mengurusi peribadatan dalam Kabinet Sjahrir
I.Sebagai Menteri Agama di awal kemerdekaan, Rasjidi berangkat kerja ke kantor
Kementerian Agama di Yogyakarta dengan mengayuh sepeda. Kemudian ada seorang
yang bersedia meminjamkan mobilnya. Tapi ban mobil itu sudah tidak berfungsi
lagi sehingga diisi rumput kering.
Kisah Menteri Agama ke kantor naik sepeda diceritakan oleh
Ibu Rasjidi (istri almarhum HM Rasjidi). Rasjidi mengemban tugas bersejarah
sebagai orang pertama memimpin Kementerian Agama dalam Kabinet Sjahrir II. Seminggu
setelah mengakhiri tugas Menteri Agama dalam kabinet yang berakhir 2 Oktober
1946, Rasjidi diangkat oleh Presiden sebagai Sekjen Kementerian Agama dan saat
itu Menteri Agama K.H.R. Fatchurrahman Kafrawi.
Sebagai pejuang kemerdekaan, Rasjidi mengusahakan dukungan
dari negeri-negeri Islam di Timur Tengah terhadap perjuangan kemerdekaan
Indonesia. Perjuangan diplomasi RI di Timur Tengah yang dilakukan Rasjidi dan
kawan-kawan menghasilkan pengakuan kedaulatan dari hampir seluruh negara
anggota Liga Arab terhadap Republik Indonesia sebelum negara-negara lain
mengakui kemerdekaan kita. Sementara dalam aktivitas ilmiah dan dakwah, Rasjidi
diakui sebagai ilmuwan Islam yang besar dan berjasa membangkitkan etos
intelektualisme Islam di Indonesia. Hal mengesankan pada Rasjidi adalah
keyakinannya yang mutlak terhadap kebenaran Islam dan penguasaan ilmu di bidang
ke-Islaman yang utuh dan lengkap serta ditunjang dengan wawasan dalam
multidisiplin ilmu.
Dalam sejarah
pengembangan perguruan tinggi Islam khususnya IAIN,
Rasjidi adalah tokoh yang berjasa merintis dan membimbing studi purnasarjana
bagi dosen-dosen IAIN di Jakarta yang menjadi cikal
bakal program pascasarjana IAIN/UIN sekarang. Sementara
itu sejak tahun 70-an Rasjidi pernah mengingatkan betapa bahaya penggunaan
metode orientalis dalam studi Islam di Perguruan Tinggi Agama Islam khususnya IAIN.
Menurut beliau, metode orientalis akan mengikis otentisitas
keilmuwan Islam yang selama ini dipertahankan. Bahkan ada hal-hal terselubung
yang berbahaya memudarkan keimanan. Ide sekularisasi yang diusung Nurcholish
Madjid dan kawan-kawan di awal dekade 1970-an mendapat kritikan hebat dari
Rasjidi.
Menurutnya, sekularisasi pada akhirnya akan menghasilkan
sekularisme juga yang bertentangan dengan Islam. Pada awal tahun 1970-an, umat
Islam Indonesia mengerahkan segala daya upaya untuk menggagalkan RUU Perkawinan sekuler yang diajukan pemerintah ke DPR ketika itu. HM Rasjidi, dalam artikelnya di Harian Abadi edisi 20 Agustus 1973,
menyorot secara tajam RUU Perkawinan tersebut yang
antara lain dalam salah satu pasalnya menyatakan, perbedaan karena kebangsaan,
suku, bangsa, negara asal, tempat asal, agama, kepercayaan dan keturunan, tidak
merupakan penghalang perkawinan.
Tokoh yang hafal Al Quran itu dikenang sebagai sosok
ulama-intelektual yang istiqamah mengawal akidah umat terhadap bahaya
sekularisme, liberalisme, dan pemurtadan.
0 Komentar