(Halaman 1 dari 2)
Oleh: Beggy Rizkiyansyah
TARIK-MENARIK dan kontroversi UU Perkawinan di Indonesia kembali riuh. Pengajuan judicial review
UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 ke Mahkamah Konstitusi, sesungguhnya
hanya membolak-balik lembaran sejarah UU Perkawinan itu sendiri.
UU Perkawinan menjadi ajang tarik menarik antara umat Islam yang
mendukung syariat Islam dan pendukung sekularisme.Keinginan untuk
menyingkirkanaturan aturan Tuhan dalam undang-undang ditolak oleh umat
Islam di Indonesia yang menginginkan negara belindung di bawah teduhnya
aturan agama.
Sejak Indonesia belum, merdeka, pemerintah kolonial telah mencoba
untuk mengatur perkawinan di masyarakat, yang secara langsung
bersinggungan dengan umat Islam di Indonesia, sebagai mayoritas rakyat
Indonesia.
Pada tahun 1937, Pemerintah kolonial Belanda mencoba mengajukan
undang-undang perkawinan yang mewajibkan umat Islam untuk mencatatkan
pernikahannya, dan mewajibkan monogami serta melarang suami menceraikan
istri secara sepihak. Sontak undang-undang ini menuai reaksi keras dari
umat Islam saat itu, sehingga pemerintah kolonial pun membatalkannya.
Namun dilain sisi, sejak tahun 1933, pemerintah kolonial telah
memberlakukan Undang-undang perkawinan untuk Kristen pribumi yang
disebut HOCI (Huwelijkes Ordonnantie Christen Indonesiers),dan tetap dipertahankan oleh pemerintah Indonesia setelah merdeka.
Perundangan lain yang berlaku sejak zaman kolonial adalah perundangan yang mengatur perkawinan campuran, yaitu Regeling op de Gemengde Huwelijken(GHR), dalam staatsblad tahun 1898 no. 158 dan tahun 1904 no. 279.
Perkawinan campuran yang dimaksud pada pasal 1 adalah perkawinan
antara orang-orang yang di Indonesia, tunduk pada hukum yang
berlainan.Hukum yang berlainan maksudnya adalah hukum adat yang beraneka
ragam.
Menurut Jan S. Aritonang dalam Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia,
pada pasal 7 ayat 2 dalam perundangan itu, juga disebutkan bahwa
perbedaan agama, bangsa atau asal tidak menjadi penghalang untuk
perkawinan. (baca buku “Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia”,
Jan S Aritonang, Jakarta: BPK Gunung Mulia). Mungkin inilah
cikal-bakal atau setidaknya inspirasi upaya untuk melegalkan pernikahan
beda agama pada masa-masa berikutnya.
Perjalanan mengukuhkan UU Perkawinan di masa-masa berikutnya justru
semakin terjal.Departemen Agama kerap berupaya mengajukan UU Perkawinan
Islam, namun upaya ini selalu berbenturan dengan pihak nasionalis
sekuler. Melalui Departemen Kehakiman, pihak nasionalis sekuler
bersikukuh untuk mengusulkan satu hukum perkawinan tunggal yang berlaku
untuk semua warga negara.
Tahun 1950, Menteri Agama saat itu, KH Wahid Hasyim membentuk sebuah Komite Penyelidik Peraturan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk
yang disingkat NTR, yang dipimpin nasionalis Teuku M. Hasan. Anggota
komite itu terdiri dari beberapa Muslim, pemeluk Protestan, dan Katolik
serta aktivis perempuan. Tahun 1954, komite tersebut telah merampungkan RUU Perkawinan Peraturan Umum (1952) dan RUU Perkawinan Umat Islam.Namun
RUU ini tidak sampai diberlakukan karena dipandang tidak memuaskan oleh
Menteri Agama. Sebaliknya Menteri Agama saat itu memberlakukan UU No.
22/1946 hingga dikukuhkan menjadi UU no. 35/1954.
RUU Perkawinan, diajukan kembali ke parlemen tahun 1958. Saat itu RUU Perkawinan Islam bersaing dengan RUU Perkawinan baru yang mencakup semua warga negara, tanpa memandang agamanya.RUU baru ini dsebut ‘RUU Ny.Sumari’. Disebut demikian karena pengajuan RUU ini dipimpin oleh Ny.Sumari dari PNI.RUU inilah yang bersaing dengan RUU Perkawinan Islam
1954 (yang telah direvisi).Pembahasan RUU yang dimulai awal 1959 ini
berlangsung sengit di Parlemen.Aktivis perempuan, Nani Soewondo,
menyebutkan bahwa partai-partai Islam membela poligami, seakan-akan
poligami adalah hal yang prinsip dari sebuah pernikahan.
Bagi kubu partai Islam, persoalannya pembelaan poligami tak sekedar
hal yang dibolehkan agama, tetapi lebih merupakan simbol pergulatan
ideologis antara kubu Islam dan sekuler.
Sebaliknya, Mujiburrahman dalam disertasinya di Leiden mengenai
hubungan Islam dan Kristen di Indonesia, menyebutkan pendapat Zaini
Ahmad Noeh, bekas Pejabat
Departemen Agama. Zaini Ahmad Noeh mengatakanRUU Ny. Sumari tidak menyebutkan sedikitpun Peradilan Islam atau Hakim Islam, tetapi hanya peradilan sipil. Artinya RUU Ny. Sumari ini akan meniadakan peradilan Islam dalam persoalan perkawinan dalam Islam.
Pembahasan sengit ini merupakan dampak dari pergumulan panjang
pembahasan dasar negara antara idelologi Islam melawan sekuler di
Konstituante. Sebuah pergumulan dan pembahasan yang kemudian terhenti
oleh konstalasi politik era Demokrasi Terpimpin.*/bersambung Era Soeharto, Orde Baru dan CSIS
Sumber: http://www.hidayatullah.com/kajian/sejarah/read/2014/09/18/29727/sejarah-uu-perkawinan-antara-mengikat-atau-menceraikan-agama-dari-negara-1.html#.VBvOCIXhssF
0 Komentar