Oleh: Rijal Mumazziq Zionis
Menjelang peristiwa pertempuran 10 Nopember 1945, Kiai Abbas, Buntet,
Cirebon, membentuk jaringan telik sandi santri yang membentang dari
Cirebon ke arah timur hingga Surabaya. Anggotanya adalah para santri
dengan usia yang beragam. Dalam bentangan jaringan telik sandi inilah,
koordinasi antar lini barisan Mujahidin (mustasyar-nya Hizbullah dan
Sabilillah) yang dikomando oleh KH. A. Wahab Chasbullah bisa terjalin
sempurna. Demikian keterangan yang termuat dalam “Perlawanan dari Tanah
Pengasingan: Kiai Abbbas, Pesantren Buntet, dan Bela Negara” karya H.
Achmad Zaini Hasan.
Hasil-hasil pengintaian intelijen ini yang kemudian juga diteruskan
ke Markas Besar Oelama Djawa Timur yang berada di tangan KH. Bisri
Syansuri. Koordinasi antar lini ini yang memberikan efek dahsyat seputar
persiapan pertempuran yang kelak dikenang sebagai Hari Pahlawan.
Demikian pentingnya posisi Kiai Abbas, KH. M. Hasyim Asy’ari dalam fase
genting menjelang meletusnya pertempuran ini belum mengeluarkan
keputusan, kecuali setelah kedatangan Kiai Abbas. Apa yang dilakukan
oleh Kiai Abbas dengan membentangkan jaringan telik sandinya adalah
sebuah langkah taktis nan cerdik dalam momentum kemerdekaan tersebut.
Selain Kiai Abbas, KH. Wahid Hasyim juga tak kalah canggih dalam
kinerja spionase ini. Kiai Wahid memiliki santri andalan bernama Yusuf
yang bertindak sebagai penghubung dan kurir rahasia. Kinerja Yusuf
diakui oleh KH. Saifuddin Zuhri. Dalam masa perang kemerdekaan itu, Kiai
Saifuddin bergerilya dan sempat singgah di rumah kiai sepuh di daerah
pedalaman. Herannya, Yusuf si kurir Kiai Wahid Hasyim itu berhasil
mengendus jejaknya. Yusuf inilah yang menjadi kunci penghubung jaringan
kader yang dibina Kiai Wahid Hasyim bin Hasyim Asyari. Benar, dalam
sistem intelijen, Yusuf pantas digelari Laison Officer.
Kiai Wahid Hasyim, ayah Gus Dur, pada era perang kemerdekaan belum
menyentuh usia 35 tahun, tapi ia menunjukkan potensi di atas rata-rata.
Husein alias Tan Malaka, sosok yang paling diburu dinas intelijen Hindia
Belanda (SAD-PID) dan intelijen militer Jepang, beberapa kali malah
berkunjung ke kediaman Kiai Wahid.
Mengenai ilmu intelijen ini, Kiai Wahid menuturkan kepada Kiai
Saifuddin Zuhri: “Meski saya bukan pemimpin besar, tetapi saya mempunyai
mata ‘seribu kurang seratus’ dan telinga ‘seribu kurang seratus’”.
Maksudnya, menurut Kiai Saifuddin, pemimpin harus mempunyai seribu mata
dan seribu telinga. Artinya, pemimpin mesti banyak melihat dan mendengar
melalui berbagai saluran yang tidak dimiliki oleh sembarang orang.
Lalu, bukankah dalam dunia spionase ada istilah ‘Safe House’? Tentu
saja Kiai Wahid dan jaringannya punya ‘Safe House’, di antaranya: rumah
Kiai Abdurrazaq di Mampang, rumah Kiai Muhammad Naim di Cipete, rumah
Kiai Hasbiallah di Mender, rumah Kiai Baqir di Rawabangke, dan beberapa
nama lain.
Kenapa Safe House-nya di Jakarta? Bukankah ini sama halnya bunuh diri
karena Jakarta dikuasai Belanda? Tidak, Kiai Wahid dengan cerdik
menggunakan Teori Komunis Stalinis, “Jika kita pencuri yang sedang
diburu polisi, tempat yang paling aman untuk bersembunyi adalah kantor
polisi!” . Demikian kenang Kiai Safuddin Zuhri, ayah Menteri Agama RI
Lukman Hakim Saifuddin dalam memoarnya “Guruku Orang-Orang dari
Pesantren”.
Lalu bagaimana dengan kinerja intelijen usai kemerdekaan. Di antara
yang memiliki jaringan luas di bidang ini adalah KH. Abdurrahman Wahid
alias Gus Dur. Di zaman Orde Baru, Pak Harto memang betul-betul
menerapkan “seribu mata, seribu telinga” untuk memata-matai setiap
organisasi, termasuk NU.
Pada Muktamar NU di Situbondo, di mana NU memutuskan kembali ke
khittahnya, para intel berkeliaran di arena muktamar, bahkan para agen
pemerintah menyusup masuk ke ruang-ruang sidang, memata-matai setiap
pembicaraan para kiai. Dalam sebuah rapat penting yang dihadiri oleh
para kiai yang membahas tentang Pancasila, tiba-tiba Gus Dur meminta KH.
Prof. Tolchah Mansoer dan KH. Achmad Siddiq agar memimpin sidang dan
berpidato menggunakan bahas Arab. Kiai Tolchah dan Kiai Achmad yang
belum paham sepenuhnya maksud Gus Dur segera memimpin rapat menggunakan
bahasa Arab. Rapat berjalan mulus karena, tentu saja, para kiai yang
hadir memahami bahasa Arab sepenuhnya.
Usai rapat, Kiai Tolchah Mansoer bertanya kepada Gus Dur mengenai hal
tadi. “Mas, rapat kita di dalam tadi itu diawasi oleh intelnya
pemerintah, makanya sampeyan saya suruh berbahasa Arab. Mengapa? Karena
intelnya pemerintah itu intel kepet (abangan) yang nggak bisa bahasa
Arab..hehehe.”
Dalam peristiwa lain, jangan heran jika ketika menjadi presiden, Gus
Dur langsung merombak Badan Intelijen Strategis (BAIS) dengan struktur
baru dan pelan-pelan memutus jaringan Orde Baru di struktur BAIS dengan
mengangkat Wakil Kepala BAIS, Letjen Arie J. Kumaat untuk memimpin
lembaga baru intelijen: Lembaga Intelijen Negara (LIN). Gus Dur sepakat
dengan konsep re-organisasi seluruh organisasi intelijen di Indonesia.
Anggaran LIN ditambah. Struktur organisasinya berubah. Ada lima deputi
yang menangani intelijen asing, intelijen dalam negeri dan analisis.
Mulai Januari 2001, LIN pun diubah namanya menjadi Badan Intelijen
Nasional (BIN). Gus Dur tercatat sebagai presiden sipil yang dengan
berani mengotak-atik tatanan intelijen negara dan menempatkan lembaga
telik sandi ini sesuai dengan kinerja asalnya.
Di zaman Orde Baru, seringkali Gus Dur dikuntit intel pemerintah.
Maklum, ia tergolong tokoh yang kritis terhadap pemerintah. Yang ia
lakukan hanyalah berdoa semoga tidak benar-benar di”habisi” oleh rezim
represif saat itu.
“….Sayidina Amar bin Yasir, dan saya sudah lima kali mimpi ketemu
beliau. Tidak pernah lepas fatihah saya kepada beliau selama belasan
tahun. Menurut saya beliau adalah tokoh politik yang paling dahsyat
dalam sejarah awal Islam. Beliau adalah raja intelijen Islam. Orang
intel(ijen) harus begitu. Lawla rajulun mukhabarat seperti beliau, Islam
tidak akan mampu melawan Bizantium, tidak akan mampu melawan Kerajaan
Persia. Di sana ada raja-raja intel(ijen) semua. Tapi dari pihak Islam
ada intel-intel seperti Amar bin Yasir. Sayidina Amar kan seorang tokoh
politik. Seorang tokoh pejabat yang memiliki kemampuan intelijensia yang
luar biasa. Dan saya terus terang saja, kalau sudah perang dengan
orang-orang intel(ijen), diganggu dan diacak-acak oleh intel, saya
selalu TAWASSUL kepada Sayidina Amar bin Yasir, dan selalu diberi
petunjuk berupa ayat-ayat dan selalu cocok. Menghadapi intel minta
tolong kepada Sayidina Amar bin Yasir, itu saya sudah kenyang.”
Demikian pandangan Gus Dur tentang Sayidina Amar bin Yasir yang
tersisip saat berdiskusi tentang Aswaja bersama beberapa orang tokoh NU,
pada suatu waktu. Notulensi polemik Aswaja ini termuat, sayang sekali
tanpa keterangan waktu dan lokasi acara, di buku “Kiai Menggugat:
Mengadili Pemikiran Kang Said” (1999).
Bagaimana dengan KH. Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh. Dalam buku
“Belajar dari Kiai Sahal”, termuat kisah bagaimana dengan cara yang khas
Kiai Sahal menghadapi jaringan telik sandi pemerintah. Pernah, dalam
suatu acara besar yang digelar selama beberapa hari, Kiai Sahal selalu
rutin diantar jemput oleh seseorang bertubuh tegap memakai sepeda motor.
“Wah, njenengan enak ya kiai. Ke sana-kemari ada yang ngantar pakai
sepeda motor!” kata beberapa sahabat Kiai Sahal yang melihatnya diantar
naik motor.
“Lha, enak gimana, wong itu intel-nya Kodim,” jawab Kiai Sahal terkekeh.
Masih belum cukup, dalam beberapa kali bahtsul masail di MWCNU
Margoyoso Pati, selalu saja ada pihak intel yang mengawasi dengan
menyaru sebagai kiai maupun santri. Menyikapi model pengawasan seperti
ini, apa yang dilakukan oleh Kiai Sahal? Membuka acara, mempersilahkan
sambutan beberapa pihak, memulai diskusi fiqh sebagai pengantar, sampai
menunggu intelnya menyingkir pulang.
Setelah si intel pulang, barulah bahtsul masail sebenarnya dimulai dan dijalankan dengan serius.
Demikianlah, berbagai ilmu dan kebijaksanaan para kiai membuatnya
mampu mengatasi halangan para intelijen –sejak era perang kemerdekaan
hingga Orde Baru– yang berkeliaran mengawasi dan membuntutinya. Strategi
kontra-intelijen yang khas kaum bersarung!
Sumber: http://www.muktamarnu.com/strategi-kontra-intelijen-para-kiai.html
0 Komentar