NU
menerima sepenuhnya negara berdasarkan Pancasila pada Munas Ulama 1983 dan
kemudian disetujui pada Muktamar NU 1984. Dalam Munas dan Muktamar itu pun
masih terjadi debat tajam mengenai setuju atau tidaknya muktamar menerima
Pancasila.
Bersyukur,
KH Ahmad Siddiq yang menyusun naskah Dokumen Hubungan Islam dan Pancasila
didukung sejumlah kiai sepuh bisa meyakinkan para muktamirin untuk menerima
Pancasila. KH Ahmad Siddiq sudah sejak lama mengusulkan supaya NU menerima,
secara penuh dan sukarela, Pancasila sebagai dasar negara.
Sekitar saat era reformasi mulai bergulir, banyak anak muda NU
yang berbicara “deformalisasi syariat Islam”.
Menurut saya “deformalisasi syariat Islam” itu tak
sesuai fakta. Saya menafsirkan semboyan itu
bermakna menggugat syariat Islam yang masuk UU. Semua
ketentuan syariat Islam yang khusus Islam (partikular) bukan yang universal
harus dibongkar dari UU. Saat itu sudah ada UU Perkawinan (1974) dan UU
Peradilan Agama (1989). Apakah itu makna dan tujuan“deformalisasi syariat Islam”, yaitu membatalkan UU Perkawinan dan UU
Peradilan Agama? Kalau betul itu tujuan “deformalisasi syariat Islam” maka
itu mengabaikan perjuangan para ulama era masa lalu yang berjuang untuk
memasukkan ketentuan syariat Islam ke UU khususnya dalam hukum keluarga. Kalau
yang dimaksud “deformalisasi syariat Islam” itu dengan tetap mempertahankan
sebagian syariat Islam yang sudah masuk UU, istilah yang dipakai adalah
menerima secara terbatas masuknya syariat Islam ke UU.
Kalau kita perhatikan proses pembentukan UU Perkawinan, sungguh
luar biasa. Pemuda-pemuda Islam dari
berbagai organisasi menyerbu gedung DPR dan menduduki gedung itu sehingga
sidang terpaksa dihentikan. KH Bisri Syansuri, Rais Aam Syuriyah PBNU bersama
para ulama dari berbagai organisasi Islam menyampaikan pandangan para ulama tentang
RUU Perkawinan yang dianggap bertentangan dengan syariat Islam.
Usul
itu akhirnya disetujui Pak Harto dan dimasukkan di Pasal 1 UU No 1/1974 tentang
Perkawinan yang mengatur perkawinan harus dilakukan sesuai hukum agama
masing-masing. Saat kedua UU itu disahkan, Golkar, PPP, dan Fraksi ABRI
menerima, hanya PDI yang menolak. Kini UU itu sudah berusia 41 tahun.
Belum
lama ada sejumlah warga yang menggugat UU itu ke MK, tetapi ditolak. Memang
masih ada sejumlah hal yang dipermasalahkan. Pertama, pernikahan antara Muslim
dan warga beda agama, ada yang mengusulkan supaya dibolehkan. Masalah lain
ialah ekses pernikahan kedua dan berikutnya yang secara siri. Ada yang
mengusulkan supaya poligami dilarang, tetapi ada juga yang menolak. Pernikahan
sesama jenis belum menjadi masalah di sini walau sudah ada yang melakukannya,
di Bali dan Jawa Tengah.Sumber: http://pustakamadrasah.blogspot.co.id/2015/11/nu-menolak-indonesia-berdasarkan-islam_7.html
0 Komentar