Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Ticker

6/recent/ticker-posts

Siapakah yang Layak Disebut Muhaddits?

Beberapa pihak amat bermudah-mudah menggelari beberapa orang dengan gelar “al muhaddits”. Atau bahkan lebih dari itu, ada yang dengan sengaja menjuluki tokoh tertentu dengan sebutan “muhaddits abad ini”, padahal yang bersangkutan tidak memiliki periwayatan, tidak menyimak hadits dari para perawi dan muhadditsun sebelumnya, atau mungkin hanya memperoleh ijazah dalam kitab-kitab tertentu saja. Sebenarnya, syarat apa yang harus dipenuhi, hingga seseorang layak memperoleh gelar al muhaddits? Tentu, jawabannya kita kembalikan kepada kriteria yang ditetapkan para huffadz dan muhaditsun mengenai mereka yang layak disebut muhaddits.

Muhaddits sendiri secara bahasa adalah orang yang meriwayatkan (rawi) hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. (Mu’jam Al Wasith, hal.160) Namun, dalam ilmu musthalah al hadits, ditetapkan syarat, hingga seorang perawi disebut muhaddits. Berikut ini, penulis ketengahkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang hingga ia bisa disebut sebagai muhaddits, dengan merujuk kajian yang telah ditulis oleh Al Hafidz As Suyuthi dalam muqadimah Tadrib Ar Rawi, (hal. 29-35).
Tatkala berbicara mengenai tingkatan penguasaan dalam ilmu hadits, Al Hafidz As Suyuthi telah membahas masalah ini dengan penjang pebar, ketika menyebutkan kriteria hafidz, muhaddits dan musnid, dengan menyebutkan,”Ketahuilah bahwa derajat terendah dari ketiganya adalah musnid, yakna siapa yang meriwayatkan hadits dengan isnadnya, baik dia memiliki ilmu tentang hadits atau hanya sekedar meriwayatkan. Adapun muhaddits lebih tinggi dari hal ini.”

Beliau juga menukil pendapat Taj bin Yunus dalam Syarh At Ta’jiz, tentang siapa itu muhaddits, ”Siapa yang memiliki ilmu mengenai penetapan hadits dan keadilan para perawinya, karena siapa yang hanya terbatas menyimak saja, maka ia tidak termasuk alim.”

Az Zarkasyi juga menyebutkan,”Adapun bagi para fuqaha’, muhaddits untuk mereka secara mutlak tidak diberikan, kecuali kepada mereka yang hafal matan hadits dan memiliki ilmu mengenai jarh dan ta’dil para perawinya, dan tidak hanya sebatas meriwayatkan.

Dari beberapa paparan tersebut, menyimak merupakan syarat seseorang dalam ilmu hadits, baik musnid, muhaddits, atau hafidz. Namun, muhaddits lebih tinggi tingkatannya dibanding musnid, karena muhaddits harus memiliki pengetahuan menganai jarh wa ta’dil.

Akan tetapi, dalam keterangan di atas tidak disebutkan secara terperinci berapa jumlah hadits yang harus disima’ dan dihafal, serta tingkatan pengetahuan mengenai rijal al hadits. Keterangan lebih jelas mengenai syarat-syarat seorang bisa disebut muhaddits dijelaskan oleh Tajuddin As Subki, dalam Mu`id An Ni’am,”Sesungguhnya muhaddits adalah siapa yang tahu asanid dan ilal, nama-nama rijal, (sanad) al ali dan an nazil, hafal banyak matan, menyimak Kutub As Sittah, Musnad Ahmad, Sunan Al Baihaqi, Mu’jam At Thabarani, dan digabungkan dengannya seribu juz dari kitab-kitab hadits. Ini adalah derajat terendah.”

Sebelumnya Tajuddin As Subki juga mengkritik kelompok yang mengira sebagai muhaddits dengan hanya mengkaji Masyariq Al Anwar As Saghani dan Mashabih Al Baghawi, dengan mengatakan,”Hal itu tidak lain karena mereka jahil terhadap hadits. Walau mereka hafal dua kitab itu di luar kepala dan digabungkan kepadanya dua kitab semisalnya, belum menjadi muhaddits, dan tidak akan pernah menjadi muhaddits, hingga onta masuk ke lubang jarum.”

Beliau melanjutkan,”Demikian pula, jika kelompok tersebut mengklaim sampai kepada derajat tinggi hadits dengan mengkaji Jami’ Al Ushul Ibnu Atsir, dengan ditambah Ulum Al Hadits Ibnu Shalah dan Taqrib wa At Taisir Imam An Nawawi, dan sejenisnya. Kemudian menyeru, “barang siapa sampai derajat ini, maka ia adalah muhaddits dari para muhadditsun atau Bukhari zaman ini,” dan dengan lafadz-lafadz bohong sejenisnya. Sesungguhnya yang kami sebutkan ini tidak dihitung sebagai muhaddits.”

Walhasil, memang tidak mudah mencapai derajat muhaddits, sehingga kita juga tidak bisa mudah-mudah memberikan gelar ini kepada siapa pun. Sehingga tidak memposisikan seseorang bukan pada tempatnya, apalagi dalam kedudukan ilmiah ini. WallahuTa’ala A’la wa A’lam.
_________________________________
Rujukan:
1. Mu’jam Al Wasith, Dr. Ibrahim Anis, dkk, cet. II, th. 1392, Majma’ Al Lughah Al Arabiyah.                                                                                
2. Tadrib Ar Rawi fi Syarhi Taqrib li An Nawawi, Al Hafidz As Suyuthi, cet. II, th. 1315, Maktabah Al Kautsar.

Posting Komentar

0 Komentar