Beberapa pihak amat bermudah-mudah menggelari beberapa orang
dengan gelar “al muhaddits”. Atau bahkan lebih dari itu, ada yang dengan
sengaja menjuluki tokoh tertentu dengan sebutan “muhaddits abad ini”,
padahal yang bersangkutan tidak memiliki periwayatan, tidak menyimak
hadits dari para perawi dan muhadditsun sebelumnya, atau mungkin hanya
memperoleh ijazah dalam kitab-kitab tertentu saja. Sebenarnya, syarat
apa yang harus dipenuhi, hingga seseorang layak memperoleh gelar al
muhaddits? Tentu, jawabannya kita kembalikan
kepada kriteria yang ditetapkan para huffadz dan muhaditsun mengenai
mereka yang layak disebut muhaddits.
Muhaddits sendiri secara bahasa adalah orang yang meriwayatkan (rawi)
hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. (Mu’jam Al Wasith, hal.160)
Namun, dalam ilmu musthalah al hadits, ditetapkan syarat, hingga
seorang perawi disebut muhaddits. Berikut ini, penulis ketengahkan
syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang hingga ia bisa disebut
sebagai muhaddits, dengan merujuk kajian yang telah ditulis oleh Al
Hafidz As Suyuthi dalam muqadimah Tadrib Ar Rawi, (hal. 29-35).
Tatkala berbicara mengenai tingkatan penguasaan dalam ilmu hadits, Al
Hafidz As Suyuthi telah membahas masalah ini dengan penjang pebar,
ketika menyebutkan kriteria hafidz, muhaddits dan musnid, dengan
menyebutkan,”Ketahuilah bahwa derajat terendah dari ketiganya adalah
musnid, yakna siapa yang meriwayatkan hadits dengan isnadnya, baik dia
memiliki ilmu tentang hadits atau hanya sekedar meriwayatkan. Adapun
muhaddits lebih tinggi dari hal ini.”
Beliau juga menukil pendapat Taj bin Yunus dalam Syarh At Ta’jiz,
tentang siapa itu muhaddits, ”Siapa yang memiliki ilmu mengenai
penetapan hadits dan keadilan para perawinya, karena siapa yang hanya
terbatas menyimak saja, maka ia tidak termasuk alim.”
Az Zarkasyi juga menyebutkan,”Adapun bagi para fuqaha’, muhaddits
untuk mereka secara mutlak tidak diberikan, kecuali kepada mereka yang
hafal matan hadits dan memiliki ilmu mengenai jarh dan ta’dil para
perawinya, dan tidak hanya sebatas meriwayatkan.
Dari beberapa paparan tersebut, menyimak merupakan syarat seseorang
dalam ilmu hadits, baik musnid, muhaddits, atau hafidz. Namun, muhaddits
lebih tinggi tingkatannya dibanding musnid, karena muhaddits harus
memiliki pengetahuan menganai jarh wa ta’dil.
Akan tetapi, dalam keterangan di atas tidak disebutkan secara
terperinci berapa jumlah hadits yang harus disima’ dan dihafal, serta
tingkatan pengetahuan mengenai rijal al hadits. Keterangan lebih jelas
mengenai syarat-syarat seorang bisa disebut muhaddits dijelaskan oleh
Tajuddin As Subki, dalam Mu`id An Ni’am,”Sesungguhnya muhaddits adalah
siapa yang tahu asanid dan ilal, nama-nama rijal, (sanad) al ali dan an
nazil, hafal banyak matan, menyimak Kutub As Sittah, Musnad Ahmad, Sunan
Al Baihaqi, Mu’jam At Thabarani, dan digabungkan dengannya seribu juz
dari kitab-kitab hadits. Ini adalah derajat terendah.”
Sebelumnya Tajuddin As Subki juga mengkritik kelompok yang mengira
sebagai muhaddits dengan hanya mengkaji Masyariq Al Anwar As Saghani dan
Mashabih Al Baghawi, dengan mengatakan,”Hal itu tidak lain karena
mereka jahil terhadap hadits. Walau mereka hafal dua kitab itu di luar
kepala dan digabungkan kepadanya dua kitab semisalnya, belum menjadi
muhaddits, dan tidak akan pernah menjadi muhaddits, hingga onta masuk ke
lubang jarum.”
Beliau melanjutkan,”Demikian pula, jika kelompok tersebut mengklaim
sampai kepada derajat tinggi hadits dengan mengkaji Jami’ Al Ushul Ibnu
Atsir, dengan ditambah Ulum Al Hadits Ibnu Shalah dan Taqrib wa At
Taisir Imam An Nawawi, dan sejenisnya. Kemudian menyeru, “barang siapa
sampai derajat ini, maka ia adalah muhaddits dari para muhadditsun atau
Bukhari zaman ini,” dan dengan lafadz-lafadz bohong sejenisnya.
Sesungguhnya yang kami sebutkan ini tidak dihitung sebagai muhaddits.”
Walhasil, memang tidak mudah mencapai derajat muhaddits, sehingga
kita juga tidak bisa mudah-mudah memberikan gelar ini kepada siapa pun.
Sehingga tidak memposisikan seseorang bukan pada tempatnya, apalagi
dalam kedudukan ilmiah ini. WallahuTa’ala A’la wa A’lam.
_________________________________
Rujukan:
1. Mu’jam Al Wasith, Dr. Ibrahim Anis, dkk, cet. II, th. 1392, Majma’
Al Lughah Al Arabiyah.
2. Tadrib Ar Rawi fi Syarhi Taqrib li An Nawawi, Al Hafidz As Suyuthi, cet. II, th. 1315, Maktabah Al Kautsar.
0 Komentar