Tradisi singkir-menyingkirkan bahkan saling bunuh yang
terjadi gerakan komunis bukanlah fakta yang langka. Mereka tak segan memangsa
sesamanya demi motif pribadi atau kelompok, seperti kelak dilakukan Aidit pada
sejumlah tokoh penting PKI.
Oleh: Md Aminudin
Sambungan dari artikel PERTAMA & KEDUA
KEMBALINYA Musso ke tanah air pada awal Agustus 1948 seperti
gayung bersambut dengan rencana revolusi yang disusun FDR-Amir Syarifuddin.
George Mc Turnan Kahin dalam Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia
mengemukakan sebuah dokumen rahasia kelompok FDR/PKI yang disusun pada
pertengahan Juli 1948. Kahin menulisnya berdasarkan pengamatan langsung di
titik pusat revolusi, melakukan wawancara dengan banyak tokoh nasional sehingga
buku ini termasuk yang paling otentik membahas Indonesia kurun 1945-1950.
Isi dokumen rahasia FDR itu antara lain mengatakan: jika
cara-cara yang sah (parlementer) gagal, maka cara revolusi bersenjata akan
ditempuh. Sejak kabinet Amir tumbang, kelompok kiri tidak serta merta menyerah.
Mereka tetap berupaya come back melalui cara-cara yang legal maupun setengah
legal. Dokumen setebal 7 halaman itu juga menyebut langkah-langkah taktis
bersenjata yang akan dilakukan FDR, salah satunya dengan menempatkan 1 batalion
di wilayah strategis.
Seberapa besarkah kekuatan bersenjata yang dimiliki FDR/PKI
sehingga mereka pede sekali dengan siasat itu? Masih dalam catatan itu pula FDR
mengklaim 30% dari pasukan TNI adalah simpatisan FDR/PKI. Angka yang tidak
kecil ini kelak punya relevansi dengan peristiwa G30S/PKI pada 1965 yang juga
dosokong sejumlah tentara. Merekalah kader-kader PKI yang selamat dari
pembersihan pasca Kup Madiun 1948.
Sementara itu, dengan membawa mandat Stalin untuk
merealisasikan Djalan Baru Komunis, Musso terus melakukan konsolidasi internal
dengan kelompok-kelompok kiri. Dalam rapat Politbiro PKI pada tanggal 13-14
Agustus 1948, Musso memaklumatkan
dibentuknya satu partai kelas buruh dengan memakai nama yang bersejarah; PKI.
Maklumat tersebut mengharuskan dilakukan fusi tiga partai yang beraliran
Marxsisme-Leninisme: PKI, Partai Buruh Indonesia (PBI), dan Partai Sosialis
Indonesia (PSI) Amir—bedakan dengan Partai Sosialisnya Syahrir. PKI hasil fusi
ini akan memimpin revolusi proletariat untuk mendirikan sebuah pemerintahan
yang disebut “Komite Front Nasional”.
Dari sini bisa kita lihat, kuatnya pengaruh Musso dalam
gerakan kiri—kecuali kelompok Tan Malaka—pada waktu itu. Ia dipandang sebagai
godfather, tokoh yang sudah khatam dengan gerakan komunis internasional
sehingga segala titahnya wajib dilaksanakan. Musso adalah nama besar yang jadi
legenda gerakan kiri di Indonesia hingga kehadirannya pada waktu itu
dielu-elukan bak satria piningit yang lama dinanti.
Sebagai wujud fusi tiga parti kiri itu, pada 1 September
1948 dibentuklah Politbiro PKI yang diketuai Musso, Alimin, Amir Syarifuddin
dan wakil-wakil sekretaris yang antara lain Aidit dan Nyoto—dua nama yang
lagi-lagi terlibat aktif.
Dengan semangat Djalan Baru yang membawa gerakan PKI ke
jalur yang lebih agresif dan radikal, Musso dkk terus melakukan agitasi dan
propaganda kepada masyarakat. Rapat-rapat umum dengan melibatkan ribuan massa
digelar di sejumlah tempat secara maraton pada bulan September itu; Tanggal 7
di Solo, tanggal 8 di Madiun, tanggal 10 di Kediri, tanngal 13 di Jombang, 14
di Bojonegoro, 16 di Cepu, 17 di Purwodadi. Di setiap rapat akbar itu bendera
palu arit berkibar secara meriah.
Di sela rapat-rapat akbar itu, pada 9 September Musso
mengajak berunding Masyumi dan PNI mengusulkan pembentukan Front Nasional.
Namun Masyumi dan PNI menolak. Tampaknya mereka sudah tahu akal bulus Musso
dkk. Mereka tidak mau terjebak dalam permainan likik kaum komunis.
Gagalanya usaha tersebut membuat Musso semakin berang. Pintu
untuk come back ke pemerintahan Kabinet Hatta lewat jalur legal sudah tertutup
rapat. Kini sudah tak pintu lain kecuali perebutan kekuasaan.
18 September 1948; Kudeta Berdarah
Kudeta yang direncanakan Muso & Amir dkk ternyata
terlaksana lebih cepat dari rencana. Adalah Soemarsono, tokoh Pemuda Sosialis
Indonesia (Pesindo) yang kelak disebut-sebut sebagai tokoh kunci pemberontakan
PKI Madiun, memimpin pemberontakan itu. Pada dini hari jam 2 pagi, dengan
kekuatan seribu lima ratus orang PKI melancarkan kudeta. Kantor-kantor
pemerintahan, jawatan strategis seperti Telkom dan radio direbut. Serangan
mendadak itu dilawan oleh kesatuan-kesatuan CPM dan Pasukan Siliwangi, namun
hanya berlangsung selama beberapa jam.
Koresponden ‘Murba’ di Madiun yang mengirimkan reportasenya
dari kota itu menulis; ‘Para penyerang membawa emblem dengan palu dan arit
serta huruf-huruf WFDY-IUS. Serangan mereka berhasil, kemudian disusul dengan
penjarahan, kepanikan di kalangan penduduk, penangkapan sewenang-wenang,
tembak-menembak, dan ‘penjerbuan setjara fasisi bendera Merah Putih disobek dan
diganti dengan bendera palu arit; dan potret Soekarno diganti dengan potret
Moeso’.
Untuk memonopoli informasi, para penduduk dilarang
mendengarkan RRI, hanya radio Gelora Pemuda milik Pesindo yang boleh didengar.
Pagi harinya, pukul 10 lewat radio Gelora Pemuda Madiun,
Soemarsono mengumumkan “Kemenangan bermula di Madiun” dan meminta gerakan PKI
di daerah manapun melakukan hal yang sama:
“Revolusi sudah dikobarkan. Kaum buruh sudah melucuti polisi
dan tentara Republik. Pemerintahan Buruh dan Tani yang baru sudah dibentuk.
Mulai saat ini senjata kita tidak boleh berhenti memuntahkan peluru sampai
kemerdekaan, keamanan dan ketenteraman pulih di negeri Indonesia tercinta ini.”
Berturut-turut pada pukul 19.30 dan 20.00 Radio Gelora
Pemuda menyiarkan pernyataan-pernyataan “Pemerintah Baru” tersebut yang
mengagitasi rakyat untuk melawan Pemerintah RI yang sah. Meski tidak sama
dengan aksi serangan di Madiun dan Magetan yang sukses mengambil alih
pemerintahan, kup yang sama terjadi di Trenggalek, Ponorogo, Pacitan, Ngawi,
Purwodadi, Kudus, Pati, Blora, Rembang dan Cepu.
Penulis-penulis dan tokoh pro PKI masa kini menyebut bahwa
peristiwa Madiun bukanlah aksi terencana, tapi spontan dan bersifat lokal
akibat dari provokasi kabinet Hatta-Soekiman-Natsir. Ini adalah alibi yang
khas. Tahun 1965 alibi semacam ini juga dipakai lagi. Faktanya seperti ditulis
Kahin dalam Nasionalisme dan Revalusi di Indonesia (1952) mengutip laporan
Wartawan Murba di Madiun pada 12 September 1948 menyebut: ‘Tentara-tentara pro
FDR sudah ditempatkan di desa-desa sebanyak masing-masing 1 batalion. Kepada
rakyat mereka mengatakan bahwa pemerintahan Soekarno-Hatta telah bubar. Mereka
juga mengatakan Masyumi dan Tan Malaka adalah penghianat’. Artinya, kudeta ini
sudah direncanakan jauh-jauh hari dan berdampak secara luas di daerah-daerah
lain.
Hary A Poeze dalam Madiun 1948; PKI begerak, mengutip laporan
yang sama: ‘Lurah dipaksa meletakkan jabatan; pejabat pemerintahan setempat
ditindas. Barangsiapa menolak akan ditembak. Seluruh desa ditekan untuk menjadi
anggota FDR’.
Kelak pada 1950, dalam usaha membangun PKI dari
keruntuhannya, Aidit, seperti ia tulis dalam Menggugat Peristiwa Madiun
mengatakan bahwa Peristiwa Madiun 1948 bukan perebutan kekuasaan oleh FDR-PKI,
bukan hendak merobohkan pemerintah Indonesia, bukan mendirikan pemerintahan
Soviet. Ia beralibi, pada hari kejadian Musso dan Amir tidak berada di Madiun,
jadi mana mungkin mereka memimpin pemberontakan.
Namun tuduhan Aidit terpatahkan oleh fakta yang dikemukakan
Soemarsono yang tak lain pentolan pemberontakan itu. Dalam buku Negara Madiun?
(terbit 2008) yang ditulis Hesri Setiawan, Soemarsono menceritakan secara rinci
apa yang terjadi pada hari-hari menjelang dilakukannya kudeta. Ia telah
berkonsultasi dengan Musso dan Amir yang waktu itu tengah dalam turnya di
Kediri pada 10-11 September 1948. Pada hari kudeta pun, Soemarsono mengirim kurirnya
kepada Musso yang waktu itu berada di Bojonegoro untuk melaporkan perkembangan
Madiun. Keputusan kup itu juga atas sepengetahuan dan persetujuan pucuk
pimpinan PKI, Wikana dan Setiadjit yang telah tiba di Madiun sehari sebelum
pemberontakan.
Mungkin bagi pembaca awam, ini menjadi fakta aneh, bagaimana
bisa sesama PKI saling melempar tuduhan, saling menegasikan? Tradisi
singkir-menyingkirkan bahkan saling bunuh yang terjadi gerakan komunis bukanlah
fakta yang langka. Mereka tak segan memangsa sesamanya demi motif pribadi atau
kelompok, seperti kelak dilakukan Aidit pada sejumlah tokoh penting PKI.
Seperti juga yang terjadi pada Leon Trotsky, yang dibunuh secara kejam;
kepalanya dipalu dengan kampak es. Pelakunya Ramón Mercader, atas instruksi
stalin.
Kelak dalam usahanya menghidupkan PKI, pada 1950, Aidit
membuang Soemarsono ke Pematang Siantar, Sumatra dengan alasan: “kita mau
membangun partai, dengan bekerjasama dengan Soekarno”. Tokoh penting itu
kembali ke Jakarta pada 1964 sebagai sosok yang luka batinnya. Namun apes, tak
genap hitungan setahun, G30S/PKI meletus.
Kembali lagi ke pemberontakan PKI Madiun, lewat tengah malam
19 September, rombongan Musso tiba di Madiun setelah lawatannya di Bojonegoro.
Mereka melakukan perundingan di rumah Soemarsono. Suasananya diliputi
kegembiraan. Mereka saling berpelukan, gembira dengan hasil baik yang dicapai
di Madiun. Kejadian itu disaksikan langsung oleh wartawan Antara yang
mengiringi lawatan Musso cs ke sejumlah daerah.
Dalam rapat itu diputuskan untuk melakukan perebutan
kekuasaan yang sama di berbagai daerah. Wikana dikirim ke Solo untuk memimpin
pertempuran di sana. Setiadjit dan Atmadji ke daerah Kediri. Komandan pasukan
yang pro-FDR, Soediarto di Pati, ditugasi untuk merebut kota-kota di utara.
Juga instruksi dikirim ke Yogya dan Magelang. Instruksi itu menyatakan, bahwa
partai-partai FDR ‘harus ikut ambil bagian dalam pemberontakan umum.
Namun tak butuh lama untuk melihat bahwa pemberontakan itu
telah gagal. Musso Cs tampaknya mulai sadar bahwa gerakan mereka tidak disambut
gempita oleh rakyat sebagaimana yang mereka bayangkan. Maka pada 20 September,
lewat siaran radio, Kol Djokosudjono, Komandan Militer Madiun mencoba
meluruskan bahwa Peristima Madiuan bukanlah kup atas pemerintah yang
sah.Tanggal 23 September, Soemarsono yang ditunjuk sebagai Gubernul Militer
juga menyiarkan hal yang nadanya sama.
Jelas di sini, moral Musso cs telah runtuh. Mereka sadar
tengah berada diambang kehancuran. Tapi nasi sudah jadi bubur. Rakyat sudah
tahu kebohongan FDR-PKI. Darah rakyat dan ulama sudah tumpah. Wartawan ‘Sin Po’
yang berada di Madiun, menuliskan detik-detik ketika PKI pamer kekejaman itu
dalam reportase yang diberi judul: ‘Kekedjeman kaoem Communist; Golongan
Masjoemi menderita paling heibat; Bangsa Tionghoa “ketjipratan” djoega.’
Usaha tokoh-tokoh PKI untuk memperbaiki keadaan dan menarik
simpati masyarakat berujung ke gagalan. Di Madiun sendiri, para pelajar di
bawah komando Brigade PII dan Tentara Republik Pelajar (TRIP) melakukan
perlawanan dengan berbagai cara. Rakyat di daerah, dipimpin para ulama Masyumi
dan NU bersiaga melakukan perlawanan.
Pasukan Siliwangi ditambah kesatuan Hisbullah di bawah
pimpinan AH Nasution (kelak jadi sasaran punculikan PKI 1965) tiba di Madiun
pada 30 September. Namun para pemberontak telah melarikan diri. Soe Hok Gie
dalam orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan Menulis; ‘Di Dungus ditemukan 60
mayat. Dalam keadaan putus asa seribu orang telah dibunuh (pelajar, tentara,
lawan-lawan politik) dan beratus rumah dibakar. Terungkapnya pembunuhan
terhadap tawanan-tawanan menimbulkan rasa jijik dari pihak-pihak yang
sebelumnya tak terlalu anti komunis (hl. 264).
Pembersihan terhadap pemberontak dilakukan di berbagai
titik; Ponorogo, Trenggalek, Kediri, Pati dan Purwodadi. Para pemberontak yang
terdesak itu terus bersembunyi ke tempat-tempat yang sulit di jangkau, salah
satunya Lereng Gunung Wilis yang direncanakan sebagai basis pertahanan
terakhir. Dalam peristiwa yang dramatik, 31 Oktober 1948 Musso ditembak di desa
Semanding, Ponorogo saat sembunyi di toliet rumah warga. 28 November, Kolonel
Djoko Sudjono, Setiadjid dll ditangkap di Desa Peringan, Purwodadi. Amir dan
tokoh-tokoh komunis lainnya ditangkap pada 29 November 1948 di Purwokerto dan
dieksekusi mati sebulan kemudian.
Harry A. Poeze Madiun 1948 PKI Bergerak menulis,
penguasa-penguasa komunis melakukan balas dendam pada musuhnya, terutama di
luar Madiun, dengan cara-cara berdarah. Tamatnya pemerintahan mereka yang
singkat itu dibarengi dengan pembantaian. Para pejabat pemerintahan, polisi,
dan tokoh masyarakat Islam jadi korban. Sebagai tindakan balasan, banyak
anggota komunis yang tertangkap dalam pertempuran kemudian dieksekusi.
Tidak seperti yang selama ini digemborkan oleh pendukung PKI
bahwa peristiwa Madiun 48 adalah konflik lokal, melalui buku ini, Poeze
mengambil kesimpulan bahwa peristiwa di Madiun adalah sebuah pemberontakan.
Tujuannya adalah mendirikan republik Soviet di Indonesia. “Dengan menyebut ini
peristiwa lokal, ia (PKI) bisa muncul lagi sebagai partai normal,” ujar Poeze.
Dan benar seperti kata Poeze, tak butuh waktu lama buat PKI
untuk kembali ke pentas politik nasional. Dengan siasat baru, Aidit cs berhasil
membawa PKI ke muka panggung kekuasaan dan menjadi partai paling berpengaruh
pada kurun 1950 sd 1965.* (bersambung)
*Penulis adalah novelis dan biografer, tinggal di Surabaya,
Kediri & Madiun
Catatan:
Seri artikel kronik PKI ini adalah penyuguhan fakta sejarah
dari novel Tembang Ilalang karya Md Aminudin.
George McTurnan Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di
Indonesia: Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik. Pustaka Sinar Harapan, 1995
Komunisme di Indonesia (jilid 1), Pusjarah TNI, 2009.
Ruth T. McVey. Kemunculan Komunisme Indonesia. Komunitas
Bambu. 2010.
Soe Hok Gie, Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan,
YBentang Budaya-Yogyakarta, 1997.
Sunyoto, Agus. 1996. Banser Berjihad Menumpas PKI. Lembaga
Kajian dan Pengembangan, PW GP Ansor Jawa Timur & Pesulukan Thoriqoh Agung.
Tulung Agung
Taufik Abdullah, Manusia dalam Kemelut Sejarah,
Prisma-Jakarta, 1977.
0 Komentar