Abdurrahman bin Auf lahir dan tumbuh dewasa di lingkungan masyarakat penganut politeisme (banyak Tuhan) yang memiliki tradisi mengundi nasib dengan burung atau anak panah, meminta nasihat kepada berhala-berhala dalam urusan pernikahan, bepergian, berperang, berbisnis, dan lain-lain. Tidak hanya itu, sistem patriarki yang masih kuat membuat mereka menganggap perempuan lebih rendah daripada laki- laki, menguburnya hidup-hidup, dan mewariskannya seperti harta warisan.
Abdurrahman
bin Auf lahir di Mekah tahun 43 SH atau tahun 580 M. Ibunya bernama Syifa,
putri Auf bin Abdu bin al-Harits bin Zuhrah. Nama aslinya Abdul Ka’bah yang
berarti hamba Ka’bah, sedangkan nama mualafnya adalah Abdurrahman. Abdurrahman
bin Auf lebih muda sepuluh tahun dari Nabi Muhammad dan lebih tua tiga tahun
dari Umar bin Khaththab. Nasabnya bertemu Nabi dari jalur ayah dan ibunya pada
Zuhrah.
Sedikit
cuplikan tentang penghormatan Sa’ad kepada Abdurrahman bin Auf. Sa’ad berkata
kepadanya, “Saudaraku, aku salah seorang penduduk Madinah yang memiliki banyak
harta. Ambillah sebagian kekayaanku. Aku juga memiliki dua perkebunan luas dan
dua istri, lihat salah satunya. Perkebunan mana yang kausukai dan istri mana
yang menarik hatimu. Jika kau tertarik, dia akan kuceraikan dan jika masa
idahnya telah selesai, aku akan menikahkannya de- nganmu.” Abdurrahman berkata,
“Semoga Allah memberkahi istri dan hartamu. Di mana pasar yang bisa digunakan
untuk jual-beli?” Sa’ad bin al-Rabi pun menunjukkan pasar yang diinginkan oleh
Abdurrahman, yakni pasar Bani Qainuqa. Di pasar itulah Abdurrahman kemudian
membeli bahan-bahan mentah untuk dibuat keju dan mentega, lalu esok harinya
kembali lagi ke pasar untuk menjualnya. Hasil dari penjualan keju dan mentega
tersebut akhirnya digunakan oleh Abdurrahman untuk meminang seorang gadis
pujaannya dari suku Anshar.
Abdurrahman bin Auf memulai bisnisnya dengan menjual keju dan mentega
di tanah milik seorang Yahudi. Awalnya, dia meminta tolong kepada saudara
barunya, Sa’ad bin al-Rabi untuk membeli tanah yang kurang berharga yang
terletak di samping tanah pasar itu. Tanah tersebut dijadikan beberapa kios. Siapa
pun boleh memakai kios tersebut tanpa harus membayar uang sewa. Bila dari usaha
itu terdapat keuntungan, beliau mengimbau kepada pengusaha-pengusaha yang
menempati kios itu untuk memberikan komisi (bagi hasil) seikhlasnya. Mereka
merespons baik tawaran itu karena membebaskan mereka dari biaya operasional.
Akhirnya, mereka bergegas pindah dari pasar lama untuk menempati kios yang
dibangun dan dikembangkan oleh Abdurrahman. Keuntungannya berlipat. Dari
keuntungan itu, Abdurrahman mendapat komisi berupa bagi hasil.
Dengan semangat kerja yang tinggi, ulet, kerja keras, akhirnya dia
pun meraih kesuksesan bes dan menjadi pengusaha keju dan mentega yang kaya
raya. Dalam satu kesempatan, dia mengatakan, “Seandainya aku mengangkat sebuah
batu, niscaya aku temukan sebongkah emas dan perak di bawahnya.”
Abdurrahman
bin Auf tidak hanya sukses dalam menyebarkan Islam dan berdakwah, tetapi juga
sukses sebagai entrepreneur berskala internasional. Dengan karakternya
yang jujur, loyal, dermawan, dan profesional, dia dapat meraup keuntungan yang
luar biasa dan berkah dalam usahanya. Barangkali kesuksesan Abdurrahman bin
Auf karena orientasi bisnisnya tidak untuk mengejar dunia. Dia tidak pernah
mengambil untung melebihi 10% dari harga aslinya. Di samping itu, kekayaan
Abdurrahman bin Auf tidak dinikmati sendiri, tetapi digunakan untuk berbagi
kepada sesama, disumbangkan untuk kepentingan-kepentingan dakwah Islam,
membiayai perang dan para tentara, menyantu ni para janda, anak yatim dan fakir
miskin.
Abu
Hamid al-Ghazali mengutip riwayat bahwa j Abdurrahman
bin Auf pernah ditanya, “Apa yang menyebabkan usahamu mudah?” Dia menjawab,
“Ada tiga hal. Pertama, aku tidak pernah menolak untung meskipun hanya
sedikit. Kedua, aku tidak pernah menunda-nunda pesanan meski hanya satu
hewan. Ketiga, aku tidak menjual sesuatu dengan cara riba.
Setelah Rasulullah wafat, Abdurrahman bertugas menjaga
kesejahteraan dan keselamatan istri-istri Rasulullah. Dia menopang kehidupan
mereka yang masing-masing menerima 1.000 dinar (Rp 2.358.750.000), orang-orang
miskin dari Bani Zuhrah, dan orang-orang yang membutuhkan. Awalnya, dia menjual
properti, kaidamah—sebutan untuk harta yang terkumpul di Madinah yang di
antaranya adalah perkebunan kurma. Perkebunan ini adalah milik Abdurrahman bin
Auf yang merupakan satu bagian dari harta Bani Nadhir kepada Utsman bin AfFan
seharga 40.000 dinar. Setelah itu, dia membagikan uang yang tersisa kepada
kerabatnya, sampai akhirnya habis tidak tersisa sama sekali.
Bisnisnya
telah berskala internasional. Pada suatu ketika, para pegawainya di Syam datang
ke Madinah dengan membawa dagangan penuh yang diangkut dengan 700 unta. Kala
itu, Aisyah berada di rumahnya, dia mendengar suara ramai di Madinah. Dia pun
bertanya kepada Anas, “Suara apa itu?” Anas menjawab, “Pegawai-pegawai
Abdurrahman bin Auf datang dari Syam membawa berbagai macam dagangan.”
Benar-benar Kota Madinah terguncang dengan kedatangan dagangan Abdurrahman.
Mendengar keterangan Anas, Aisyah berkata, “Aku mendengar Rasulullah pernah
bersabda, “Aku melihat Abdurrahman bin Auf masuk surga dengan merangkak.”
Ketika berita itu sampai kepada Abdurrahman bin Auf, dia bertutur, “Jika mampu,
aku akan memasukinya dengan berdiri.” Maka, dia pun menyumbangkan seluruh unta
dengan segala muatannya di jalan Allah.
Ini hanya sebagian kekayaan yang dimiliki Abdurrahman. Tujuh ratus
kendaraan penuh dengan muatan, memenuhi jalanan Kota Madinah, didengar oleh
para pengusaha lain, termasuk para perempuan yang sedang berada di dalam
rumahnya. Pada zaman sekarang, mungkin sebanding dengan 700 truk atau kontainer
yang penuh dengan bahan sembako dan pakaian.
Di
Jurf, Abdurrahman bin Auf berladang dengan menggunakan dua puluh penyiram tanaman,
yang dapat menjamin makanan pokok keluarganya selama setahun. Sebanding dengan
mengolah tanah menggunakan dua puluh ma- cam alat pertanian pada masa sekarang.
Ini tentunya membutuhkan tanah yang luas. Ini hanya di Jurf, belum termasuk
tanah dan berbagai propertinya di tempat lain.
Abdurrahman wafat pada usia 75 tahun dan meninggalkan empat istri, yaitu Ummu Kultsum binti Uqbah bin Abi Mu’aith, Sahlah binti Suhail bin Amr, Ummu Kultsum binti Utbah bin Rabi’ah, dan Habibah binti Jahsy. Jenazahnya dimakamkan di Baqi, Madinah. (Disarikan Akbar Muzakki dari buku Jejak Bisnis Sahabat Rasul)
0 Komentar