Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Ticker

6/recent/ticker-posts

Abdurrahman bin Auf, Pengusaha Keju dan Mentega


Abdurrahman bin Auf lahir dan tumbuh dewasa di lingkungan masyarakat penganut politeisme (ba­nyak Tuhan) yang memiliki tradisi mengundi nasib dengan burung atau anak panah, meminta nasihat kepada berhala-berhala dalam urusan pernikahan, bepergian, berperang, berbisnis, dan lain-lain. Tidak hanya itu, sistem patriarki yang masih kuat membuat mereka menganggap perempuan lebih rendah daripada laki- laki, menguburnya hidup-hidup, dan mewariskannya seperti harta warisan.

 

Abdurrahman bin Auf lahir di Mekah tahun 43 SH atau tahun 580 M. Ibunya bernama Syifa, putri Auf bin Abdu bin al-Harits bin Zuhrah. Nama aslinya Abdul Ka’bah yang berarti hamba Ka’bah, sedangkan nama mualafnya adalah Abdurrahman. Abdurrahman bin Auf lebih muda sepuluh tahun dari Nabi Muham­mad dan lebih tua tiga tahun dari Umar bin Khaththab. Nasabnya bertemu Nabi dari jalur ayah dan ibu­nya pada Zuhrah.

 

Sedikit cuplikan tentang penghormatan Sa’ad kepada Abdurrahman bin Auf. Sa’ad berkata kepadanya, “Saudaraku, aku salah seorang penduduk Madi­nah yang memiliki banyak harta. Ambillah sebagian kekayaanku. Aku juga memiliki dua perkebunan luas dan dua istri, lihat salah satunya. Perkebunan mana yang kausukai dan istri mana yang menarik hatimu. Jika kau tertarik, dia akan kuceraikan dan jika masa idahnya telah selesai, aku akan menikahkannya de- nganmu.” Abdurrahman berkata, “Semoga Allah memberkahi istri dan hartamu. Di mana pasar yang bisa digunakan untuk jual-beli?” Sa’ad bin al-Rabi pun menunjukkan pasar yang diinginkan oleh Abdurrahman, yakni pasar Bani Qainuqa. Di pasar itulah Abdurrahman kemudian membeli bahan-bahan mentah untuk dibuat keju dan mentega, lalu esok harinya kembali lagi ke pasar untuk menjualnya. Hasil dari penjualan keju dan mentega tersebut akhirnya digunakan oleh Abdurrahman untuk meminang seorang gadis pujaannya dari suku Anshar.

 

Abdurrahman bin Auf memulai bisnisnya dengan menjual keju dan mentega di tanah milik seorang Yahudi. Awalnya, dia meminta tolong kepada saudara barunya, Sa’ad bin al-Rabi untuk membeli tanah yang kurang berharga yang terletak di samping tanah pasar itu. Tanah tersebut dijadikan beberapa kios. Siapa pun boleh memakai kios tersebut tanpa harus membayar uang sewa. Bila dari usaha itu terdapat keuntungan, beliau mengimbau kepada pengusaha-pengusaha yang menempati kios itu untuk memberikan komisi (bagi hasil) seikhlasnya. Mereka merespons baik tawaran itu karena membebaskan mereka dari biaya operasional. Akhirnya, mereka bergegas pindah dari pasar lama untuk menempati kios yang dibangun dan dikembangkan oleh Abdurrahman. Keuntungannya berlipat. Dari keuntungan itu, Abdurrahman mendapat komisi berupa bagi hasil.


Dengan semangat kerja yang tinggi, ulet, kerja keras, akhirnya dia pun meraih kesuksesan bes dan menjadi pengusaha keju dan mentega yang kaya raya. Dalam satu kesempatan, dia mengatakan, “Seandainya aku mengangkat sebuah batu, niscaya aku temukan sebongkah emas dan perak di bawahnya.”


Abdurrahman bin Auf tidak hanya sukses dalam menyebarkan Islam dan berdakwah, tetapi juga sukses sebagai entrepreneur berskala internasional. Dengan karakternya yang jujur, loyal, dermawan, dan profesional, dia dapat meraup keuntungan yang luar biasa dan berkah dalam usahanya. Barangkali kesuksesan Abdur­rahman bin Auf karena orientasi bisnisnya tidak untuk mengejar dunia. Dia tidak pernah mengambil untung melebihi 10% dari harga aslinya. Di samping itu, kekayaan Abdurrahman bin Auf tidak dinikmati sendiri, tetapi digunakan untuk berbagi kepada sesama, disumbangkan untuk kepentingan-kepentingan dakwah Islam, membiayai perang dan para tentara, menyantu ni para janda, anak yatim dan fakir miskin.

 

Abu Hamid al-Ghazali mengutip riwayat bahwa j Abdurrahman bin Auf pernah ditanya, “Apa yang menyebabkan usahamu mudah?” Dia menjawab, “Ada tiga hal. Pertama, aku tidak pernah menolak untung meskipun hanya sedikit. Kedua, aku tidak pernah menunda-nunda pesanan meski hanya satu hewan. Ketiga, aku tidak menjual sesuatu dengan cara riba.

 

Setelah Rasulullah wafat, Abdurrahman bertugas menjaga kesejahteraan dan keselamatan istri-istri Rasulullah. Dia menopang kehidupan mereka yang masing-masing menerima 1.000 dinar (Rp 2.358.750.000), orang-orang miskin dari Bani Zuhrah, dan orang-orang yang membutuhkan. Awalnya, dia menjual properti, kaidamah—sebutan untuk harta yang terkumpul di Madinah yang di antaranya adalah perkebunan kurma. Perkebunan ini adalah milik Abdur­rahman bin Auf yang merupakan satu bagian dari harta Bani Nadhir kepada Utsman bin AfFan seharga 40.000 dinar. Setelah itu, dia membagikan uang yang tersisa kepada kerabatnya, sampai akhirnya habis tidak tersisa sama sekali.

Bisnisnya telah berskala internasional. Pada suatu ketika, para pegawainya di Syam datang ke Madinah dengan membawa dagangan penuh yang diangkut dengan 700 unta. Kala itu, Aisyah berada di rumahnya, dia mendengar suara ramai di Madinah. Dia pun bertanya kepada Anas, “Suara apa itu?” Anas menjawab, “Pegawai-pegawai Abdurrahman bin Auf datang dari Syam membawa berbagai macam dagang­an.” Benar-benar Kota Madinah terguncang dengan kedatangan dagangan Abdurrahman. Mendengar keterangan Anas, Aisyah berkata, “Aku men­dengar Rasulullah pernah bersabda, “Aku melihat Ab­durrahman bin Auf masuk surga dengan merangkak.” Ketika berita itu sampai kepada Abdurrahman bin Auf, dia bertutur, “Jika mampu, aku akan memasukinya dengan berdiri.” Maka, dia pun menyumbangkan seluruh unta dengan segala muatannya di jalan Allah.

 

Ini hanya sebagian kekayaan yang dimiliki Abdur­rahman. Tujuh ratus kendaraan penuh dengan muatan, memenuhi jalanan Kota Madinah, didengar oleh para pengusaha lain, termasuk para perempuan yang sedang berada di dalam rumahnya. Pada zaman sekarang, mungkin sebanding dengan 700 truk atau kontainer yang penuh dengan bahan sembako dan pakaian.


Di Jurf, Abdurrahman bin Auf berladang dengan menggunakan dua puluh penyiram tanaman, yang dapat menjamin makanan pokok keluarganya selama setahun. Sebanding dengan mengolah tanah menggunakan dua puluh ma- cam alat pertanian pada masa sekarang. Ini tentunya membutuhkan tanah yang luas. Ini hanya di Jurf, belum termasuk tanah dan berbagai propertinya di tempat lain.


Abdurrahman wafat pada usia 75 tahun dan meninggalkan empat istri, yaitu Ummu Kultsum binti Uqbah bin Abi Mu’aith, Sahlah binti Suhail bin Amr, Ummu Kultsum binti Utbah bin Rabi’ah, dan Habibah binti Jahsy. Jenazahnya dimakamkan di Baqi, Madinah. (Disarikan Akbar Muzakki dari buku Jejak Bisnis Sahabat Rasul)

Posting Komentar

0 Komentar