Era shahabat radhiallu’anhum dikenal sebagai masa kegemilangan Islam setelah wafatnya baginda Rasulullah saw, khususnya pada masa empat khalifah pertama yang lebih dikenal dengan sebutan Al-khulafa Al-Rasyidin Al- Mahdiyyin. Mereka hidup berdampingan dengan turunnya wahyu selama lebih kurang 23 tahun. Meneladani perilaku para shahabat radhiallahu’anhum dalam ber-islam merupakan sebuah alasan yang tidak bisa terbantahkan, karena para shahabat radhiallahu’anhum adalah satu-satunya generasi yang berinteraksi langsung dengan Rasulullah saw. Dengan kata lain, ke-Islaman mereka sudah ‘disertifikasi’ langsung oleh Rasulullah saw.
Pada era shahabat radhiallahu’anhum juga, ekspansi Islam mulai secara masif dilakukan. Seiring dengan banyaknya daerah-daerah baru yang dibebaskan, dan banyaknya orang-orang yang memeluk Islam, maka berkembang juga lah sektor-sektor layanan kebaikkan sosial, yang salah satunya adalah wakaf.
Kapan awal mula syariat wakaf diturunkan masih menjadi perdebatan diantara para fuqaha, dan tentang siapa yang pertama kali melaksanakannya dalam Islam. Walau istilah wakaf belum popular pada masa awal Islam, tapi secara substansi wakaf sebagai salah satu bentuk sedekah khairiyah sudah dilakukan bahkan sejak zaman Rasulullah saw, salah satunya adalah pendapat Mundzir Qahaf yang memandang bahwa pembangunan masjid Quba’ merupakan bentuk wakaf pada masa awal Islam. Diikuti dengan pembangunan masjid Nabawi yang dibangun diatas tanah yang dibeli oleh Rasulullah saw dari seorang anak yatim Bani Najjar dengan harga 800 dirham.
Menurut pendapat lain, yang pertama kali melaksanakan syariat wakaf adalah Khalifah Umar bin Khattab radhiyallohu anhu, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar ra: “Bahwa sahabat Umar ra, memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian Umar ra, menghadap Rasulullah saw untuk meminta petunjuk, Umar ra berkata: “Wahai Rasulullah saw, saya mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapat harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?” Rasulullah saw bersabda: “Bila engkau suka, engkau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan (hasilnya), tidak dijual, tidak juga dihibahkan, dan tidak diwariskan. Ibnu Umar Radhiyallohu anhu berkata: “Umar ra menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) itu kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, fi sabilillah, ibnu sabil, dan para tamu, dan tidak dilarang bagi yang mengelola (nazhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik (sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud menumpuk harta kekayaan.”
Pada masa Umar bin Khattab menjadi Khalifah, beliau mencatat wakafnya tersebut dalam akte wakaf dengan disaksikan oleh para saksi dan mengumumkannya. Umar Radhiyallohu anhu juga pernah mewakafkan tanah dibeberapa negara seperti Syam, Mesir dan Iraq. Hal ini dilakukan Khalifah Umar bin Khothob Radhiyallohu anhu setelah bermusyawarah dengan para sahabat lainnya, yang hasilnya adalah tidak boleh memberikan tanah pertanian kepada para tentara dan mujahid yang ikut dalam pembebasan tersebut. Dengan mengambil dalil pada QS Al-Hasyr: 7-10. Umar ra memutuskan agar tanah-tanah tersebut dijadikan wakaf bagi umat Islam dan bagi generasi Islam yang akan datang. Bagi para petani penggunaan tanah-tanah wakaf ini dikenakan pajak yang dalam istilah ekonomi Islam disebut pajak bumi.
Selain wakaf yang telah dilakukan Khalifah Umar bin Khattab ra, Khalifah Abu Bakar bin Shiddiq ra juga pernah mewakafkan sebidang tanahnya di Makkah yang diperuntukkan kepada anak keturunannya yang datang ke Makkah.
Khalifah Usman bin Affan ra juga pernah mewakafkan sebuah sumur yang airnya digunakan untuk memberi minum kaum Muslimin di Madinah, yang bahkan hasil pengelolaan sumur tersebut masih dapat di rasakan oleh fakir miskin dan masyarakat yang membutuhkan hingga hari ini. Dan hebatnya lagi dari satu sumur tersebut kini ada terdapat satu rekening dan pembangunan hotel megah atas nama shahabat Ustman bin Affan Radhiyallohu anhu. kisahnya di mulai pada saat Madinah dilanda kekeringan yang sangat panjang. Sumur-sumur yang ada tidak lagi mengeluarkan air bersih yang sangat dibutuhkan. Ada sumber air yang masih tersisa yang terkenal dengan sebutan Sumur Raumah, namun sayangnya sumur tersebut milik seorang Yahudi. Untuk dapat memenuhi kebutuhan air, kaum muslimin harus berduyun-duyun bersusah payah mengantri Panjang untuk membeli dengan harga mahal air dari sumur milik yahudi tersebut. Menyaksikan kondisi kaum Muslimin yang memprihatinkan tersebut, Rasulullah Saw menyerukan:
“Wahai para Sahabatku, siapa saja diantara kalian yang menyumbangkan hartanya untuk dapat membebaskan sumur itu, lalu menyumbangkannya untuk kaum Muslimin, maka ia akan mendapatkan Surga Allah Swt” (HR. Muslim).
Ternyata shahabat Utsman bin Affan Radhiyallohu yang dapat segera menyambut seruan Rasulullah saw tersebut dengan mendatangi si Yahudi pemilik sumur dan menawar sumur tersebut dengan harga yang tinggi, namun ternyata Yahudi menolak tawarannya tersebut. Setelah negosiasi, akhirnya si Yahudi menerima tawaran Utsman dengan kepemilikan sumur secara bergiliran. Yaitu Sehari milik Utsman dan sehari milik Yahudi, demikianlah kepemilikan bergiliran setiap harinya. Setelah dilakukan akad, Utsman segera mengumumkan kepada kaum muslimin bahwa sumur Raumah dapat dikonsumsi secara gratis. Di ikuti dengan berbondong-bondongnya masyarakat untuk menikmati air bersih tersebut dan tidak lupa menampungnya juga untuk kebutuhan besok harinya. Hal demikian menyebabkan keesokan harinya sumur si Yahudi sepi pembeli karena masyarakat masih memilki kesediaan air. Akhirnya si Yahudi tidak punya pilihan lain selain pasrah menjual penuh kepemilikan sumur tersebut kepada Utsman bin Affan dengan harga 20.000 dirham. Sejak saat itulah, Utsman bin Affan mewakafkan sumur Raumah untuk kebutuhan kaum muslimin, terutama masyarakat Madinah.
Khalifah Ali bin Abi Thalib ra juga pernah mewakafkan tanahnya yang subur.
Shahabat Mu’ad bin Jabal Radhiyallohu anhu pernah mewakafkan rumahnya, yang populer dengan sebutan “Dar Al-Anshar”. Kemudian pelaksanaan wakaf disusul oleh Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Zubair bin Awwam dan Aisyah istri Rasulullah saw, disusul oleh Abu Thalhah yang mewakafkan kebun kesayangannya, kebun “Bairaha”. Sejak saat itu banyak keluarga Nabi dan para sahabat yang mewakafkan tanah dan perkebunannya. Sebagaian di antara mereka ada yang mewakafkan harta untuk keluarga dan kerabatnya, sehingga muncullah wakaf keluarga (wakaf dzurri atau ahli). Wallohu A’lam
0 Komentar