Hari Bangkit (Harba) Pelajar Islam Indonesia (PII) ke-74 yang selalu diperingati 4 Mei menggelorakan semangat mempersatukan potensi santri dan pelajar. Karena sejak kehadiran PII di negeri ini, selalu bergandengan tangan pembelajar di pesantren dan pelajar umum. Demikian sambutan Harba PII ke-74 oleh Rafani Tuahuns, SH (Ketua Umum PB PII Periode 2021-2023)
74 tahun lalu, Ayahanda PII founding
fathers, H. Joesdi Ghozali melakukan perenungan panjang, mencari jawaban atas
realitas keumatan saat itu. Pelajar Islam terbelah dalam dua arus, dikotomi
pelajar umum dan pelajar pesantren (santri). Bukan sekadar dikotomi verbal,
namun lebih jauh, pembelahan arus pemikiran yang dikhawatirkan berujung pada
sekularisme.
Pesantren dan sekolah umum seakan
menjadi dua hal yang tidak boleh bertemu. Ilmu agama dan ilmu umum seakan sulit
dipertemukan. Islam dan negara dipecah. Upaya sekularisasi ini jika terus
terjadi, bangsa Indonesia menjadi bangsa sekuler, memisahkan negara dengan
agama dan itu menjadi awal kebinasaan suatu peradaban.
Menjaga komitmen masa depan
keislaman dan keindonesiaan itu kemudian menjadi titik perenungan penting,
hingga Ayahanda Djoesdi Gozali kemudian mendapat isyarat langit dalam shalat
malamnya di Masjid Kauman Yogyakarta. Pelajar Islam adalah jawaban untuk
mengokohkan semangat keislaman dan keindonesiaan itu. Pelajar Islam di sekolah
umum dan pesatren harus terhimpun dalam satu barisan. Generasi pelajar Islam
harus bersatu, sebab ia menjadi harapan masa depan umat Islam di Indonesia.
Bangkitlah Pelajar Islam Indonesia (PII).
Masih menurut Rafani Tuahuns
menyatakan dalam sejarahnya, PII telah mengalami perjalanan panjang bangsa ini.
Sejak berdirinya, PII terlibat penuh dalam mempertahankan kemerdekaan
Indonesia.
Saat agresi militer, kader-kader PII
bersama Panglima Besar Jenderal Soedirman melakukan perang gerilya untuk
menjaga keutuhan NKRI. Dan masih segar dalam ingatan kita, pesan hikmah dan
sangat dalam. Jenderal Soedirman menyambut hari bangkit PII yang kesatu pada 4
Mei 1948, “Saya ucapkan banyak-banyak terima kasih kepada anak-anakku PII,
sebab saya tahu, bahwa telah banyak korban yang telah diberikan oleh Pelajar
Islam Indonesia kepada Negara.”
Selanjutnya beliau berfatwa, “Teruskanlah
perjuanganmu, hai anak-anakku PII, negara kita adalah negara baru, di dalamnya
penuh onak dan duri, kesukaran dan tantangan banyak kita hadapi, negara
membutuhkan pengorbanan pemuda dan segenap bangsa Indonesia.”
Rafani menyitir Tafsir Asasi PII,
garis sejarah Pelajar Islam Indonesia mengalami berbagai fase perjalanan.
Kesatu fase kesadaran. Para pelajar Islam sadar pendidikan warisan kolonial Belanda
sangat jauh dari nilai-nilai agama dan adanya semangat budak dalam pendidikan
kolonial tersebut. Belum lagi kondisi pelajar pesantren juga harus mengisolir
diri karena khawatir atas ancaman pengaruh barat yang sangat meterialistik.
Pelajar Islam insyaf dan sadar atas kekurangan dan ancaman itu, maka pelajar
Islam dengan kesadaran penuh menuju kesempurnaan.
Kedua fase kebangkitan. Perjanjian Malioboro
pada 9 Juni 1947, PII bersama Ikatan Pelajar Indonesia (IPI), di mana PII
disambut gembira dan diakui keperluan dan haknya berdiri dan hidup di
tengah-tengah masyarakat. Perjanjian Malioboro itu hilanglah sekat dan sangkaan
pecahnya pelajar Islam dan persatuan pelajar umum.
Ketiga fase perluasan. Meski ancaman
Agresi Militer 1 oleh Belanda ketika itu, PII terus melakukan agenda perluasan,
komisariat-komisariat di Sumatera, Kalimantan. Sulawesi, Maluku dan Sunda
Kecil, sebagai jembatan penghubung PII dengan daerah-daerah luar blokade dan
ancaman Belanda.
Keempat fase konsolidasi.
Mengokohkan kedudukan PII dengan jalan hubungan kerjasama seluas-luasnya dan
mempersatukan organisasi-organisasi Islam setempat atau di regional
masing-masing. Tantangan besar di fase ini adalah munculnya pemberontakan PKI
Muso di Madiun pada 18 September 1948 yang menelan bayak korban, salah satunya
kader PII yaitu Almarhum Kanda Suryosugito yang mempelopori perjuangan pelajar
di Madiun. Tantangan besar juga terjadi di fase ini, muncul kembali Agresi
Militer Belanda 2. PII terus mengkonsoliasikan kekuatan baik internal maupun
eksternal. Manifesto Pemuda pada 17 Agustus 1949 menjadi simbol konsolidasi dan
perjuangan itu.
Kelima,fFase mencipta, membangun dan
memelihara. Fase di mana para kader PII dituntut untuk menghasilkan buah
fikiran menjadi aksinya nyata. Bukan lagi tantangan fisik seperti agresi
militer maupun menghadapi pemberontakan PKI, namun tantangan PII selanjutnya
ketika negara telah kondusif, maka kontribusi untuk umat dan bangsa menjadi
perihal utama.
Perjalanan panjang PII dari masa ke
masa itu kemudian menjadikan PII semakin bijaksana dalam bersikap. Tantangan-tantangan
baru begitu cepat, muncul silih berganti. Kini tantangan disrupsi menjadi nyata
di depan dan sekitar kita. Arus infomasi yang begitu kencang, kecanggihan
teknologi semakin tak terbendung. Disprusi teknologi, juga dispursi nilai.
Secara tak sadar, materialisme, sekularisme, liberalisme, membonceng
agenda-agenda terbarukan kini, misal yang paling utama adalah Revolui Industri
4.0.
Belum lagi tantangan politik belah
bambu, umat dipecah belah, ulama dan aktivis Islam dipenjarakan, bahkan tak
segan nyama menjadi korban. Gesekan lintas ormas gerakan islam juga menjadi
tantangan khusus. Dan PII masih disibukkan dengan urusan dapurnya sendiri,
sementara Revolusi Industri terus bergulir dan kecanggihan terjadi di
mana-mana. Mirisnya, umat Islam yang terbelah ini, juga gagap dengan
kebaruan-kebaruan yang terjadi.
Kini 74 Tahun PII, momentum Hari Bangkit
memasuki fase baru, yakni fase bergerak berjamaah. Tatkala umat hari ini
dipecah belah, polarisasi kelompok Islam semakin menebal, ikhtiar terbaik
adalah kolaborasi lintas gerakan, menjaga persatuan umat.
Ada dua nilai dasar yang harus
dipenuhi dalam fase baru Bergerak Berjamaah ini, kesatu meneguhkan ukhuwah
Islamiyah. Dalam sabda baginda Rasulullah SAW, “Tidak beriman seorang hamba,
hingga ia mencintai saudaranya, sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri,” (H.R
Bukhari dan Muslim).
Sangka buruk terhadap saudara
seperjuangan harus dihilangkan. Iri, dengki, hasad, hasud, adalah menyakit
berkuhuwah yang harus disingkirkan. Saling mencintai sesama saudara muslim.
Jangan mudah disekat hanya karena berbeda warna bendera ormas. Jangan mudah
dipecah hanya karena berbeda tempat pengajian. Sudah saatnya bangun kecintaan
yang kuat lintas gerakan Islam.
Imam Hasan Al-Banna juga dalam
perkataannya, “kam minna wa laisa fina, wa kam fina wa laisa minna,” Berapa
banyak orang tidak bersama kita tapi bagian dari kita dan berapa banyak yang
bersama kita tetapi tidak termasuk dalam golongan kita. Ungkapan ini sederhana,
tapi sarat akan makna. Jangan kemudian berada dalam satu golongan organisasi
yang sama justru kita berpecah, dan jangan juga kemudian kita berbeda ormas
gerakan, dan menjadikan kita bermusuhan.
Nilai dasar kedua adalah kejamaahan.
Soliditas jamaah umat Islam adalah solusi utama menghadapi segala tantangan.
Syarat kemenangan adalah kesatuan jamaah. Rasulullah SAW Bersada, “Yadullahi
Fauqal Jamaah, Tangan Allah (berada) di atas jamaah” (HR Ibnu Abi Ashim;
disahihkan oleh al-Albani). Hadis ini menerangkan kepada kita, bahwa kemenangan
yang Allah tolong ketika jamaah umat ini kokoh dan solid.
Dalam Al-Qur’an Surah Ash-Shaaf ayat
4, Allah SWT telah menegaskan kepada orang- orang beriman, bahwa Allah SWT
mencintai orang-orang yang berjuang di jalan Allah dengan barisan yang rapi,
laksana bangunan yang kokoh. Janji Allah SWT dalam Qalamnya menjadi pedoman
penting dalam meneguhkan jamaah gerakan kita, Pelajar Islam Indonesia.
Kedua nilai dasar itu, ditubuh PII
dan Umat Islam harus kokoh. Pelajar Islam Indonesia yang usianya hampir tiga
perempat abad ini, sejatinya adalah usia yang sangat matang, sehingga
kebijaksanaan dalam memilih dan
ketegasan dalam bersikap adalah sebuah keharusan. Untuk itu, Persatuan umat
menjadi sebuah cita-cita tertinggi dan bergerak berjamaah adalah aktualisasi
agenda-agenda baru Pelajar Islam Indonesia dan umat Islam saat ini dan ke
depan.
Hari Bangkit ke 74 PII kali ini,
kita mengusung tema, “Bergerak Berjamaah. Bergerak Berjamaah” menjadi pilihan
tepat. Realitas keumatan dan kebangsaan hari ini, harus mampu di jawab oleh
kader-kader PII. Maka sudah saatnya, PII membuktikan gerak langkah dan
jamaahnya yang kokoh.
Bergerak. Umat tidak boleh statis,
PII tidak boleh diam. Maka Bergerak adalah pilihan utama. Gerak adalah simbol
perjuangan tanpa henti. Menerjang setiap tantangan, dan memastikan kontribusi
karya terbaik PII untuk Indonesia.
Berjamaah, kata kunci jamaah menjadi
pondasi utama bergerak. Parsial bukan pilihan, apalagi bergerak sendirian.
Jamaah adalah simbol kemenagan yang telah dijanjikan Allah SWT. Maka PII dalam
ikhtiar geraknya, menggapai pertolongan Allah SWT dengan membangun soliditas
Jamaah.
Pengurus Besar Pelajar Islam
Indonesia (PB PII) periode 2021-2023, mengusung satu visi besar Bangun
Indonesia. Visi yang menjadi ikhtiar kader-kader PII berkontribusi untuk
negeri. Dengan dua tema gerakan, PII Mengabdi untuk umat, PII Berkarya untuk
Negeri.
Kesatu, Mengabdi untuk umat.
Adalah bagian dari komitmen
keislaman kader-kader PII hari ini. Usia PII menuju 100 tahun, tetap menegaskan
diri sebagai kader umat. Untuk itu, dedikasi perjuangannya tetap tegas untuk
umat. Komitmen keumatan itu terimplementasi dalam tiga pilar, PII bersama
Al-Quran, PII Bersama Ulama, dan PII bersama umat.
Kedua, berkarya untuk negeri. Tema
ini menjadi bagian dari komitmen keindonesiaan PII. Ikut bersinergi mewujudkan
amanat Konstitusi, yakni Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, maka sudah sejatinya,
PII memberikan kontribusi karya terbaiknya untuk memajukan Indonesia.
0 Komentar