Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Ticker

6/recent/ticker-posts

Iklim investasi dan putusan KPPU

utusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang menghukum bersalah Temasek Grup Ltd karena terbukti bersalah dan melanggar UU No.5/1999 mendapat tanggapan berbagai pihak. Tanggapan yang sangat dominan adalah kekhawatiran bahwa putusan KPPU tersebut akan mengganggu iklim investasi di Tanah Air.

Meski Presiden SBY dan Wakil Presiden Jusuf Kalla menyanggahnya, tetap saja kekhawatiran tersebut perlu mendapat perhatian (Bisnis Indonesia, 22 November). Setidaknya antara putusan KPPU yang berusaha untuk menegakkan hukum persaingan dengan kebijakan pemerintah dalam menarik investasi guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi berada pada titik temu yang dipahami semua pihak, terutama pelaku usaha.

Sebab bila tidak, semua putusan KPPU yang menjadikan korporasi asing sebagai tersangka akan menimbulkan kecurigaan bahwa putusan KPPU sebagai keputusan anti perusahaan asing.

Di tengah kondisi ekonomi yang masih loyo pascakrisis 1997, kekhawatiran mereka sangat beralasan. Pertama, pascakriris dunia industri tidak hanya kehilangan banyak investor, melainkan juga banyak pelaku usaha dalam negeri yang terpuruk.

Tidak hanya itu ribuan orang kehilangan pekerjaannya karena banyak perusahaan yang tutup atau hengkang ke negara lain. Tercatat ada 47 perusahaan tekstil yang tutup pada periode 2000-2004 yang menyebabkan 30.782 orang kehilangan pekerjaan. Ada 11 perusahaan elektronik yang memindahkan usahanya dari Indonesia sejak 2003-2005 yang berakibat 1.290 orang kena PHK.

Belum lagi industri kaos kaki telah membuat 61.000 orang kehilangan lapangan kerja yang pada 2004 tinggal 350 unit (Sinar Harapan, 12 Juli 2003).

Kedua, meski salah satu penyebab tutupnya sejumlah perusahaan akibat rendahnya daya saing, tetapi fenomena deindustrialisasi ini sangat mengkhawatirkan. Ditambah makin tingginya persaingan setiap negara dalam menarik investasi asing membuat sejumlah kebijakan pemerintah dalam mengundang investor menghadapi berbagai kendala.

Bahkan menurut The World Economic Forum peringkat daya saing Indonesia untuk The Global Competitiveness Index (GCI) tahun 2007 turun meski masih di atas Vietnam yang menduduki peringkat ke-68.

Di sinilah minimnya investasi memiliki korelasi yang positif terhadap lambatnya pertumbuhan ekonomi dan rendahnya daya saing negara di tingkat regional dan internasional. Namun persoalannya, apakah putusan KPPU akan merusak iklim investasi? Bagaimana cara menerjemahkannya?

Ancaman hengkang

Kekhawatiran terganggunya iklim investasi dalam putusan KPPU bukan hal yang baru. Dalam proses penyidikan kasus VLCC milik PT Pertamina, ungkapan yang sama pernah muncul. Dalam kasus PT Carrefour Indonesia (PT CI), hal serupa juga sempat mewarnai pemberitaan peritel besar asal Prancis di media massa.

Bahkan peritel terbesar dan tersebar paling luas di Indonesia sempat mengancam bahwa PT CI akan hengkang dari Indonesia. Bayangkan bila ancaman itu diwujudkan, ribuan orang akan kehilangan pekerjaan. Namun, sikap KPPU bergeming. PT CI tetap dihukum bersalah dan didenda Rp1,5 miliar. Meski belum ada penelitian tentang dampak putusan tersebut atas arus investasi, yang pasti PT CI terus menambah gerainya di Indonesia.

Dari dua kasus ini jelas bahwa belum ada korelasi positif antara putusan KPPU dengan terganggunya iklim investasi di Indonesia. Bahkan dilihat dari kasus PT CI, langkah KPPU dalam melakukan penyidikan dan putusan telah memberikan adanya kepastian hukum.

Sebab berbeda dengan kebijakan yang dianggap menghambat seperti pungutan liar dan lambatnya perizinan, KPPU justru membersihkan arus berusaha yang terhambat akibat perbuatan curang atau persekongkolan lainnya.

Berbeda dengan kebijakan yang menghambat, KPPU justru membuka dan memberi ruang bagi semua pelaku usaha untuk berusaha di pasar bersangkutan. Bagi KPPU jatuh-bangunnya pelaku usaha dalam bisnis bukanlah karena regulasi melainkan pilihan konsumen. Kerangka inilah yang menjadi dasar bagi KPPU untuk menyelidiki dan menghukum perusahaan baik lokal maupun asing termasuk Temasek.

Bagi KPPU menciptakan iklim investasi adalah penting, tetapi terciptanya iklim persaingan usaha yang sehat jauh lebih penting. Sebab melimpahnya arus masuk investasi tidak serta-merta memberi kesejahteraan mengingat potensi dan peluang monopoli oleh asing sangat besar.

Terlebih lagi tujuan investor adalah mencari keuntungan semata yang bisa jadi mengabaikan tumbuhnya ekonomi nasional. Bahkan sebagaimana dicatat David C. Corten dalam bukunya When The Corporation Rule the World (1996) dan Joel Bakan dalam The Corporation (2004), korporasi sebagai kepanjangan tangan investor tidak bertanggung jawab kepada siapa pun kecuali pemegang saham.

Padahal, menurut Bakan, korporasi adalah mahluk psikopat yang tidak memiliki pertimbangan moral untuk menghindarkan diri dari tindakan yang membahayakan orang lain. (Bakan hal. 64).

Fenomena ini sangat nyata di industri pertambangan dan migas. Kita bisa menyaksikan kondisi masyarakat yang memiliki sumber alam yang melimpah seperti di Aceh, Papua, Kalimantan, Riau dan sebagainya bukan kelimpahan yang mereka dapatkan, melainkan penderitaan yang mereka rasakan.

Bahkan fakta menunjukkan bahwa di mana ada sumber alam di situ terjadi kemiskinan. Bagi mereka, kekayaan alam bukanlah berkah melainkan kutukan yang diderita hingga anak cucu mereka. Di sini investasi menjadi sumber bencana jika negara tidak memiliki kedaulatan untuk mengawasinya. Karena itu investasi bukan sekadar masuknya modal, tetapi juga bagaimana modal tersebut dikelola.

Bila investasi sekadar dinikmati oleh investor dan segelintir elite kekuasaan, tujuan negara membangun ekonomi menjadi gagal. Di era Orde Baru berbagai penyimpangan hukum dan kebijakan mewarnai pengelolaan investasi karena lemahnya pengawasan.

Oleh karena itu, langkah-langkah KPPU menyelidiki pelaku usaha asing yang diduga melanggar UU No. 5/1999, termasuk Temasek bukan untuk mengganggu iklim investasi, melainkan untuk mengawasi sejauh mana pengelolaan investasi memberi dampak bagi ekonomi nasional melalui persaingan usaha yang sehat.

Bila KPPU membiarkan terjadinya perilaku curang atas nama iklim investasi, maka sudah saatnya kita mengatakan selamat tinggal negara yang berdaulat.

Oleh Ahmad Kaylani
Analis pada Direktorat Kebijakan Persaingan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)

Posting Komentar

0 Komentar