Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Ticker

6/recent/ticker-posts

Mencari Tafsir Versi Indonesia

Oleh: Adian Husaini

Acara Muktamar Pemikiran Islam di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) yang berlangsung 11-13 Februari 2008 akhirnya diganti namanya menjadi ”Kolokium Nasional Pemikiran Islam”. Sejumlah pembicara tidak bisa hadir. Salah satu pemakalah baru yang dimasukkan namanya adalah Dr. Phil. Nur Kholish Setiawan, dosen mata kuliah Kajian Al-Quran dan Pemikiran Hukum Islam di Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Murid kesayangan Nasr Hamid Abu Zayd ini menggantikan posisi Prof. Dr. Amin Abdullah, rektor UIN Yogya, dalam sesi pembahasan ”Manhaj Baru Muhammadiyah: Mengembangkan Metode Tafsir”. Pada sesi ini tampil juga pembicara Ust. Muammal Hamidy, Lc. dan Dr. Saad Ibrahim.

Muammal Hamidy yang juga pimpinan Ma’had Aly Persis Bangil, dalam makalahnya, mengungkap peringatan Rasulullah saw, bahwa ”Siapa yang menafsiri Al-Quran dengan ra’yunya, maka siap-siaplah untuk menempati tempat duduknya di neraka.” Tokoh Muhammadiyah Jawa Timur ini pun menyitir hadits lain: ”Akan datang suatu masa menimpa umatku, yaitu banyak orang yang ahli baca Al-Quran tetapi sedikit sekali yang memahami hukum, dicabutnya ilmu dan banyak kekacauan. Menyusul akan datang suatu masa, ada sejumlah orang yang membaca Al-Quran tetapi Al-Quran itu tidak melampaui tenggorokannya. Kemudian menyusul satu masa ada orang musyrik membantah orang mukmin tentang Allah (untuk mempertahankan kesyirikannya) dengan bahasa yang sama (HR Thabrani).

Ustadz Muammal Hamidy kemudian menyimpulkan: (1) Al-Quran jangan ditafsiri sesuai selera, (2) Pemahaman terhadap Al-Quran hendaknya didasari dengan ilmu, (3) Ilmu untuk memahami hukum-hukum Al-Quran harus dikuasai dengan baik, (4) Membaca Al-Quran minimal hendaknya disertai dengan pengertiannya, dan (5) Ummat Islam harus mewaspadai orang-orang yang mempergunakan dalil Al-Quran dan Sunnah untuk kepentingan yang tidak Islami.

Peringatan tokoh senior di Muhammadiyah Jawa Timur ini kiranya perlu kita perhatikan. Sebab, umat Islam di Indonesia saat ini banyak dijejali dengan beragam model penafsiran yang ditawarkan oleh sebagian kalangan cendekiawan yang isinya justru mengacak-acak Al-Quran, seperti penafsiran yang menghalalkan perkawinan homoseksual dan perkawinan muslimah dengan laki-laki non-Muslim. Beberapa waktu lalu, kita membahas disertasi doktor Tafsir Al-Quran dari UIN Jakarta yang secara terang-terangan merombak dasar-dasar keimanan Islam dan menafsirkan Al-Quran sesuai seleranya sendiri.

Dengan mengutip ayat-ayat tertentu dalam Al-Quran, doktor Tafsir lulusan UIN Jakarta itu menyimpulkan: “Dengan demikian, bagi umat Islam sendiri, merayakan natal sesungguhnya merayakan hari kelahiran seorang utusan Tuhan yang harus diimani, Isa al-Masih, yang diduga jatuh pada tanggal 25 Desember. Sebagai implikasi dari keberimanan itu, semestinya umat Islam juga diperbolehkan untuk merayakan hari kelahiran Isa dan kelahiran para nabi lain sebelum Muhammad SAW.” (hal. 209).

Pada bagian lain, dia membuat definisi tentang “Ahli Kitab”, yaitu: “Intinya siapa saja yang berpegangan kepada sebuah kitab suci yang mengandung nilai-nilai ketuhanan dan prinsip-prinsip kemanusiaan yang luhur yang dibawa oleh para nabi, maka mereka itu adalah Ahli Kitab.” (hal. 216). Sementara, pada bagian lain dia tulis: “Dilihat dari sisi ini, maka ahl kitab merupakan kelompok yang memang menganut monoteisme (tawhid).” (hal. 219-220).

Dengan definisi “Ahlul Kitab” versi Doktor Tafsir tersebut, maka disimpulkan, bahwa semua agama yang mempunyai kitab suci adalah agama tauhid. Inilah salah satu contoh tafsir aliran “ngawuriyah” – alias tafsir asal-asalan -- yang dibangga-banggakan sebagian orang sebagai tafsir yang “toleran”, “progresif”, “modern”, dan “maju”. Padahal, sudah banyak kitab Tafsir, Fikih, dan disertasi doktor yang dengan sangat serius dan komprehensif membahas masalah Ahlul Kitab ini. Tetapi, semua ini tidak dirujuk oleh penulis disertasi tersebut. Ia lebih suka membuat definisi sendiri berdasarkan hawa nafsunya. Allah SWT sudah mengingatkan dalam Al-Quran:

“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? “ (QS 45:23).

Masalah penafsiran Al-Quran adalah masalah yang sangat mendasar dalam Islam. Sebab, melalui ilmu inilah, umat Islam memahami firman Allah SWT. Karena itu, dalam Mukaddimah Tafsirnya, Ibn Katsir memaparkan, bagaimana hati-hatinya para sahabat Nabi saw dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran. Jika mereka tidak paham terhadap makna suatu ayat, maka mereka bertanya kepada sahabat lain yang dipandang lebih ahli dalam masalah tersebut. Ibn Katsir menasehatkan, jika tidak ditemukan penafsiran Al-Quran dalam Al-Quran, as-Sunnah, dan pendapat sahabat, maka carilah penafsiran itu dalam pendapat para tabi’in.

Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. dengan tawadhu’nya pernah menyatakan: “Bumi manakah yang akan menyanggaku dan langit manakah yang akan menaungiku jika aku mengatakan sesuatu yang tidak aku ketahui tentang Kitabullah?” Ibn Katsir juga mengutip hadits Rasulullah saw: “Barangsiapa yang mengucapkan (sesuatu) tentang Al-Quran berdasarkan ra’yunya atau berdasarkan apa yang tidak dipahaminya, maka bersiap-siaplah untuk menempati neraka.” (HR Tirmidzi, Abu Daud, Nasa’i). Abu Ubaid pernah juga memperingatkan: “Hati-hatilah dalam penafsiran, sebab ia merupakan pemaparan tentang Allah.”

Sikap hati-hati inilah yang mendorong lahirnya para ulama Tafsir yang serius. Para mufassir Al-Quran harus sangat berhati-hati, sebab tanggung jawab mereka di hadapan Allah SWT sangatlah berat. Bagi yang bukan mufassir pun wajib memperhatikan masalah ini, dan berhati-hati dalam memilih tafsir. Jangan sampai memilih tafsir Al-Quran yang dibuat sesuai dengan selera dan hawa nafsu.

Sebagai satu organisasi Islam yang besar, tentu Muhammadiyah wajib memiliki banyak Ahli Tafsir Al-Quran. Kita menyambut baik setiap upaya ijtihad yang dilakukan oleh para ulama atau pemikir Muslim mana pun. Namun, kita juga perlu berhati-hati dalam soal penafsiran. Tidak setiap ”kilasan pemikiran” bisa dikatakan ijtihad. Setiap lontaran pemikiran yang baru tentang Tafsir Al-Quran, sebaiknya dikaji dengan seksama terlebih dahulu secara terbatas di kalangan pakar Tafsir.

Di dalam Kolokium Nasional Pemikiran Islam di Unmuh Malang tersebut umat Islam disuguhi ide Tafsir Baru oleh Dr. Nur Kholish Setiawan. Ia membawakan makalah berjudul ”Tafsir Sebagai Resepsi Al-Qur’an: Ke Arah Pemahaman Kitab Suci dalam Konteks Keindonesiaan”. Dalam makalahnya, Nur Kholish mengkritik dominasi nalar Arab dalam bangunan tafsir sebagai metode memahami Al-Quran. Tafsir Al-Quran, menurutnya, masih terbuka untuk dikembangkan dengan memanfaatkan khazanah keilmuan kemanusiaan (humaniora) yang bersifat teritorial. Dalam beberapa karya kesarjanaan Nusantara, pemikir Indonesia telah banyak melakukan enkulturasi budaya lokal dalam memahami Al-Quran. Tafsir al-Huda, misalnya, sebuah karya tafsir berbahasa Jawa menunjukkan kentalnya warna budaya Jawa dalam proses pemahaman ayat-ayat Al-Quran.

Contoh lain yang dipaparkan Nur Kholish adalah penolakan Mangkunegara IV dari Kasunanan Surakarta terhadap Arabisasi fikih. Baginya, fikih (pekih) tidak seharusnya dipraktikkan secara utuh seperti yang tertulis dalam literatur Arab, melainkan disesuaikan dengan tingkat kelayakan Jawa. ”Dengan kata lain, ada nilai-nilai luhur Jawa yang tidak boleh begitu saja ditinggalkan.”

Sayangnya, kita tidak mendapat penjelasan, bagaimana contoh budaya Jawa yang luhur dan tidak boleh ditinggalkan, sehingga harus menjadi dasar pertimbangan dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran. Kita tunggu saja upaya dosen Al-Quran dari UIN Yogya itu untuk menerbitkan Kitab Tafsir atau Fikih yang mengakomodasi nilai-nilai luhur budaya Jawa. Setelah terbit, baru kita bisa menilainya.

Sebenarnya, selama ini umat Islam sudah paham, bahwa Muslim Jawa boleh shalat dengan kain saung dan blangkon, tetapi tidak boleh shalat dengan menggunakan bahasa Jawa. Tidak ada orang Muslim Jawa berpikir, bahwa azan bisa dilantunkan dalam bahasa Jawa. Kita paham, mana yang termasuk ajaran ad-Dinul Islam, dan mana aspek budaya yang boleh diambil.

Para penyebar Islam di Jawa dulu pun berusaha mengubah tradisi yang tidak sesuai dengan Islam dengan tradisi yang sesuai dengan ajaran Islam. Misalnya, diubahnya tradisi ”sesajen” menjadi ”selametan”. Proses perubahan tradisi tentu memakan waktu yang panjang, sehingga kadang-kadang ada yang masih belum berjalan dengan sempurna. Islam tidak menolak adat pakaian suatu daerah yang memang sudah menutup aurat. Tetapi, Islam tentu akan berusaha mengubah tradisi ”koteka” atau ”telanjang” yang ada di suatu daerah tertentu. Kaum Muslim yang ”normal” tentu akan menyatakan, bahwa budaya makan babi adalah tidak sesuai dengan Islam.

Jadi, bukan tradisi suatu daerah yang jadi pedoman. Tapi, Islamlah yang harusnya menjadi pedoman dalam menilai sesuatu. Kaum Liberal harusnya membuka wawasannya, bahwa Islam juga hadir di tanah Arab untuk mengubah sejumlah tradisi jahiliyah. Misalnya, tradisi perkawinan jahiliyah, tradisi penindasan wanita, tradisi telanjang, tradisi mabuk-mabukan, dan sebagainya. Meskipun diturunkan di negeri yang tandus, syariat Islam justru mengandung banyak ajaran yang mewajibkan umatnya menggunakan air untuk bersuci. Sebab, Islam memang diturunkan untuk seluruh umat manusia tanpa memandang budaya. Karena itu, tidak ada istilah ”Islam Jawa”, ”Islam Arab”, ”Islam Cina”, dan sebagainya.

Dalam upaya untuk menghadirkan hukum Islam bercorak Indonesia, Nur Kholish Setiawan mengajak untuk mengkritisi sejumlah metode istinbath hukum dalam konsep ushul fikih klasik. Misalnya, konsep ijma’. Katanya, ”Ketetapan hukum yang dilahirkan melalui proses istintabh tidak mungkin memiliki corak keindonesiaan, apabila tidak dibarengi dengan rumusan kritis metodologisnya.”

Di sejumlah IAIN/UIN, metode penafsiran Al-Quran “berbasis budaya” ini tampaknya mulai digencarkan. Misalnya, dalam soal mahar dalam perkawinan. Seorang dosen Fakultas Syariah IAIN Semarang, Rokhmadi, M.Ag., ditanya tentang kasus perkawinan seorang laki-laki dengan wanita Minang, yang menurut si penanya, maharnya justru diberikan oleh pihak wanita, bukan pihak laki-laki. Inilah jawabab dosen itu:

“Wajarlah mahar menjadi kewajiban pihak perempuan karena posisinya di atas laki-laki dalam bersikap dan martabat keluarga. Maka saudara MH Tidak perlu risau, susah, dan gelisah. Justru saudara beruntung tidak dibebani Mahar. Terimalah, sebab ketentuan al-Quran (al-Nisa ayat 4) tidak bersifat mutlak karena semata-mata dipengaruhi budaya di mana Islam diturunkan. (Lihat, Jurnal Justisia Fakultas Syariah IAIN Semarang, Edisi 28 Th.XIII/2005).

Kita bisa bayangkan, apa yang terjadi dengan Islam, jika setiap suku bangsa di Indonesia membuat Tafsir Al-Quran model dosen syariat seperti ini? Nanti ada tafsir berbasis budaya Jawa, Tafsir Betawi, Tafsir Sunda, Tafsir Minang, Tafsir Batak, dan sebagainya.

Dalam soal hukum pidana ala Indonesia, misalnya, Nur Kholish mengajukan proposal dari Mohammad Syahrur tentang ”Teori Batas”. Dalam kasus pencurian, ketentuan hukum potong tangan dalam QS 5:38, dipandang sebagai ”batas maksimal” (al-had al-a’la). Menurut Syahrur, hukum potong tangan bagi pencuri adalah ”hukuman maksimal”. Jadi, tidak setiap pencurian harus dikenai hukum potong tangan. Dan menurut Nur Kholish, masih ada ruang untuk berijtihad menentukan jenis hukuman bagi pencuri yang di bawah hukum potong tangan.

Teori batas lain dari Syahrur yang diajukan Nur Kholish adalah batas dalam soal waris. Pola 2:1 bagi laki-laki dan wanita, menurut Syahrur, adalah formula batas atas dan batas bawah. Jadi, menurut formula itu, batas atas bagi laki-laki adalah 66,6 persen dan batas bawah bagi wanita adalah 33,33 persen. Jadi, bisa dilakukan ijtihad baru, seorang laki-laki mendapatkan warisan 60 persen dan seorang wanita mendapatkan 40 persen. Aspek lokalitas turut memberikan warna dalam pergeseran 66,6 banding 33,3 persen.

Itulah yang dikatakan sebagai tawaran ijtihad atau tafsir baru yang lebih menghargai unsur lokalitas atau budaya lokal. Pendapat Syahrur soal ”Teori Batas” itu sudah sangat banyak menuai kritik di negerinya sendiri, Suria. Teori ini memang ”aneh”. Coba bayangkan, bolehkah seorang berijtihad, bahwa yang termasuk hukuman yang berada di bawah derajat hukum ”potong tangan” adalah, misalnya, ”potong rambut” atau ”potong jari” atau ”potong telinga?”

Kekacauan Teori Batas ini bisa dilihat dalam kasus pakaian laki-laki. Syahrur berpendapat bahwa batas bawah (batas minimal) aurat laki-laki yang harus ditutup hanyalah kemaluannya. ”Karena keadaan cuaca berbeda-beda pada tiap penduduk bumi dari panas yang terik sampai dingin yang menggigit. Maka batas minimal pakaian yang diberikan bagi laki-laki adalah menutup kemaluan.” Karena itu, kata Syahrur, laki-laki boleh berenang hanya dengan mengenakan celana renang saja. Yang dilarang adalah melihat laki-laki dalam keadaan telanjang bulat. (Lihat, Muhammad Syahrur, Islam dan Iman: Aturan-sturan Pokok, (Terj.) (Yogya: Jendela, 2002), hal. 71.

Kita bisa bayangkan, bagaimana jika dosen tafsir di UIN Yogya menerapkan teori Syahrur dalam soal pakaian laki-laki ini?

Pada 6 September 2004, situs JIL pernah menurunkan sebuah artikel yang membahas tentang Teori Batas Syahrur, ditulis oleh seorang dosen di Jurusan Tafsir-Hadis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Ditulis di situ, bahwa dalam soal pakaian wanita (libâs al-mar’ah), Syahrur berpendapat bahwa batas minimum pakaian perempuan adalah satr al-juyûb (Q.S al-Nur: 31) atau menutup bagian dada (payudara), kemaluan, dan tidak bertelanjang bulat. Batas maksimumnya adalah menutup sekujur anggota tubuh, kecuali dua telapak tangan dan wajah.

Kita bisa melihat, betapa absurdnya teori semacam ini. Dengan ”Teori Batas” ala Syahrur ini, maka boleh saja wanita mengenakan bikini di depan umum, yang penting dia sudah menutupi batas minimal, yakni kemaluan, payudara, dan tidak telanjang bulat.

Dengan model penafsiran yang sangat ”fleksibel” seperti itu, kita paham, mengapa sebagian kalangan sangat menyukai metode tafsir al-Quran yang disebut ”Teori Batas” ala Syahrur ini. Meskipun model tafsir al-Quran semacam ini yang ditawarkan dalam acara Kolokium Nasional Pemikiran Islam di Unmuh Malang, kita berharap, Majelis Tarjih Muhammadiyah, tidak tergoda untuk memungutnya.

Kita tidak bosan-bosannya mengimbau para intelektual, meskipun sudah bergelar doktor atau profesor, untuk bersikap tawadhu’ dan tahu diri. Jika maqamnya memang ”muqallid” jadilah ”muqallid” yang baik. Tidak patut memposisikan diri sebagai mujtahid, yang dengan gagahnya memaki-maki Imam Syafii, tetapi ujung-ujungnya menjadi pemuja Nasr Hamid Abu Zaid. [Depok, 22 Februari 2008/www.hidayatullah.com]

Posting Komentar

0 Komentar