Maraknya peredaran produk makanan yang bercampur dengan daging babi telah membuat resah umat Islam. Karena itu, perlu aturan hukum yang tegas agar produk tersebut tidak beredar luas di masyarakat.Ketua Komisi VIII DPR RI, Hasrul Azwar, mengungkapkan, saat ini DPR RI sedang membahas Rancangan Undang-Undang (UU) tentang Label Makanan Halal. ''Saat ini sedang dalam proses. Kami berharap UU ini bisa segera diterbitkan sebelum berakhirnya masa bakti DPR periode 2004-2009,'' jelas Hasrul kepada Republika, Sabtu (4/4), di Jakarta.
Ketua DPP PPP ini menegaskan, UU Label Makanan Halal ini sangat dibutuhkan masyarakat, khususnya umat Islam, dari berbagai jenis produk makanan, baik dari dalam maupun luar negeri, yang beredar luas di masyarakat.
Seperti diketahui, baru-baru ini, Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM), Bandung, Jawa Barat, menemukan sejumlah produk makanan, seperti dendeng dan abon sapi, yang bercampur dengan babi. Hal yang sama juga terjadi di beberapa daerah di Indonesia, seperti Semarang, Malang, Batam, Surabaya, ataupun Pangkal Pinang. ''Agar peredaran produk tersebut tidak meluas, perlu ada aturan yang jelas dalam menentukan kehalalannya,'' ungkap Hasrul.
Ia menyatakan, beberapa negara, seperti Singapura dan Belanda, telah membuat aturan adanya lembaga yang menetapkan kehalalan sebuah produk. Di Belanda, misalnya, ada sebuah lembaga semacam LP POM MUI yang memberikan sertifikasi halal bagi setiap produk makanan yang dijual di pasaran. Mereka yakin produk yang memiliki label halal adalah produk makanan yang baik dan dijamin kebersihannya.
"Singapura dan Belanda saja melakukan hal itu, mengapa Indonesia sebagai negara Muslim terbesar belum memiliki UU yang secara tegas mengatur masalah label kehalalan produk makanan,'' paparnya.
Ia menegaskan, dengan disahkannya UU Label Makanan Halal, masyarakat tidak akan ragu untuk membeli makanan yang dipasarkan di pusat perbelanjaan.
Sebagai negara mayoritas penduduk Muslim, menurut dia, pemerintah bersama DPR wajib melindungi masyarakat agar tidak "terjebak" mengonsumsi makanan yang tidak halal, tapi beredar luas tanpa mencantumkan label halal.
Ia menambahkan, kehalalan sebuah produk itu bisa dinyatakan dengan label halal yang menandakan bahwa produk tersebut halal sumbernya, halal proses pembuatannya, halal campuran-campurannya, dan halal mendapatkannya.
Selain itu, lanjutnya, pihaknya juga akan mengatur masalah sanksi dalam UU tersebut bagi pelaku yang membuat (produksi) dan mengedarkan produk tersebut.
Belum bersikap
Sementara itu, di Malang (Jatim), peredaran dendeng dan abon yang diduga bercampur dengan bahan baku daging babi dan diproduksi di Malang belum disikapi dinas kesehatan (dinkes) setempat.
Kepala Dinkes Kota Malang, dr Enny Sekar Rengganingati, mengakui, pihaknya belum bisa mengambil tindakan karena hasil uji laboratorium sampel yang dikirimkan ke Surabaya belum turun.
''Kami mengambil sampel dari beberapa daerah lokasi beredarnya dendeng tersebut dan dendeng yang langsung diproduksi di Kota Malang untuk diuji di laboratorium di Surabaya,'' katanya.
Enny berharap, dalam minggu-minggu ini, hasil laboratorium sudah turun agar masyarakat konsumen tidak diombang-ambingkan dengan sinyalemen bahwa dendeng yang diproduksi di Jalan Raung itu berbahan baku daging babi.
Ia mengakui, berdasarkan hasil investigasi secara kasat mata dan pengujian sederhana, dendeng tersebut berbahan baku daging sapi, bukan babi. ''Tapi, bagaimanapun kami tetap menunggu hasil uji laboratorium untuk memastikannya,'' tegasnya.
Menyinggung belum ditariknya dendeng yang bermerek 999 itu dari pasaran, Enny menegaskan, pihaknya tidak bisa melakukan penarikan secara serta-merta dan harus menunggu hasil uji laboratorium.
Jika hasil laboratorium positif dan dendeng itu berbahan baku daging babi, katanya, pihaknya akan langsung menarik peredarannya. Bahkan, dendeng daging yang saat ini diperjualbelikan di swalayan akan diperiksa dengan teknis dan mekanisme yang sama.
Di Batam, Majelis Ulama Indonesia (MUI) setempat belum menemukan abon sapi berbahan campuran babi. Sampai saat ini, kami belum menemukan produk tersebut,'' ujar Ketua MUI Batam, Usman Ahmad.
Usman Ahmad mengatakan, berdasarkan penyelidikan MUI, belum ada produk apa pun di Batam yang menipu dengan melabelkan halal, namun mengandung babi. Meski begitu, ia mengatakan tidak dapat memastikan kandungan produk makanan karena MUI tidak memiliki laboratorium. "Kita memang punya bagian pengkajian makanan dan minuman, namun tidak bisa memastikan," kata dia.
Ia mengatakan harapan peran proaktif dinas pertanian, perikanan, kelautan, dan peternakan serta Balai Pengawasan Obat-obatan dan Makanan untuk menyelidiki kandungan bahan makanan.
Sementara itu, di Bandung, Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat menemukan tiga merek abon berbahan campuran dagging babi di pasar tradisional dan modern. Dinas Peternakan Jawa Barat menelusuri peredaran abon babi di seluruh Jawa Barat.sya/ant
0 Komentar