Mohammad Roem
menjabat Menteri Luar Negeri Indonesiadalam kabinet Natsir. Ia tidak
pernah menyimpan dendam kepada Soekarno yang telah memenjarakannya di
Madiun. Ia memang menyebut Soekarno oligarkis dan feodal.
Hal itu
terungkap dalam pembukaan Annual Lecture bertajuk ”Mengenang Tokoh
Diplomasi Mohammad Roem”, Selasa (16/6) di Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah,Jakarta.
Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda
mengatakan, dalam pertemuannya dengan Mohammad Roem, Hassan sempat
menanyakan apakah Roem sakit hati saat dipenjarakan Soekarno. Jawaban
Roem kala itu, dalam politik, menang atau kalah merupakan hal biasa.
Perbedaan tajam tidak pernah menghalangi hubungan baik antarpribadi.
Sebagai diplomat, kala itu, Mohammad Roem memang tidak semenonjol Sutan
Sjahrir. Ia bukanlah pemikir seperti Sjahrir. Namun, perannya dalam
kemerdekaan Indonesiatidak kecil.
Perjanjian antara
Pemerintah Indonesiadan Belanda yang kemudian dikenal dengan Perjanjian
Roem-Roijen adalah sebagian kecil dari kiprahnya di dunia diplomasi.
Perjanjian tersebut menjadi tapak penting bagi lahirnya perjanjian Meja
Bundar di Den Haag, Belanda. Perjanjian tersebut telah mengantarkan
lahirnya pengakuan Belanda atas kemerdekaan Indonesia.
Upaya
kerasnya dalam berdiplomasi mengantarkan Indonesiadalam ruang
kemerdekaan. Meski pada satu masa Soekarno memenjarakannya, tidak pernah
sedetik pun ia menyimpan dendam kepada proklamator itu. Ia berani
mengambil risiko dan tetap berjiwa besar, ciri yang selayaknya dimiliki
para pemimpin Indonesiasaat ini jika mereka ingin menjadi negarawan. (B
Josie Susilo)
Komentar Pak Rushdy Hoesein Tentang Mohammad Roem (dari milis Historia-Indonesia)
Roem memang tidak mendendam, tapi dia tidak pernah melupakan peristiwa
ketika Roem dan teman-temanya (termasuk Sjahrir, Natsir, Sjafrudin dan
lain-lain) tahun 1962 dipenjarakan Soekarno di Madiun. Tidak terlepas
dari itu, masih selalu muncul pertanyaan, kenapa mereka tidak diadili.
Soal Diplomasi, mungkin benar Roem tidak sekaliber Sjahrir, tapi dia
tidak berada dibawah Sjahrir. Roem orang hebat karena diplomat tulen.
Karirnya dimulai sejak diangkat sebagai ketua KNI daerah Jakarta
Serptember 1945, dia bersama Soewirjo berunding dengan Kempetai agar
pemerintah pendudukan mengizinkan dilanjutkannya “Rapat Raksasa Ikada 19
September 1945″. Dan Jepang terpaksa menyetujuinya karena olehnya
dijelaskan hanya Soekarno yang bisa membubarkan rakyat yang sudah
berkumpul sejak subuh di lapang Ikada yang sebanyak 200.000 orang itu.
Dirinya pernah ditembak Belanda di rumahnya di Kwitang sehingga cacat
sampai akhir hayatnya. Dirinya terpilih menjadi Menteri dalam kabinet
Sjahrir ke III tahun 1946 dan diangkat menjadi delegasi Indonesiadalam
perundingan Linggajati. Dalam perundingan sebagaimana tertulis dalam
notulen, dirinya ikut berdebat secara sengit. Pasal-pasal yang
menyangkut hukum tatanegara bersama Soesanto Tirtoprodjo dan Amir
Sjarifudin secara cermat diperhatikan agar jangan lolos menguntungkan
Belanda. Namun demikian sungguh berat baginya karena harus membela
Linggajati dari serangan partainya sendiri, Masyumi yang anti
Linggarjati.
Dirinyalah satu-satunya anggota delegasi yang
langsung protes karena pada tanggal 12 November 1946 malam dalam
kunjungan delegasi Belanda yang dipimpin Prof. Schermerhorn guna
menghadap Soekarno, tiba-tiba Soekarno menyetujui naskah Linggarjati
padahal masih perlu dirundingkan lebih lanjut. Roem juga terpilh sebagai
diplomat dalam perundingan Renville, pernyataan bersama (bukan
perundingan) antara Mohammad Roem dan Van Roijen serta Roem adalah
anggota delegasi utama yang dipimpin Hatta dalam Konperensi Meja Bundar.
Setelah itu Roem adalah ketua Komite pembentukan pemerintahan RIS dan
yang paling bergengsi, sesuai hasil KMB, Roemlah yang diangkat sebagai
Komisaris Agung pertama di Den Haag Belanda.
Dalam zaman
Soeharto, mungkin yang tidak juga dilupakannya adalah saat musyawarah
Parmusi di Malang tahun 1968, dimana pemerintah Orde Baru tidak sudi
kalau Partai itu dipimpin Roem dan SekJen Lukman Harun. Perjalanan
sejarah akhirnya menempatkan tokoh diplomat tua ini benar-benar
istirahat di bidang politik sampai akhir hayatnya. Beliau wafat tanggal
24 September 1983 dalam usia 75 tahun.
Dirinya adalah salah
seorang murid dari H.Agus Salim. Sebagai jebolan Jong Islammieten Bond,
sumpah setianya pada Partai Masjumi tanpa akhir.
Dalam catatan
sejarah nasional, nama tokoh ini sangat mencuat di akhir tahun 1940-an.
Waktu itu Mr Mohammad Roem diamanahi oleh Pemerintah
Republik Indonesiasebagai ketua tim juru runding RI dalam perundingan
dengan Belanda. Tim juru runding dari Belanda diketuai Van Royen.
Akhirnya perundingan yang berlangsung pada tanggal 14 April 1949 itu
diberi nama “Perundingan Roem-Royen”.
Mohammad Roem lahir di Desa
Klewongan, Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah pada
tanggal 16 Mei 1908. Ia lahir sebagai anak keenam dari tujuh bersaudara.
Ayahnya bernama Djulkarnaen Jayasasmito, ibunya bernama Siti Tarbiyah.
Pendidikannya dimulai di Volkschool (Sekolah Rakyat, sekolah dasar di
masa Belanda) di desa kelahirannya. Ia kemudian melanjutkan ke HIS
(Holland Inlandsche School) Temanggung sampai kelas III, dan diteruskan ke
HIS Pekalongan. Dan tamat dari HIS Pekalongan pada tahun 1924.
Semangat perjuangannya mulai bersemi sejak di HIS. Kisahnya bermula
tatkala seorang gurunya yang berkebangsaan Belanda menghardik Roem,
“Zeg, Inlander!”. Dasar pribumi, begitu kira-kira artinya.
Roem
sangat tersinggung dihardik demikian. Sebagai orang pribumi ia merasa
dirinya dihina dan dilecehkan. Ia kemudian teringat sejumlah papan
larangan di gedung-gedung bioskop, di rumah makan, dan lain-lain tempat
yang mengharamkan orang pribumi masuk.
Penghinaan itu belum
selesai. Diwaktu istirahat ada seorang murid Belanda yang
mendorong-dorong tubuh Roem sambil mengolok-olok, “Inlander! Inlander!”
Akibat dorongan itu Roem jatuh terjerembab. Tapi ia segera bangkit lalu
dikejarnya anak Belanda itu. Setelah tertangkap ditinjunya perut si anak
bule itu hingga muntah-muntah.
Peristiwa itu sangat membekas
pada diri Roem. Ia kemudian bertekad untuk memerdekakan bangsanya agar
tak lagi dihina bangsa asing. Untuk mewujudkan niatnya itu sambil
bersekolah Roem kemudian bergabung dengan organisasi Jong Java (Pemuda
Jawa).
Mula-mula Roem bersemangat di kelompok pemuda itu. Namun
belakangan ia tidak betah berada di lingkungan Jong Java, karena
aspirasi Islam tidak tertampung di situ, ia bersama Syamsuridjal dan
beberapa tokoh lainnya memilih keluar, lalu pada tahun 1925 mendirikan
Jong Islamieten Bond (JIB) atau Himpunan Pemuda Islam.
Dalam JIB
ini Roem dipercaya menjadi salah seorang anggota pimpinan pusatnya.
Kemudian pada tahun 1930 ia menjadi ketua Panitia Kongres JIB di
Jakarta. Ketika JIB membentuk kepanduan (Natipij) ia menjadi ketua
umumnya.
Pada tahun 1930 Roem tamat dari Algemene Middlebare School
(AMS) atau sekolah menengah atas. Ia kemudian melanjutkan sekolah ke
Rechts Hoge School (RHS) atau Sekolah Tinggi Hukum. Dari perguruan
tinggi tersebut ia berhasil meraih gelar Mester in de Rechten (Mr) atau
Sarjana Hukum pada tahun 1939. Skripsinya tentang Hukum Adat
Minangkabau.
Sambil kuliah dan mengurus JIB, Roem aktif di Partai
Syarikat Islam Indonesia (PSII). Pada tahun 1932 ia menjadi ketua
Panitia Kongres PSII di Jakarta. Ketika terjadi kemelut di PSII, ia
bersama-sama Haji Agus Salim keluar dari partai tersebut dan mendirikan
PSII-Penyadar. Dalam partai baru tersebut ia menjadi Ketua Komite
Centraal Executif (Lajnah Tanfidziyah).
Kemelut itu terjadi
karena PSII dalam pandangan Roem lebih menekankan pada aspek politik
sementara tujuan dasar SI, yaitu memajukan perekonomian bumiputera,
tidak diperhatikan lagi. Syarikat Islam juga tidak memperhatikan lagi
masalah pendidikan agama Islam atau pengkaderan.
Untuk
mengamalkan ilmu hukumnya, Roem membuka kantor pengacara (advokat)
diJakarta. Sebagian di antara organisasi yang mempercayakan jasa
kepengacaraannya adalah Rumah Piatu Muslim di Jakarta dan Perhimpunan
Dagang Indonesia (Perdi) di Purwokerto.
Pada masa pendudukan
Jepang (1942-1945), Roem dipercaya sebagai Ketua Muda “Barisan
Hizbullah” di Jakarta. Barisan Hizbullah adalah organisasi semi-militer
di bawah naungan Masyumi.
Dalam Muktamar Masyumi tahun 1947
diputuskan bahwa ummat Islam harus ikut berjuang mempertahankan
kemerdekaan Indonesia. Negara Islam Indonesia tidak akan tegak kalau
Indonesia belum merdeka, itulah alasannya. Oleh karena itulah para
pimpinan dan anggota Masyumi berjuang mati-matian mempertahankan
kemerdekaan Indonesia. Apalagi setelah ada fatwa wajib jihad kepada
seluruh umat Islam dari Hadratus Syaikh K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri
Nahdhatul Ulama yang juga salah seorang pendiri Masyumi.
Mohammad
Roem-pun berjihad mati-matian mempertahankan kemerdekaan Indonesia,
utamanya melalui jalur perundingan/diplomasi. Sikapnya untuk selalu
menghargai pendapat orang lain meski berbeda dengan pendapatnya,
menunjang keberhasilannya sebagai diplomat.
Oleh Pemerintahan
Soekarno ia mendapat amanah menjadi angota tim juru runding RI dalam
perundingan Renville 17 Januari 1948. Kemudian, seperti telah disinggung
di atas, Roem diangkat sebagai ketua juru runding RI dalam perundingan
Roem-Royen pada tanggal 14 April 1949.
Perundingan tersebut dinilai
berhasil karena telah mendorong segera terselenggaranya Konferensi Meja
Bundar dan pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda tahun 1949.
Di
masa berikutnya Roem pernah menjabat sebagai menteri dalam negeri dalam
kabinet Natsir (1950-1953) serta pernah juga menjadi wakil perdana
menteri dalam kabinet Ali Sastroamijoyo (1956-1957).
Pada masa
Demokrasi Terpimpin, terjadi konflik antara Masyumi dengan Presiden
Soekarno. Apalagi kemudian beberapa pemimpin Partai Masyumi, seperti
Natsir bergabung dalam pemberontak PRRI.
Sejak Partai Masyumi
membubarkan diri, karena dipaksa Soekarno, pada tanggal 17 Agustus 1960,
Roem tidak lagi memegang jabatan di pemerintahan. Ia kemudian
memusatkan perhatian pada penulisan buku dan penelitian sejarah
perpolitikan diIndonesiaserta bidang ilmiah lainnya.
Kegiatan ini
tidak berjalan lancar, karena pada tanggal 16 Januari 1962, ia
bersama-sama dengan beberapa tokoh Masyumi dan PSI ditahan pemerintah
tanpa pengadilan. Mereka dituduh oleh Pemerintahan Presiden Soekarno
terlibat peristiwa Cendrawasih, yakni peristiwa percobaan pembunuhan
terhadap Presiden Soekarno di Makassar.
Roem dan kawan-kawan bisa
keluar dari tahanan pada tahun 1966 setelah pemerintahan Soekarno
goyang usai pemberontakan PKI tahun 1965. Selepas dari penjara kegiatan
menulis buku dan penelitian diteruskan kembali. Salah satu kesibukannya
antara lain menjadi Wakil Ketua Dewan Kurator Sekolah Tinggi Kedokteran
Islam Jakarta pada tahun 1971.
Pada tahun 1969 Roem sempat hampir
kembali ke kancah politik setelah terpilih sebagai ketua Partai
MusliminIndonesia(Parmusi). Ini adalah partai ‘jelmaan’ Masyumi yang
didirikan oleh para mantan kader Masyumi.
Sayangnya Soeharto,
presiden waktu itu, tidak menyetujui. Soeharto khawatir, jika dipimpin
Roem, Parmusi bisa menjadi partai besar seperti Masyumi dulu, hingga
menyaingi Golkar. Atas desakan pemerintah, terpaksa Roem batal jadi
Ketua Parmusi, digantikan oleh Djarnawi Hadikusumo.
Sejak itu
Roem betul-betul undur diri dari dunia politik praktis. Kemudian
bersama-sama M Natsir dan kawan-kawan mantan kader Masyumi lainnya
mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) di tahun 1970-an. Di
tempat inilah kakek dari Adi Sasono ini berkhidmat bersama para warga
Bulan Bintang.
Sejak itu Roem aktif dalam berbagai fora Islam
internasional, antara lain menjadi anggota Dewan Eksekutif Muktamar Alam
Islami (1975), Member of Board Asian Conference of Religion for Peace
di Singapura (1977) serta menjadi anggota Konferensi Menteri-Menteri
Luar Negeri Islam di Tripoli (1977).
Meski begitu perhatiannya
pada perkembangan Islam di tanah air tidak juga berkurang. Suat ketika
Amien Rais dalam wawancaranya dengan majalah Panji Masyarakat (no
379/1982) menyatakan tidak ada negara Islam dalam Al-Quran dan
As-Sunnah, “Oleh karena itu tidak ada perintah dalam Islam untuk
menegakkan negara Islam,” kata Amien Rais.
Atas pandangan Amien
itu kemudian Roem mengirimkan tanggapan ke majalah yang sama. Roem
membenarkan, bahwa memang tidak ada negara Islam dalam nama, namun
secara substansial ada.
“…Pada akhir hayat Nabi, pada saat Surat
Al-Maidah ayat 3 diwahyukan, maka sudah tumbuh sebuah masyarakat yang
dibangun oleh dan di bawah kepemimpinan Nabi sendiri, yang tidak diberi
nama khusu oleh Nabi, akan tetapi sudah mempunyai ciri-ciri sebagai
negara, sedang hukumnya oleh Tuhan sudah dinamakan sempurna… Saya rasa
selama tidak lebih dari tiga bulan itu di dunia pernah ada ‘Negara
Islam’ atau Islamic State, tidak dalam nama, melainkan dalam substance,
dalam hakikatnya.”
Sesudah itu Nurcholish Madjid yang sedang
berada diChicagomenyuratinya, sehingga berlangsung korespondensi antara
mereka berdua selama beberapa bulan. Setelah korespondensi berakhir,
Mohammad Roem dipanggil ke hadhirat Allah pada tanggal24 September 1983.
Pada tahun 1997 kumpulan korespondensi itu plus wawancara Amien Rais
dengan majalah Panji Masyarakat serta tanggapan Roem dibukukan dan
diterbitkan oleh Adi Sasono, lalu diberi judul “Tidak Ada Negara Islam;
Surat-surat Politik Nurcholish Madjid-Mohammad Roem”.
Judul buku
itu jelas menyesatkan, seolah-olah Roem menafikan keberadaan negara
Islam. Padahal sesungguhnya, sebagaimana kutipan di atas, Roem mengakui
pernah ada negara Islam, meski tidak dinamakan Negara Islam, yakni
pemerintahan yang dipimpin oleh Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘alaihi
wa sallam. (Sumber Hidayatulah Edisi 12/XV 2003 – Sejarah )
Mengenal Kembali Mr, Mohammad Roem
Roem dilahirkan pada tanggal 16 Mei 1908 di Parakan, Kab. Temanggung,
Jawa Tengah dari pasangan Dulkarnaen Djojosasmito (seorang Lurah) dan
Siti Tarbijah. Pada tahun 1920 Roem sempat dipindahkan ke kota
Pekalongan karena wabah penyakit yang menyerang desanya. Di kota
Pekalongan inilah Roem berhasil menyelesaikan sekolahnya di H.I.S.
Tahun 1924 Roem lulus dalam ujian masuk sekolah STOVIA. Di tahun yang
sama Roem bergabung menjadi anggota organisasi Jong Java. Tahun 1925
bergabung dengan JIB (Jong Islmieten Bond). Di dalam JIB inilah Roem
mulai mengenal tokoh-tokoh besar seperti Agus Salim dan HOS
Cokroaminoto.
Tahun 1927 Roem berhasil menamatkan pendidikan pada
bagian Persiapan di Stovia, tetapi kemudian pindah ke AMS (Algemene
Middelbare School – Sekolah Menengah Umum tingkat atas). Lulus dari AMS
tahun 1930 kemudian meneruskan ke sekolah tinggi kedokteran GHS
(Geneeskundige Hoge School) di Salemba, Jakarta.
Di GHS Roem
gagal dalam menyelesaikan ujiannya, karena itu lalu ia berhenti menjadi
mahasiswa GHS dan beristirahat selama 2 tahun. Dalam masa-masa inilah ia
mulai aktif dalam Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Roem juga
menempuh pendidikan di RHS (Rechts Hoge School) mulai tahun 1932 dan
selesai tahun 1939. Roem juga terhitung sebagai aktivitis dan pengurus
Partai “Penyadar” yang didirikan oleh Agus Salim tahun 1937.
Roem
tercatat tidak pernah bekerja untuk pemerintahan kolonial baik Belanda
maupun Jepang. Ia mendirikan kantor pengacara sendiri yaitu “Mr. Mohamad
Roem” di Jakarta.
Setelah Proklamasi kemerdekaan Roem menjabat
sebagai ketua Komite Nasional (KNI) Jakarta Raya, mirip suatu ketua
DPR-darurat di waktu itu.
Pada peristiwa Ikada September 1945 Roem
turut mengambil peran. Walikota Jakarta yang pertama, Suwirjo, berkantor
berdekatan dengan lapangan Ikada. Ketika ia melihat semakin banyak
massa yang menumpuk di lapangan Ikada ia pun melaporkannya kepada
pemerintah RI yang saat itu sedang bersidang. Suwirjo kemudian
diinstruksikan untuk membicarakan keadaan tersebut dengan
pembesar-pembesar Jepang.
Sebagai ketua KNI Jakarta raya maka
diajak-sertalah Roem oleh Suwirjo. Dalam pembicaraan dengan pihak
Jepang, tampak jika Jepang tidak akan mengizinkan rapat itu. Tetapi
massa telah banyak berkumpul dan hanya Soekarno-Hatta lah yang akan
didengar oleh rakyat. Awalnya juga Jepang tidak mengizinkan
Soekarno-Hatta untuk hadir. Setelah berunding sebentar Jepang kemudian
mengizinkan Soekarno-Hatta untuk hadir di rapat itu dan dengan syarat
rapat tidak boleh berlangsung lebih dari 15 menit.
Setelah
menyampaikan hasil pembicaraan kepada pemerintah RI, maka dengan
berkendara beberapa mobil berangkatlah jajaran pemerintah RI menuju
Ikada. Roem dan Suwirjo ikut serta dalam rombongan mobil paling
belakang. Rapat akbar bersejarah itu akhirnya berjalan dengan damai dan
tertib tanpa pertumpahan darah.
Ada satu peristiwa tragis yang
dialami Roem ketika Belanda yang membonceng tentara Inggris mulai masuk
ke Jakarta. Roem waktu itu tinggal dan berkantor di jl. Kwitang no. 10.
Tanggal 21 November 1945, beberapa hari setelah Roem menghadiri
pemakaman jenazah 13 polisi korban serbuan NICA, tiba-tiba saja
kediamannya diserbu oleh tentara NICA. Waktu itu di rumah Roem terdapat
bebarapa orang antara lain Pirngadi (kelak brigjen TNI), Adik dan Islam
Salim (putra Agus Salim), Sayoga, dan beberapa orang lagi.
Mendengar kedatangan NICA semuanya pun melarikan diri meloncati tembok
belakang rumah. Roem, Ibu Roem, dan Sayoga tetap berada di rumah
bersembunyi di kamar tidur. Ketika Belanda mulai mengobrak-abrik rumah
dengan alasan mencari orang dan senjata, Roem memberanikan diri membuka
pintu kamar, pada saat itulah Belanda melepaskan tembakan ke arah Roem.
Roem terkapar berlumuran darah tak sadar diri. Sayoga dibawa paksa
Belanda dan setelah itu kabarnya tak terdengar lagi, kelihatannya sudah
dieksekusi oleh Belanda.
Semua orang mengira Roem sudah meninggal,
para wanita yang ada disitu disuruh pergi oleh Belanda, Ibu Roem
mengungsi ke kediaman Agus Salim, jadi Roem ditinggal sendiri saja waktu
itu. Sore hari ketika keadaan reda baru datanglah para pemuda sekitar
menolong Roem.
Keadaan Roem sangat gawat, Roem harus menjalani
perawatan dan terapi berbulan-bulan lamanya sampai ia diajak kembali
oleh Kasman Singodimedjo ke Yogyakarta, waktu itu Kasman menjabat
sebagai Kepala Kehakiman Kementerian Pertahanan. Dari situlah Roem mulai
duduk dan aktif sebagai Ketua Bagian Politik Partai Masyumi. Tiga bulan
kemudian Roem bergabung sebagai Menteri Dalam Negeri dalam kabinet
Syahrir ke III.
Posisi Roem sebagai seorang menteri luar negeri
dalam pemerintahan Syahrir ke III membuatnya banyak terlibat dalam
perundingan Linggarjati. Roem terkenal rewel dan alot dalam perundingan
Linggarjati ini. Sikapnya itu sangat menjengkelkan ketua delegasi
Belanda yaitu Prof. Schemerhorn. Dalam bukunya Schemerhorn banyak
melayangkan pujian kepada Syahrir atas sikapnya yang tidak banyak
menuntut tetapi tiada pujian bagi Roem. Schemerhorn menamakan sikap Roem
itu sebagai “Roem begon hiertegen te steigeren” (Roem mulai
meronta-kuda). Bahkan sampai menjelang berakhirnya proses perjanjian
Linggarjati Roem masih tetap saja rewel dan menjengkelkan pihak Belanda.
Ada satu kejadian yang di kemudian hari membuat Schemerhorn merasa
malu, yaitu insiden kertas merah jambu.
Ketika suatu sidang akan
ditutup dan kedua delegasi sudah payah, Roem masih berbicara dan
mengajukan usul terhadap rumusan mengenai pasal 1 Persetujuan
Linggarjati. Roem menuliskan usulan tersebut dalam kertas warna merah
jambu. Karena Schemerhorn sudah berdiri dan hendak meninggalkan sidang
maka jawabnya tukas saja: “Berikan saja pada Tuan Samkalden,
kedengarannya menarik juga, nanti kita bicarakan lebih lanjut”.
Pada pertemuan selanjutnya yang dijadwalkan akan berlangsung pendek
saja, ternyata berlangsung seret dengan tuntutan Roem tentang isi kertas
merah jambu yang ia serahkan pada pertemuan sebelumnya. Samkalden
menyatakan tidak menerima kertas itu dan tidak ingat tentangnya. Tetapi
belakangan hari Schemerhorn tahu bahwa kertas itu disimpan oleh
Samkalden dengan baik di lemari-lemari surat. Kebohongan Samkalden
inilah yang membuat hati nurani Schemerhorn berasa tidak enak.
Peran Roem dalam berbagai perundingan tidak berhenti disini, setelah
kejatuhan kabinet Syahrir dan diikuti juga kejatuhan kabinet Amir
Syarifudin. Pucuk pemerintahan dipegang oleh Hatta. Atas usul PBB
dimulailah kembali perundingan dengan Belanda pada pertengahan bulan
Maret 1948. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Roem dan sebagai wakilnya
ditunjuk Mr. Ali Sastroamidjojo. Tetapi perundingan ini banyak menemui
kebuntuan sehingga tidak menghasilkan suatu keputusan penting.
Puncak dari semuanya adalah agresi militer Belanda II yang terjadi
tanggal 19 Desember 1948. Belanda menduduki pusat pemerintahan Republik
yaitu kota Yogyakarta dan menawan para pemimpin Republik. Tidak
terkecuali Roem juga ikut ditawan.
Mr. Ali Sastroamidjojo
melukiskan dalam memoirnya : “Kurang lebih seminggu sesudah kami ditawan
di gedung negara, suasana menjadi hangat. Sebab sampai jauh malam
pejuang-pejuang kita melepaskan tembakan-tembakan ke arah gedung itu.
Terang tembakan-tembakan itu dimaksudkan sebagai siasat untuk
membebaskan kami, terutama presiden dan wakil presiden. Komandan pasukan
penjagaan tempat tawanan menjadi gelisah. Pada kira-kira pukul 2 pagi
menjelang tanggal 30 Desember 1948 kami dibangunkan dan dikumpulkan
dalam kamar tamu dibagian depan sebelah kanan yang semua lampu-lampunya
dinyalakan. Di kamar itu kami dikepung oleh beberapa serdadu Belanda
yang menodongkan karabijn mereka ke arah kami. Oleh karena lampu terang
benderang tentulah dari tempat-tempat pejuang kita bersembunyi yaitu di
gedung Bank Indonesia dan Kantor Pos yang letaknya 200-300 m dari tempat
kami ditawan, terlihat dengan jelas apa yang akan terjadi dengan kami,
apabila sebutir peluru saja dari para pejuang itu mengenai salah satu
serdadu Belanda. Maka tembakan-tembakan mereka berhenti tiba-tiba. Baru
kira-kira pukul 5 pagi kami diperbolehkan kembali ke kamar kami
masing-masing.”
“Pada tanggal 31 Desember 1948 kira-kira pukul
06.30 pagi, kami sudah berkumpul di ruangan makan untuk bersarapan.
Tetapi tahu-tahu kami harus menyaksikan keberangkatan Bung Karno, Bung
Hatta, Saudara-saudara Mr. Assaat, Komodor Suryadarma, Mr. Pringgodigdo,
Sutan Syahrir dan Haji Agus Salim diangkut menggunakan 3 buah jeep dan
dikawal oleh serdadu-serdadu Belanda bersenjatakan lengkap….”
“Dua hari kemudian Mr. Mohammad Roem dan saya mendapat giliran.
Pagi-pagi benar kami disuruh untuk turut dengan seorang perwira Belanda
naik Jeep dan dibawanya ke jurusan Maguwo. Hendak dibawanya kemana kami
tidak diberitahu..”, begitu sekilas kisah yang diutarakan oleh Mr. Ali
Sastroamidjojo.
Roem ditawan bersama dengan Hatta, Ali
Sastroamidjojo, Mr. Assaat, Mr. Pringgodigdo dan Komodor Suryadarma di
Menumbing, Bangka dalam dua ruangan berukuran 6×6 meter dan 4×10 meter.
Mereka inilah yang disebut kelompok Menumbing. Roem melukiskan bahwa
keadaan para pemimpin Republik yang menjadi tawanan di Menumbing cukup
terkendali berkat wibawa dan kebijaksanaan Hatta. Ini tentu berlainan
dengan keadaan di kelompok Prapat dimana Sukarno dan Syahrir berseteru.
Atas usaha keras diplomasi para wakil Indonesia di luar negeri dan
desakan dunia internasional maka dibukalah kembali rencana-rencana
perundingan Indonesia-Belanda. Tercatat bahwa Sukarno-Hatta menolak
undangan Dr. Beel, wakil Belanda, untuk mengadakan suatu Konferensi Meja
Bundar di Belanda yang sedianya akan dilangsungkan tanggal 12 Maret
1949. Para pemimpin Republik mengharapkan bahwa kedaulatan pemerintahan
Republik di Yogyakarta harus dikembalikan secara penuh terlebih dahulu
baru dirintis ke arah Konferensi Meja Bundar.
Untuk menuju kearah
sana maka ditunjuklah Roem sebagai ketua delegasi dari Indonesia, lihat
juga sebelum terjadi aksi Agresi Militer II Belanda Roem telah ditunjuk
sebagai ketua delegasi perundingan. Ada usulan awal untuk menjadikan
Syahrir sebagai ketua delegasi karena ditakutkan Roem tidak akan sanggup
menghadapi kekuatan delegasi dari Belanda. Tapi usulan ini juga ditolak
karena Syahrir sendiri semenjak perundingan Renville tidak pernah mau
duduk sebagai anggota delegasi. Akhirnya Syahrir ditetapkan sebagai
penasihat. Penunjukan Syahrir sebagai penasihat disarankan untuk
dibuatkan satu surat pengesahan dari pemimpin Republik untuk memperkuat
kedudukan Syahrir, dengan alasan terdapat beberapa anggota yang tidak
terlalu simpatik dengan Syahrir.
Surat pengesahan inilah yang
kemudian menimbulkan konflik baru antara Sukarno dengan Syahrir. Ketika
Surat Pengesahan sudah ditandatangani oleh Sukarno, kemudian dibawa ke
Jakarta oleh Roem untuk diberikan kepada Syahrir, berkata Syahrir dengan
sengit, “Apa dia (Sukarno) itu. Mengapa dia yang harus mengangkat saya.
Yang seharusnya mengangkat saya adalah Syafruddin (Kepala PDRI di
Sumatra)”, Roem pun kesal dibuatnya, terlebih-lebih Sukarno setelah
mendengar berita itu. Semua itu terjadi menjelang perundingan
Roem-Roijen. Bahkan pada saat perundingan berlangsung setiap kali
diadakan rapat Syahrir tidak pernah datang, walaupun sudah diundang oleh
ketua delegasi.
Perundingan Roem-Roijen dimulai pada tanggal 14
April 1949 atas prakarsa Komisi Tiga Negara PBB. Delegasi Indonesia
diwakili oleh Mohammad Roem dan delegasi Belanda diwakili oleh Dr. J.H.
Van Roijen dan ketua KTN adalah Cochran. Pidato yang disampaikan Roijen
lemah lembut, sedangkan pidato yang disampaikan Roem tegas dan keras.
Ali Sastroamidjojo melukiskannya dengan kata “agak seram”.
Perundingan yang berlangsung di Hotel Des Indes ini berakhir secara
resmi pada tanggal 7 Mei 1949 pukul 17.00. Isi perundingan itu sebagai
berikut :
Delegasi Indonesia menyatakan kesediaan Pemerintah RI untuk:
Mengeluarkan perintah kepada pengikut Republik yang bersenjata untuk menghentikan perang gerilya.
Bekerjasama dalam mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan.
Turut serta dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag dengan maksud
untuk mempercepat penyerahan kedaulatan yang sunguh dan lengkap kepada
negara Indonesia Serikat dengan tidak bersyarat.
Pernyataan Belanda pada pokoknya berisi:
Menyetujui kembalinya pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta.
Membebaskan semua tahanan politik dan menjamin penghentian gerakan militer.
Tidak akan mendirikan negara-negara yang ada di daerah Republik dan
dikuasainya dan tidak akan meluaskan daerah dengan merugikan Republik.
Menyetujui adanya Republik Indonesia sebagai bagian dari negara Indonesia Serikat.
Berusaha dengan sungguh-sungguh supaya KMB segera diadakan setelah pemerintah Republik kembali ke Yogyakarta.
Hasil perundingan ini menimbulkan pro dan kontra. Terutama dari pihak
TNI yang tidak setuju dengan istilah “Pengikut republik yang bersenjata”
(lihat kembali hasil perundingan Roem-Roijn). Panglima Sudirman
langsung melontarkan protes keras kepada Roem. Para pemimpin PDRI pun
ikut menyatakan kekecewaannya karena perundingan-perundingan yang
dilakukan oleh para pemimpin di Bangka tidak didiskusikan terlebih
dahulu dengan para pemimpin PDRI. Mereka khawatir sebuah perundingan
yang dilakukan oleh pemimpin-pemimpin yang ditawan dengan pihak musuh
akan banyak mengundang kerugian.
Terlepas dari kekurangan maupun
kelemahan hasil perundingan itu akhirnya semua harapan para pemimpin
Republik dapat berjalan lancar. Tanggal 6 Juli 1949 para Pemimpin
Republik yang dibuang ke Bangka kembali ke Yogyakarta yang artinya
kedaulatan Republik sudah dikembalikan seperti sebelum agresi mliter II.
Roem tidak ikut serta dalam rombongan dari Bangka karena ia harus
tinggal di Jakarta untuk mempersiapkan penyerahan kekuasaan Belanda
kepada Indonesia dalam waktu dekat.
Pada tanggal 24 Juli 1949
terbentuklah susunan delegasi RI ke Konferensi Meja Bundar dengan ketua
Mohammad Hatta dan Roem bertindak sebagai wakil ketua. KMB berlangsung
di Den Haag dari tanggal 23 Agustus 1949 dan berakhir tanggal 2 November
1949. Pada tanggal itu juga Roem dan T.B. Simatupang segera dikirim
kembali ke Indonesia untuk segera melaporkan hasil konferensi kepada
Presiden Sukarno.
Penyerahan kedaulatan secara De Jure sendiri
secara resmi dilakukan tanggal 27 Desember 1949 baik di Belanda,
diwakili Mohammad Hatta, maupun di Indonesia, diwakili oleh Sri Sultan
Hamengkubowono IX.
sumber :
http://www.askarlo.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=66:mengenang-kembali-mohamad-roem-bagian-i&catid=45:edukasi&Itemid=82
0 Komentar