Di tahun 1950-an, sikap Partai Nahdlatul Ulama (NU) terhadap Partai Komunis Indonesia
(PKI) terbelah. Ada yang menghujat mati-matian dan menutup rapat agar
partai ini tak menguasai pemerintahan. Bila perlu, dibubarkan. Namun,
ada juga yang bisa menerimanya. Ada kesamaan platform yang hendak
diperjuangkan. [baca: Aidit pun Mengagumi NU]
Aisyah, bocah 9 tahun itu tampak tak punya rasa lelah. Berbulan-bulan
ia keliling Pulau Jawa. 22 Agustus 1954, ia tampil berorasi, laiknya
muballighah kondang. Materi yang ia sampaikan bukan topik khas anak
kecil, tapi soal politik. Ia menghendaki persatuan Islam diantara Masyumi, NU dan PSII. Maklum, NU baru saja bercerai dari Masyumi tahun 1952.
Keluarnya NU dari Masyumi membuat Wakil Ketuanya, Prawoto
Mangkusasmito naik pitam. “Apabila kita menerima pendapat yang
menyatakan bahwa Masjumi adalah partai kanan, maka secara objektif
menurut kenyataan yang ada saat ini,
NU merupakan ekstrem kanan. Adalah benar apa yang dikatakan sejarah
bahwa partai ekstremis, apakah itu ekstrem kanan atau ekstrem kiri, pada
hakikatnya selalu menjadi oposisi. Dan seandainya mereka sampai merebut
tampuk kekuasaan, maka berangsur-angsur pemerintahnya akan berubah
menuju sistem diktator,” kata Prawoto seperti disitir Remy Madinier
dalam Partai Masjumi: Antara Godaan Demokrasi dan Islam Integral.
Kekesalan Prawoto bisa dimengerti. Tetapi pernyataan itu bernada meremehkan kemampuan para ulama untuk berpijak di ranah luar
agama. Karena diremehkan Masyumi, NU justru bisa jadi payung baru
partai-partai Islam laiknya PSII. Mereka pun membentuk Liga Muslimin.
Partai Nasional Indonesia (PNI) mendapat kawan baru. Begitu juga PKI.
Walhasil, di Kabinet Ali Sostoramidjojo, tak satupun wakil Masjumi bisa
menempati posisi menteri.
Hubungan Masyumi dan NU berjalan fluktuatif. Kedekatan NU dan PNI
memang sulit untuk dicari celahnya. Masyumi masih bisa memaklumi. Yang
bikin kebakaran jenggot elit partai bulan bintang
ini adalah ketika NU seperti terlihat akan memaafkan kesalahan PKI,
seteru abadi Masyumi. Di Kabinet Ali, hanya NU yang sikapnya agak lunak
soal komunisme.
Sesungguhnya sikap NU terhadap PKI tidak tunggal. “Dari dulu, sikap
orang-orang NU memang tidak pernah seragam,” kata Andree Feillard,
peneliti NU beberapa waktu lalu di Semarang. termasuk dalam menyikapi
PKI serta agendanya. Rais Am Nahdlatul Ulama, KH. Abdul Wahab
Chasbullah misalnya. Sikapnya terhadap PKI sebangun dengan pandangan
Masyumi. Pada 16 Desember 1954, Kyai Wahab, seperti dikutip Remy,
mengatakan, “akan sangat berbahaya kalau sampai kaum komunis berhasil
meraih kekuasaan di Indonesia, karena jika itu terjadi maka ruang gerak
umat Muslim akan sangat dibatasi.” Makanya, Kyai Wahab yang konsisten
menuntut pelarangan PKI.
Selain Kyai Wahab, ujaran yang sama disampaikan Wakil Ketua Pimpinan
Pusat NU, KH. Dahlan. Kyai Dahlan mengaggap komunisme kafir dan melarang
anggota awam membaca buku-buku komunis. Pimpinan Anshor, Imron Rosyadi
juga menyuarakan hal yang sama.
Namun, rupanya penentangan itu tak bulat. Ini yang dikhawatirkan
Masyumi. Apalagi pimpinan Masyumi mencium bau adanya kemungkinan NU
bekerjasama dengan PKI. AS. Bachmid, ketua Fraksi NU di Dewan Perwakilan
Rakyat Sementara (DPRS) mengatakan bahwa peran PKI dalam Kabinet Ali
terlalu dibesar-besarkan. Toh jika PKI mendukung pemerintahan, itu
adalah haknya yang asasi. 24 Oktober
1954, Bachmid mengatakan kerjasama NU dan PKI karena dilandasi oleh
“common sense melaksanakan keinginan baik yang ada,” ungkapnya pada
Harian Abadi, seperti dikutip Remy.
Awal Januari 1955, Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur,
Murtadji Bisri menunjukan ketidaksetujuannya dengan kontradiksi antara
hukum Islam dengan komunisme. Murtadji menandaskan, jika hal tersebut
terus menerus dibenturkan maka akan sangat merugikan persatuan dan
kesatuan bangsa.
Meski dipandang sebagai kelompok konservatif, NU ternyata berhasil
memainkan peran politik dengan cerdik. Untuk urusan yang satu itu, tak
ada yang abadi. Semuanya mungkin bisa diajak kolaborasi, termasuk PKI.
Meski menyisakan kontroversi. [elsa-ol/TKh-@tedikholiludin]
Sumber: http://elsaonline.com/?p=3006
0 Komentar