Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Ticker

6/recent/ticker-posts

Proklamasi, Sudut Pandang Bung Hatta

Peran pemuda dalam Proklamasi telah lama menjadi legenda dalam sejarah kita. Dalam legenda itu, pemuda digambarkan sebagai pihak yang paling penting dari keseluruhan peristiwa Proklamasi. Bahkan lebih penting, sebab tanpa desakan para pemuda, Soekarno dan Hatta (katanya) tak akan menyatakan Proklamasi itu. Hal ini telah lumrah dikabarkan dan terpahat dalam sekian banyak buku sejarah atau buku yang mirip buku sejarah.

Tentu saja benar adanya para pemuda itu berperan. Tak ada yang meragukan peran pemuda dalam proklamasi. Perbedaan pandangan terhadap hal itu bukan tentang berperan atau tak berperannya para pemuda, melainkan peran macam apa yang dimainkan pemuda ketika itu. Para pemuda menyebut merekalah yang berhasil mendesak Soekarno-Hatta untuk segera mengucapkan kalimat-kalimat proklamasi itu. Pendapat inilah yang sering kita temukan dalam buku-buku sejarah dan buku-buku yang mirip buku sejarah itu. Akan tetapi, Bung Hatta, proklamator kita itu, melihat peran yang lebih penting dari para pemuda. Para pemuda yang paling penting, menurut bung kita itu, ialah menunda kemerdekaan kita satu hari.

Andai kata para pemuda tidak “koboi-koboian”, kita dapat jadi merdeka satu hari lebih cepat. Akan tetapi, takdir sejarah menuntun bangsa ini pada peristiwa Rengasdengklok yang revolusioner itu. Soekarno-Hatta “diculik” para pemuda binaan Bung Sjahrir dan Tan Malaka. Lantas buku-buku sejarah dan buku-buku yang mirip sejarah itu mencatat peristiwa tersebut sebagai peristiwa paling penting dalam proklamasi kita.

Akan tetapi, ada sudut pandang lain. Sudut pandang Bung Hatta, kawan Bung Besar kita itu. Si Bung kelahiran Bukittinggi itu menulis sudut pandangnya pada halaman Mimbar Indonesia. Tulisan ini kemudian ditulis ulang di media-media lain. Salah satunya pada majalah Nasional edisi 25 Agustus 1951, terdiri atas dua bagian. Tulisan yang kami kutip merupakan bagian pertama. Tulisan ini berjudul “Legende dan Realiteit”. Kami (Komunitas NuuN) menyalin ulang tulisan tersebut, melakukan penyuntingan, memberi keterangan untuk beberapa hal tetapi tetap berusaha menjaga maksud tulisan.

Tentu saja tulisan Bung ini tidak bertujuan untuk merendahkan peran pemuda. Kita dapat melihat tulisan Bung Hatta sebagai kritik terhadap ketergesa-gesaan dan semangat yang tak terkelola. Semangat perlu sesuatu yang berarah, bukan sesuatu yang asal ke mana saja.

Kita tidak bisa berpegang pada pandangan-pandangan kumuh semacam asal merdeka, asal bukan si A yang jadi gubernur, atau asal bukan si itu yang memimpin. Tindakan asal-asalan dan tak berarah telah lama menjadi penyakit bangsa kita, baik para politisi maupun masyarakat biasa. Semangat perbaikan mesti berlandaskan pemikiran yang matang. Mengurus negara dan memperjuangkan nasib umat juga memerlukan landasan filosofis. Bukan hanya karena kebutuhan-kebutuhan mendesak ala kadarnya.
Akan tetapi kita juga perlu semangat. Kita tidak bisa terus-terusan menimbang dan berpikir. Kita juga harus bertindak dan bergerak. Bahwa dunia yang kusam ini perlu kita perbaiki, bukan hanya kita pikirkan. Kita tidak hanya bisa menelaah-nelaah saja keadaan yang ada. Memerangkap keseharian kita dalam rumus-rumus rumit yang hanya melahirkan angka-angka. Kita perlu juga bergerak memperbaiki kenyataan dengan bersemangat.

Bersemangat tanpa pemikiran dan berpikir tanpa semangat tampaknya merupakan dua hal yang ingin dihindari Bung Hatta. Bung Hatta menghargai semangat, tetapi bukan semangat yang meletup-letup ke mana-mana dan tak berarah. Semangat yang baik ialah semangat yang dialiri pemikiran yang matang. Itulah kebijaksanaan. Bangsa ini perlu diurus dengan cara yang bijaksana itu.

Tulisan ini berjudul “Legende dan Realiteit”. Bung kita juga terlihat berusaha melihat sejarah dengan caranya, bahwa sejarah itu semacam hubungan sebab-akibat dari sekian banyak peristiwa yang tertata (atau ditata) dalam satu narasi tertentu. Si Bung juga kemudian berpikir tentang yang legende dan yang realiteit dalam sejarah, tentang wahrheit dan diehtung. Dua hal yang mesti dipilah dalam sejarah. Pandangan semacam ini bisa jadi dianut pula oleh Buya Hamka yang menjuduli buku “sejarahnya” sebagai Fakta dan Chayal Tuanku Rao. Kita tidak perlu selalu bersepakat dengan pandangan sejarah semacam ini. Kita bisa katakan bahwa pendekatan-pendekatan yang lebih akliah patut pula dikenakan pada kenyataan-kenyataan sejarah.

Terlepas dari hal-hal tersebut, kita bisa mendudukkan pandangan Bung Hatta ini sebagai pandangan seorang pelaku peristiwa penting yang mesti kita hormati. Tentu saja, kita dapat membaca tulisan ini secara kritis dan berdiri pada pandangan kita sendiri.

Legende dan Realiteit, Sekitar Proklamasi 17 Agustus ‘45 (Bagian I)
Oleh: Bung Hatta

Tiap-tiap kejadian yang bersejarah sering diikuti oleh dongeng dan legenda. Legenda itu ada yang keluar dari fantasi belaka karena ingin mendapat kenang-kenangan yang lebih bagus dari yang sebenarnya. Sering pula gambaran fantasi itu bertambah kocak dalam perkembangannya dari orang seorang atau lingkungan kecil sampai kepada orang banyak.  Ada pula legenda itu dihidupkan dan dipupuk oleh suatu golongan yang berkepentingan, maupun untuk keperluan politik mereka ataupun untuk kebesaran bangsa yang membuat sejarahnya.

Dalam tiap-tiap gambaran daripada masa yang lalu, apa lagi jika ditulis dalam waktu yang amat dekat dan pergolakannya belum lagi selesai, banyak bercampur diehtung und wahrheit (fakta dan fiksi—penyunting). Gambaran itu lebih banyak memakai warna cita-cita pengarangnya dari pada menyerupai kejadian-kejadian yang sebenarnya. Dan di sinilah terletak kewajiban dari pada ilmu sejarah untuk memisahkan wahrheit dari diehtung.

 Cerita yang didengar tentang berbagai bukti yang terjadi dan tidak terjadi dikumpulkan dan diperbandingkan, diuji dengan logika yang tajam dan peninjauan yang kritis, dan diperiksa apakah benar duduknya menurut hukum kausal, yaitu perhubungan sebab dan akibat. Pendapat sejarah tadi menjadi dasar bagi penyelidikan selanjutnya. Penyelidikan sejarah tentang suatu masalah yang telah dikupas tidak habis-habis, sebab bahan-bahan yang terdapat kemudian menambah sempurnanya pengetahuan tentang masa yang lalu. Maksudnya sejarah bukanlah memberikan gambaran yang lengkap tentang masa yang lalu, yang tidak pernah akan tercapai, melainkan memberikan bentuk daripada masa yang lalu, supaya roman masa yang lalu itu jelas terpancang di muka kita. Semakin banyak “wahrheit” yang diperoleh dan semakin sedikit “dichtung” yang tinggal pada bahan-bahan yang terkumpul, semakin dekat bentuk masa yang lalu yang diperbuat itu pada kebenaran.

Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah suatu Kejadian Besar yang menentukan jalan sejarah Indonesia. Dan sebagai suatu kejadian yang bersejarah sudah tentu ia diikuti pula oleh berbagai dongeng dan legenda, yang jika diperhatikan betul satu sama lain ada yang tidak sesuai dan bertentangan. Salah satu dari legenda itu ialah bahwa Sukarno dan Hatta hanya bersedia memproklamirkan kemerdekaan Indonesia setelah dipaksa oleh pemuda.

Menurut legenda itu, karena Sukarno dan Hatta tidak mau menyetujui desakan pemuda-pemuda untuk memproklamirkan Indonesia Merdeka, maka tanggal 16 Agustus pagi mereka dibawa ke Rengasdengklok dan di sana dipaksa menandatangani proklamasi kemerdekaan itu yang esok harinya dibacakan di Pegangsaan Timur 56 pukul 10 pagi.

Pengaruh dari legenda ini kita jumpai dalam buku Muhammad Dimyati, Sejarah Perjuangan Indonesia. Pada halaman 90 kita dapati uraian sebagai berikut:
“Pada tanggal 16 Agustus jam 4.30 pagi berangkatlah Bung Karno-Hatta keluar dari kota Jakarta, dengan mobil, diantarkan oleh Sukarni dan J Kunto menuju ke tangsi Rengasdengklok, karena dikuatirkan kedua pemimpin itu akan diperalatkan oleh Jepang kalau tetap tinggal di rumahnya. Tangsi Rengasdengklok pada waktu itu sudah dikuasai oleh pemuda-pemuda Indonesia[1] yang akan memberontak kepada Jepang. Di sana diadakan perundingan untuk segera memproklamirkan Indonesia Merdeka. Karena belum tercapainya kata sepakat dan kebulatan tekad, kemudian pada malam tanggal 17 Agustus jam 12 perundingan diteruskan di sebuah gedung di Nassauboulevard-straat kota Jakarta. Di situlah berkumpul segenap pemimpin-pemimpin Indonesia dan anggota panitia persiapan kemerdekaan Indonesia yang tadinya dilantik oleh Jepang tapi sejak waktu itu telah memutuskan hubungan dengan Jepang. Dalam perundingan itu Sukarni menyorongkan teks Proklamasi Indonesia Merdeka di mana di bawahnya memakai kalimat: Bahwa dengan ini rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Segala badan-badan yang ada harus direbut dari orang asing yang masih mempertahankannya.”

“Susunan kalimat serupa itu tidak mendapatkan persetujuan dari hadirin; minta dirobah yang agak halus. Akhirnya Sayuti Melik (MI Sayuti) dapat memecahkan kesulitan itu dengan mengemukakan susunan: “Kami Bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lainnya diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.”

Di sini dongeng telah berubah. Sukarno dan Hatta yang dilarikan ke Rengasdengklok karena dikhawatirkan kedua pemimpin itu akan diperalat oleh Jepang kalau tetap tinggal di rumahnya, dibawa kembali ke Jakarta untuk meneruskan perundingan yang tidak selesai di Rengasdengklok. Dalam uraian yang beberapa kalimat saja sudah ada jalan pikiran yang bertentangan. Dikhawatirkan kedua pemimpin akan diperalatkan oleh Jepang kalau tetap tinggal di rumahnya di Jakarta, tetapi mereka dibawa kembali ke Jakarta. Logika?[2]

Dalam legenda baru ini muncul Sayuti Melik sebagai seorang yang memberikan kata yang penghabisan tentang isi proklamasi. Dokumen yang asli membuktikan bahwa proklamasi itu ditulis dengan tangan Bung Karno sendiri, sedangkan patokan kalimatnya dan gaya bahasanya sama sekali tidak sesuai dengan “stijl” Sayuti Melik!

Sekian legenda sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945. Bagaimana realitetnya?

Berlainan dengan cerita Muhammad Dimyati, sebenarnya tidak ada perbedaan paham tentang memproklamirkan Indonesia Merdeka. Perbedaan terdapat tentang caranya.

Seperti diketahui, Sukarno, Hatta, dan DR Rajiman Wediyodiningrat diundang oleh Panglima Tertinggi tentara Jepang di Asia Tenggara ke Dalat (Indo-Cina) untuk menerima putusan Pemerintah Jepang tentang Indonesia Merdeka. Dalam pertemuan resmi tanggal 12 Agustus, Jenderal Terauci berkata: “Terserah pada Tuan-Tuan akan menetapkan, kapan Indonesia akan merdeka.”

Waktu kembali dari Dalat utusan yang tiga tadi bertemu di Singapore dengan Mr Teuku Hassan, Dr Amir, dan Mr Abbas, yaitu anggota-anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dari Sumatra, yang akan bertolak bersama-sama ke Jakarta. Juga mereka mendengar kabar bahwa Rusia telah mengumumkan perang kepada Jepang dan sudah menyerbu ke Mansyuria.

Setelah bertukar pikiran kami semuanya mendapatkan keyakinan, bahwa tiwasnya Jepang tidak akan berbilang bulan, melainkan berbilang minggu. Sebab itu persenjataan Indonesia Merdeka harus terjadi selekas-lekasnya.

Setelah kembali di Jakarta tanggal 14 Agustus 1945, masih di lapang terbang Kemayoran Bung Karno berpidato di muka khalayak ramai yang datang menyambut: “Kalau dahulu saya berkata, sebelum jagung berbuah Indonesia akan merdeka, sekarang saya dapat memastikan Indonesia akan merdeka sebelum jagung berbunga.”

Sorenya tanggal 14 Agustus itu juga Sjahrir datang memberitahukan kepada saya bahwa Jepang telah minta damai kepada Sekutu, dan bertanya: bagaimana soal kemerdekaan kita? Jawab saya, soal kemerdekaan kita adalah semata-mata di tangan kita. Menurut pendapat Sjahrir, pernyataan kemerdekaan Indonesia janganlah dilakukan oleh Badan Persiapan Kemerdekaan Indonesia sebab Indonesia Merdeka yang lahir semacam itu akan dicap oleh Sekutu sebagai Indonesia buatan Jepang. Sebaik-baiknya Bung Karno sendiri saja menyatakannya sebagai pemimpin rakyat atas nama rakyat dengan perantaraan corong radio.

Bung Karno tidak setuju dengan usul Sjahrir, karena sebagai Ketua Badan Persiapan tidak bisa ia bertindak sendiri dengan melewati saja badan itu. Selanjutnya ia ingin mendapat keterangan dulu dari Gunseikanbu (Staf Pemerintahan Militer Pusat) tentang berita Jepang menyerah itu.

Setelah keesokan harinya, tanggal 15 Agustus, ternyata bahwa Jepang memang minta berdamai, maka kami putuskan mengundang panitia persiapan berapat tanggal 16 Agustus pukul 10 pagi di kantor Dewan Sanyo Pejambon 2. Pernyataan Indonesia Merdeka harus dilakukan selekas-lekasnya, Undang-Undang Dasar harus dimufakati dengan tiada banyak berdebat dan susunan pemerintahan Indonesia di pusat dan daerah harus dapat diselenggarakan dalam beberapa hari saja. Anggota-anggota panitia persiapan dari luar Jawa harus kembali selekas-lekasnya ke daerah masing-masing dengan membawa instruksi yang lengkap dari Pemerintah Indonesia Merdeka. Waktu tidak boleh terbuang, karena kalau mereka terlambat pulang, mungkin dihalang-halangi berangkat oleh Jepang yang sejak menyerah kedudukannya di Indonesia hanya sebagai juru kuasa Sekutu saja lagi. Sungguhpun Jepang telah menyetujui kemerdekaan Indonesia, tentara Jepang di Indonesia boleh diperintah oleh Sekutu untuk menindas dan melikwidie Indonesia Merdeka. Kami harus memperhitungkan bahwa Sekutu akan mencoba mengembalikan Indonesia ke bawah Pemerintah Hindia Belanda. Revolusi yang diorganisir harus ada, barulah kemerdekaan dapat dipertahankan dengan perjuangan yang dipikul oleh seluruh rakyat Indonesia.

Berdasarkan atas keyakinan inilah maka saya menolak teori merebut kekuasaan oleh pemuda, Peta, dan rakyat, yang dianjurkan kepada saya sore hari itu oleh almarhum Subianto dan Subadio, anggota parlemen sekarang (1951—penyunting). Perebutan kekuasaan itu harus didahului oleh pernyataan kemerdekaan oleh Bung Karno dengan perantaraan corong radio. Kepada kedua pemuda itu saya tegaskan bahwa saya suka revolusi akan tetapi menolak putsch (kup, kudeta—penyunting). Keterangan ini tidak memuaskan mereka, hanya menimbulkan kekecewaan mereka kepada saya. Beberapa waktu Subianto yang sejak zaman Jepang rapat hubungannya dengan saya seperti anak sama bapak, menjauhi saya. Tetapi kemudian ia kembali pada saya mengatakan bahwa pendirian sayalah yang benar. Sejak itu Subianto menerima tugas yang penting-penting dari saya yang diselenggarakannya dengan baik, sampai ia tiwas di Serpong.

Pada tanggal 16 Agustus 1945 pukul 10 pagi hadirlah segala anggota Badan Persiapan dan beberapa orang terkemuka serta pers yang diundang di gedung Pejambon 2. Tetapi yang tidak hadir ialah … yang mengundang, yaitu Sukarno dan Hatta, yang pagi itu dilarikan oleh Sukarni cs ke Rengasdengklok. Alasan yang dikemukakan Sukarni untuk membawa kami ialah begini. Oleh karena Bung Karno tidak mau menyatakan kemerdekaan Indonesia sebagaimana mereka kehendaki, maka pemuda dan Peta dan rakyat akan bertindak sendiri. Di Jakarta akan ada revolusi merebut kekuasaan dari Jepang. Bung Karno dan kami perlu disingkirkan ke Rengasdengklok untuk meneruskan pemerintahan Indonesia Merdeka dari sana.

Mendengar alasan ini tergambarlah di muka saya bencana yang akan menimpa Indonesia. Tindakan gila-gilaan dari pemuda ini pasti gagal. Putsch ini akan membunuh Revolusi Indonesia.

Hari itu juga ternyata, bahwa pemuda-pemuda yang berdarah panas ini tidak dapat merealisir teori mereka sendiri. Putsch tidak jadi terjadi, di luar Jakarta tak ada persiapan sama sekali. Hanya Jepang yang telah siap dengan alatnya yang masih lengkap untuk menyambut segala kemungkinan.

Di Rengasdengklok tidak ada perundingan suatu pun. Di sana kami menganggur satu hari lamanya, seolah-olah mempersaksikan dari jauh gagalnya suatu cita-cita yang tidak berdasarkan realitet. Tetapi, kalau ada satu tempat di Indonesia betul-betul ada perampasan kekuasaan, tempat itu adalah Rengasdengklok.

(Bersambung ke bagian II)
[1] Yang sebenarnya tangsi Rengasdengklok adalah asrama Peta. Pasukan Jepang tak ada di sana.
[2] Dimyati menulis bahwa uraiannya tentang perjungan Proklamasi diambil dari buku Riwayat Proklamasi 17 Agustus 1945 karangan Adam Malik. Jika diperhatikan dengan teliti, Muhammad Dimyati baru menulis cerita dalam bukunya, belum mengarang sejarah.
Sumber: http://www.komunitasnuun.org/2016/08/proklamasi-sudut-pandang-bung-hatta-i/

Posting Komentar

0 Komentar