Peran pemuda dalam Proklamasi telah lama
menjadi legenda dalam sejarah kita. Dalam legenda itu, pemuda
digambarkan sebagai pihak yang paling penting dari keseluruhan peristiwa
Proklamasi. Bahkan lebih penting, sebab tanpa desakan para pemuda,
Soekarno dan Hatta (katanya) tak akan menyatakan Proklamasi itu. Hal ini
telah lumrah dikabarkan dan terpahat dalam sekian banyak buku sejarah
atau buku yang mirip buku sejarah.
Tentu saja benar adanya para pemuda itu
berperan. Tak ada yang meragukan peran pemuda dalam proklamasi.
Perbedaan pandangan terhadap hal itu bukan tentang berperan atau tak
berperannya para pemuda, melainkan peran macam apa yang dimainkan pemuda
ketika itu. Para pemuda menyebut merekalah yang berhasil mendesak
Soekarno-Hatta untuk segera mengucapkan kalimat-kalimat proklamasi itu.
Pendapat inilah yang sering kita temukan dalam buku-buku sejarah dan
buku-buku yang mirip buku sejarah itu. Akan tetapi, Bung Hatta,
proklamator kita itu, melihat peran yang lebih penting dari para pemuda.
Para pemuda yang paling penting, menurut bung kita itu, ialah menunda
kemerdekaan kita satu hari.
Andai kata para pemuda tidak
“koboi-koboian”, kita dapat jadi merdeka satu hari lebih cepat. Akan
tetapi, takdir sejarah menuntun bangsa ini pada peristiwa Rengasdengklok
yang revolusioner itu. Soekarno-Hatta “diculik” para pemuda binaan Bung
Sjahrir dan Tan Malaka. Lantas buku-buku sejarah dan buku-buku yang
mirip sejarah itu mencatat peristiwa tersebut sebagai peristiwa paling
penting dalam proklamasi kita.
Akan tetapi, ada sudut pandang lain.
Sudut pandang Bung Hatta, kawan Bung Besar kita itu. Si Bung kelahiran
Bukittinggi itu menulis sudut pandangnya pada halaman Mimbar Indonesia. Tulisan ini kemudian ditulis ulang di media-media lain. Salah satunya pada majalah Nasional
edisi 25 Agustus 1951, terdiri atas dua bagian. Tulisan yang kami kutip
merupakan bagian pertama. Tulisan ini berjudul “Legende dan Realiteit”.
Kami (Komunitas NuuN) menyalin ulang tulisan tersebut, melakukan
penyuntingan, memberi keterangan untuk beberapa hal tetapi tetap
berusaha menjaga maksud tulisan.
Tentu saja tulisan Bung ini tidak
bertujuan untuk merendahkan peran pemuda. Kita dapat melihat tulisan
Bung Hatta sebagai kritik terhadap ketergesa-gesaan dan semangat yang
tak terkelola. Semangat perlu sesuatu yang berarah, bukan sesuatu yang
asal ke mana saja.
Kita tidak bisa berpegang pada
pandangan-pandangan kumuh semacam asal merdeka, asal bukan si A yang
jadi gubernur, atau asal bukan si itu yang memimpin. Tindakan
asal-asalan dan tak berarah telah lama menjadi penyakit bangsa kita,
baik para politisi maupun masyarakat biasa. Semangat perbaikan mesti
berlandaskan pemikiran yang matang. Mengurus negara dan memperjuangkan
nasib umat juga memerlukan landasan filosofis. Bukan hanya karena
kebutuhan-kebutuhan mendesak ala kadarnya.
Akan tetapi kita juga perlu semangat.
Kita tidak bisa terus-terusan menimbang dan berpikir. Kita juga harus
bertindak dan bergerak. Bahwa dunia yang kusam ini perlu kita perbaiki,
bukan hanya kita pikirkan. Kita tidak hanya bisa menelaah-nelaah saja
keadaan yang ada. Memerangkap keseharian kita dalam rumus-rumus rumit
yang hanya melahirkan angka-angka. Kita perlu juga bergerak memperbaiki
kenyataan dengan bersemangat.
Bersemangat tanpa pemikiran dan berpikir
tanpa semangat tampaknya merupakan dua hal yang ingin dihindari Bung
Hatta. Bung Hatta menghargai semangat, tetapi bukan semangat yang
meletup-letup ke mana-mana dan tak berarah. Semangat yang baik ialah
semangat yang dialiri pemikiran yang matang. Itulah kebijaksanaan.
Bangsa ini perlu diurus dengan cara yang bijaksana itu.
Tulisan ini berjudul “Legende dan Realiteit”.
Bung kita juga terlihat berusaha melihat sejarah dengan caranya, bahwa
sejarah itu semacam hubungan sebab-akibat dari sekian banyak peristiwa
yang tertata (atau ditata) dalam satu narasi tertentu. Si Bung juga
kemudian berpikir tentang yang legende dan yang realiteit dalam sejarah, tentang wahrheit dan diehtung.
Dua hal yang mesti dipilah dalam sejarah. Pandangan semacam ini bisa
jadi dianut pula oleh Buya Hamka yang menjuduli buku “sejarahnya”
sebagai Fakta dan Chayal Tuanku Rao. Kita tidak perlu selalu
bersepakat dengan pandangan sejarah semacam ini. Kita bisa katakan bahwa
pendekatan-pendekatan yang lebih akliah patut pula dikenakan pada
kenyataan-kenyataan sejarah.
Terlepas dari hal-hal tersebut, kita
bisa mendudukkan pandangan Bung Hatta ini sebagai pandangan seorang
pelaku peristiwa penting yang mesti kita hormati. Tentu saja, kita dapat
membaca tulisan ini secara kritis dan berdiri pada pandangan kita
sendiri.
Legende dan Realiteit, Sekitar Proklamasi 17 Agustus ‘45 (Bagian I)
Oleh: Bung Hatta
Tiap-tiap kejadian yang bersejarah
sering diikuti oleh dongeng dan legenda. Legenda itu ada yang keluar
dari fantasi belaka karena ingin mendapat kenang-kenangan yang lebih
bagus dari yang sebenarnya. Sering pula gambaran fantasi itu bertambah
kocak dalam perkembangannya dari orang seorang atau lingkungan kecil
sampai kepada orang banyak. Ada pula legenda itu dihidupkan dan dipupuk
oleh suatu golongan yang berkepentingan, maupun untuk keperluan politik
mereka ataupun untuk kebesaran bangsa yang membuat sejarahnya.
Dalam tiap-tiap gambaran daripada masa
yang lalu, apa lagi jika ditulis dalam waktu yang amat dekat dan
pergolakannya belum lagi selesai, banyak bercampur diehtung und wahrheit
(fakta dan fiksi—penyunting). Gambaran itu lebih banyak memakai warna
cita-cita pengarangnya dari pada menyerupai kejadian-kejadian yang
sebenarnya. Dan di sinilah terletak kewajiban dari pada ilmu sejarah
untuk memisahkan wahrheit dari diehtung.
Cerita yang didengar tentang berbagai
bukti yang terjadi dan tidak terjadi dikumpulkan dan diperbandingkan,
diuji dengan logika yang tajam dan peninjauan yang kritis, dan diperiksa
apakah benar duduknya menurut hukum kausal, yaitu perhubungan sebab dan
akibat. Pendapat sejarah tadi menjadi dasar bagi penyelidikan
selanjutnya. Penyelidikan sejarah tentang suatu masalah yang telah
dikupas tidak habis-habis, sebab bahan-bahan yang terdapat kemudian
menambah sempurnanya pengetahuan tentang masa yang lalu. Maksudnya
sejarah bukanlah memberikan gambaran yang lengkap tentang masa yang
lalu, yang tidak pernah akan tercapai, melainkan memberikan bentuk
daripada masa yang lalu, supaya roman masa yang lalu itu jelas
terpancang di muka kita. Semakin banyak “wahrheit” yang diperoleh dan semakin sedikit “dichtung” yang tinggal pada bahan-bahan yang terkumpul, semakin dekat bentuk masa yang lalu yang diperbuat itu pada kebenaran.
Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah suatu
Kejadian Besar yang menentukan jalan sejarah Indonesia. Dan sebagai
suatu kejadian yang bersejarah sudah tentu ia diikuti pula oleh berbagai
dongeng dan legenda, yang jika diperhatikan betul satu sama lain ada
yang tidak sesuai dan bertentangan. Salah satu dari legenda itu ialah
bahwa Sukarno dan Hatta hanya bersedia memproklamirkan kemerdekaan
Indonesia setelah dipaksa oleh pemuda.
Menurut legenda itu, karena Sukarno dan
Hatta tidak mau menyetujui desakan pemuda-pemuda untuk memproklamirkan
Indonesia Merdeka, maka tanggal 16 Agustus pagi mereka dibawa ke
Rengasdengklok dan di sana dipaksa menandatangani proklamasi kemerdekaan
itu yang esok harinya dibacakan di Pegangsaan Timur 56 pukul 10 pagi.
Pengaruh dari legenda ini kita jumpai dalam buku Muhammad Dimyati, Sejarah Perjuangan Indonesia. Pada halaman 90 kita dapati uraian sebagai berikut:
“Pada tanggal 16 Agustus jam 4.30 pagi
berangkatlah Bung Karno-Hatta keluar dari kota Jakarta, dengan mobil,
diantarkan oleh Sukarni dan J Kunto menuju ke tangsi Rengasdengklok,
karena dikuatirkan kedua pemimpin itu akan diperalatkan oleh Jepang
kalau tetap tinggal di rumahnya. Tangsi Rengasdengklok pada waktu itu
sudah dikuasai oleh pemuda-pemuda Indonesia[1] yang akan memberontak
kepada Jepang. Di sana diadakan perundingan untuk segera memproklamirkan
Indonesia Merdeka. Karena belum tercapainya kata sepakat dan kebulatan
tekad, kemudian pada malam tanggal 17 Agustus jam 12 perundingan
diteruskan di sebuah gedung di Nassauboulevard-straat kota Jakarta. Di
situlah berkumpul segenap pemimpin-pemimpin Indonesia dan anggota
panitia persiapan kemerdekaan Indonesia yang tadinya dilantik oleh
Jepang tapi sejak waktu itu telah memutuskan hubungan dengan Jepang.
Dalam perundingan itu Sukarni menyorongkan teks Proklamasi Indonesia
Merdeka di mana di bawahnya memakai kalimat: Bahwa dengan ini rakyat
Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Segala badan-badan yang ada harus
direbut dari orang asing yang masih mempertahankannya.”
“Susunan kalimat serupa itu tidak
mendapatkan persetujuan dari hadirin; minta dirobah yang agak halus.
Akhirnya Sayuti Melik (MI Sayuti) dapat memecahkan kesulitan itu dengan
mengemukakan susunan: “Kami Bangsa Indonesia dengan ini menyatakan
kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan
lain-lainnya diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang
sesingkat-singkatnya.”
Di sini dongeng telah berubah. Sukarno
dan Hatta yang dilarikan ke Rengasdengklok karena dikhawatirkan kedua
pemimpin itu akan diperalat oleh Jepang kalau tetap tinggal di rumahnya,
dibawa kembali ke Jakarta untuk meneruskan perundingan yang tidak
selesai di Rengasdengklok. Dalam uraian yang beberapa kalimat saja sudah
ada jalan pikiran yang bertentangan. Dikhawatirkan kedua pemimpin akan
diperalatkan oleh Jepang kalau tetap tinggal di rumahnya di Jakarta,
tetapi mereka dibawa kembali ke Jakarta. Logika?[2]
Dalam legenda baru ini muncul Sayuti
Melik sebagai seorang yang memberikan kata yang penghabisan tentang isi
proklamasi. Dokumen yang asli membuktikan bahwa proklamasi itu ditulis
dengan tangan Bung Karno sendiri, sedangkan patokan kalimatnya dan gaya
bahasanya sama sekali tidak sesuai dengan “stijl” Sayuti Melik!
Sekian legenda sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945. Bagaimana realitetnya?
Berlainan dengan cerita Muhammad
Dimyati, sebenarnya tidak ada perbedaan paham tentang memproklamirkan
Indonesia Merdeka. Perbedaan terdapat tentang caranya.
Seperti diketahui, Sukarno, Hatta, dan
DR Rajiman Wediyodiningrat diundang oleh Panglima Tertinggi tentara
Jepang di Asia Tenggara ke Dalat (Indo-Cina) untuk menerima putusan
Pemerintah Jepang tentang Indonesia Merdeka. Dalam pertemuan resmi
tanggal 12 Agustus, Jenderal Terauci berkata: “Terserah pada Tuan-Tuan
akan menetapkan, kapan Indonesia akan merdeka.”
Waktu kembali dari Dalat utusan yang
tiga tadi bertemu di Singapore dengan Mr Teuku Hassan, Dr Amir, dan Mr
Abbas, yaitu anggota-anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
dari Sumatra, yang akan bertolak bersama-sama ke Jakarta. Juga mereka
mendengar kabar bahwa Rusia telah mengumumkan perang kepada Jepang dan
sudah menyerbu ke Mansyuria.
Setelah bertukar pikiran kami semuanya
mendapatkan keyakinan, bahwa tiwasnya Jepang tidak akan berbilang bulan,
melainkan berbilang minggu. Sebab itu persenjataan Indonesia Merdeka
harus terjadi selekas-lekasnya.
Setelah kembali di Jakarta tanggal 14
Agustus 1945, masih di lapang terbang Kemayoran Bung Karno berpidato di
muka khalayak ramai yang datang menyambut: “Kalau dahulu saya berkata,
sebelum jagung berbuah Indonesia akan merdeka, sekarang saya dapat
memastikan Indonesia akan merdeka sebelum jagung berbunga.”
Sorenya tanggal 14 Agustus itu juga
Sjahrir datang memberitahukan kepada saya bahwa Jepang telah minta damai
kepada Sekutu, dan bertanya: bagaimana soal kemerdekaan kita? Jawab
saya, soal kemerdekaan kita adalah semata-mata di tangan kita. Menurut
pendapat Sjahrir, pernyataan kemerdekaan Indonesia janganlah dilakukan
oleh Badan Persiapan Kemerdekaan Indonesia sebab Indonesia Merdeka yang
lahir semacam itu akan dicap oleh Sekutu sebagai Indonesia buatan
Jepang. Sebaik-baiknya Bung Karno sendiri saja menyatakannya sebagai
pemimpin rakyat atas nama rakyat dengan perantaraan corong radio.
Bung Karno tidak setuju dengan usul
Sjahrir, karena sebagai Ketua Badan Persiapan tidak bisa ia bertindak
sendiri dengan melewati saja badan itu. Selanjutnya ia ingin mendapat
keterangan dulu dari Gunseikanbu (Staf Pemerintahan Militer Pusat)
tentang berita Jepang menyerah itu.
Setelah keesokan harinya, tanggal 15
Agustus, ternyata bahwa Jepang memang minta berdamai, maka kami putuskan
mengundang panitia persiapan berapat tanggal 16 Agustus pukul 10 pagi
di kantor Dewan Sanyo Pejambon 2. Pernyataan Indonesia Merdeka harus
dilakukan selekas-lekasnya, Undang-Undang Dasar harus dimufakati dengan
tiada banyak berdebat dan susunan pemerintahan Indonesia di pusat dan
daerah harus dapat diselenggarakan dalam beberapa hari saja.
Anggota-anggota panitia persiapan dari luar Jawa harus kembali
selekas-lekasnya ke daerah masing-masing dengan membawa instruksi yang
lengkap dari Pemerintah Indonesia Merdeka. Waktu tidak boleh terbuang,
karena kalau mereka terlambat pulang, mungkin dihalang-halangi berangkat
oleh Jepang yang sejak menyerah kedudukannya di Indonesia hanya sebagai
juru kuasa Sekutu saja lagi. Sungguhpun Jepang telah menyetujui
kemerdekaan Indonesia, tentara Jepang di Indonesia boleh diperintah oleh
Sekutu untuk menindas dan melikwidie Indonesia Merdeka. Kami
harus memperhitungkan bahwa Sekutu akan mencoba mengembalikan Indonesia
ke bawah Pemerintah Hindia Belanda. Revolusi yang diorganisir harus ada,
barulah kemerdekaan dapat dipertahankan dengan perjuangan yang dipikul
oleh seluruh rakyat Indonesia.
Berdasarkan atas keyakinan inilah maka
saya menolak teori merebut kekuasaan oleh pemuda, Peta, dan rakyat, yang
dianjurkan kepada saya sore hari itu oleh almarhum Subianto dan
Subadio, anggota parlemen sekarang (1951—penyunting). Perebutan
kekuasaan itu harus didahului oleh pernyataan kemerdekaan oleh Bung
Karno dengan perantaraan corong radio. Kepada kedua pemuda itu saya
tegaskan bahwa saya suka revolusi akan tetapi menolak putsch
(kup, kudeta—penyunting). Keterangan ini tidak memuaskan mereka, hanya
menimbulkan kekecewaan mereka kepada saya. Beberapa waktu Subianto yang
sejak zaman Jepang rapat hubungannya dengan saya seperti anak sama
bapak, menjauhi saya. Tetapi kemudian ia kembali pada saya mengatakan
bahwa pendirian sayalah yang benar. Sejak itu Subianto menerima tugas
yang penting-penting dari saya yang diselenggarakannya dengan baik,
sampai ia tiwas di Serpong.
Pada tanggal 16 Agustus 1945 pukul 10
pagi hadirlah segala anggota Badan Persiapan dan beberapa orang
terkemuka serta pers yang diundang di gedung Pejambon 2. Tetapi yang
tidak hadir ialah … yang mengundang, yaitu Sukarno dan Hatta, yang pagi
itu dilarikan oleh Sukarni cs ke Rengasdengklok. Alasan yang dikemukakan
Sukarni untuk membawa kami ialah begini. Oleh karena Bung Karno tidak
mau menyatakan kemerdekaan Indonesia sebagaimana mereka kehendaki, maka
pemuda dan Peta dan rakyat akan bertindak sendiri. Di Jakarta akan ada
revolusi merebut kekuasaan dari Jepang. Bung Karno dan kami perlu
disingkirkan ke Rengasdengklok untuk meneruskan pemerintahan Indonesia
Merdeka dari sana.
Mendengar alasan ini tergambarlah di
muka saya bencana yang akan menimpa Indonesia. Tindakan gila-gilaan dari
pemuda ini pasti gagal. Putsch ini akan membunuh Revolusi Indonesia.
Hari itu juga ternyata, bahwa pemuda-pemuda yang berdarah panas ini tidak dapat merealisir teori mereka sendiri. Putsch
tidak jadi terjadi, di luar Jakarta tak ada persiapan sama sekali.
Hanya Jepang yang telah siap dengan alatnya yang masih lengkap untuk
menyambut segala kemungkinan.
Di Rengasdengklok tidak ada perundingan
suatu pun. Di sana kami menganggur satu hari lamanya, seolah-olah
mempersaksikan dari jauh gagalnya suatu cita-cita yang tidak berdasarkan
realitet. Tetapi, kalau ada satu tempat di Indonesia betul-betul ada perampasan kekuasaan, tempat itu adalah Rengasdengklok.
(Bersambung ke bagian II)
[1] Yang sebenarnya tangsi Rengasdengklok adalah asrama Peta. Pasukan Jepang tak ada di sana.
[2] Dimyati menulis bahwa uraiannya tentang perjungan Proklamasi diambil dari buku Riwayat Proklamasi 17 Agustus 1945
karangan Adam Malik. Jika diperhatikan dengan teliti, Muhammad Dimyati
baru menulis cerita dalam bukunya, belum mengarang sejarah.
Sumber: http://www.komunitasnuun.org/2016/08/proklamasi-sudut-pandang-bung-hatta-i/
0 Komentar