Mohammad
Roem merupakan seorang Muslim yang hidup di Indonesia pada abad-20 yang lalu.
Beliau banyak mengalami peristiwa dan berperan dalam sekian banyak kejadian
penting bagi bangsa ini. Pandangan jernihnya mengenai perbedaan, dalam hal ini
perbedaan mengenai penentuan akhir Ramadhan dan awal Syawal, perlu untuk kita
renungi. Pak Roem dengan rendah hati dan penuh kesadaran menempatkan diri
sebagai seorang awam dalam perkara penentuan bulan.
Beliau
memang bukan ahli ilmu falak. Beliau seorang diplomat dan banyak belajar soal
hukum. Akan tetapi keawaman beliau ialah keawaman seorang bijak, bukan keawaman
akar rumput yang mudah kering dan gampang terbakar. Sifat keawaman seperti yang
dicontohkan tokoh Masyumi inilah yang penting bagi kehidupan umat pada masa
kini. Sebab, pada akhirnya, saling menghormati memang bukan perkara bisa atau
tidak bisa, melainkan masalah mau atau tidak mau.
Awal
dan Akhir Bulan Puasa, Sikap Seorang Awam*
Peranan
Bunyi Beduk
Di
antara tahun 1930 dan 1940 penulis ini mula-mula tinggal di Gang Sawo, kemudian
berpindah-pindah di Gang Kumpi Tamberang, Gang Jankung, Gang Tanah Komandan,
kembali lagi ke Gang Sawo, pindah ke Kemayoran Bandungan Jago, akhirnya di Gang
Kebon Jawa.
Tidak
pernah dari tempat-tempat tinggal penulis itu bunyi beduk tidak kedengaran,
kadang-kadang rumah penulis dekat dengan langgar. Dalam bulan puasa suara beduk
itu peranannya penting dalam penghidupan orang kampung.
Isyarat
beduk memberitahukan kepada jamaah kampung bahwa bulan puasa sudah datang.
Kemudian tiap hari di waktu sore bunyi beduk itu pada titik yang tepat membawa
berita gembira bahwa kita sudah boleh makan dan minum lagi, serta rasa puas
bahwa kita sudah beribadah puasa satu hari lagi.
Kalau
kita sudah puasa 29 hari, dengan hati berdebar-debar, kita menunggu bunyi
beduk, apakah esok hari kita sudah berlebaran atau harus mencukupkan 30 hari.
Kadang-kadang
isyarat beduk itu datangnya agak terlambat, lama sudah waktu Isya. Tadinya
suasana sudah tenang, dapur sudah gelap dan orang-orang sudah bersiap-siap
untuk tidur. Sekonyong bunyi beduk memberitahukan bahwa besok hari Lebaran.
Maka kampung yang sudah hampir tidur bangun kembali. Suara manusia, terutama
para ibu terdengar sibuk. Warung Cina di kampung buka lagi dan banyak orang
datang berbelanja. Suara orang bertakbir kedengaran sedang suara beduk terus
berbunyi semalam suntuk.
Suasana
Lebaran meliputi seluruh kampung. Kita merasa gembira karena bulan puasa sudah
berakhir, besok boleh makan dan minum dan berpesta.
Suasana
gembira itu bercampur dengan keluhan kaum ibu, yang harus kerja keras malam
itu, masak ketupat dan lauk-pauk. Tapi keluhan itu tidak menghilangkan suasana
gembira.
Kalau
malam itu isyarat beduk tidak terdengar, maka ketenangan terus berlangsung, dan
esoknya kita puasa satu hari lagi. Sebenarnya kita sedikit kecewa masih harus
puasa sehari lagi. Tapi apa boleh buat, perintah agama harus ditaati; apalagi
kalau kita sudah mampu berpuasa 29 hari. Kaum ibu dapat mengatasi rasa kecewa
itu dengan mengatakan bahwa kali ini mereka dapat bersiap-siap, tidak dengan
terburu-buru. Begitulah orang kampung menentukan awal dan akhir bulan puasa.
Ada
kawan sekampung penulis waktu itu, yang tidak menggantungkan diri kepada beduk.
Ia anggota Muhammadiyah, yang mulai dan mengakhiri puasa menurut pengumuman
dari perserikatannya. Kadang-kadang ia mulai bersama, atau sehari sebelumnya.
Kadang-kadang sehari sebelum kita mengakhiri bulan puasa ia sudah berbuka
puasa. Tapi tidak pernah perbedaan itu lebih dari satu hari.
Percakapan
seperti di bawah ini pernah berlangsung antara dia dengan penulis:
Dia
: “Saudara seorang yang terpelajar, mengapa kok masih mengikuti
permulaan dan akhir bulan puasa dengan bunyi beduk? Tidakkah lebih maju untuk
mengikuti mereka yang menentukan dengan perhitungan ilmu falak.”
Penulis
: “Saudara benar, menamakan saya seorang terpelajar. Tapi kalau saya lulusan
pelajaran, saya sarjana hukum, bukan sarjana ilmu falak. Tapi bukankah sama
saja, mulai dan mengakhiri bulan puasa dengan cara hisab atau rukyat.”
Dia
: “Benar, tapi cara hisab itu lebih maju, dan lebih sesuai dengan orang yang
terpelajar.”
Penulis
: “Bagi saya alasannya lain. Kecuali cara begini ini sudah saya ikuti, waktu
saya masih ikut orang tua di desa, sekarang saya ingin berpuasa dan berlebaran
bersama orang kampung. Sebagai ibadah puasa kedua-duanya toh diperbolehkan oleh
agama. Yang satu tidak lebih dari yang lain. Bagi saya mengikuti beduk sama
saja dengan mengikuti ilmu falak. Malah kalau mau, saya dapat mengerjakan
sendiri tanpa melihat apa bulan baru sudah ada. Tidak mungkin saya menentukan
sendiri bulan secara hisab. Dalam dua hal itu saya akhirnya hanya pengikut.”
Di
waktu itu, di Jakarta beduk untuk memberitahukan datangnya Lebaran dibunyikan
atas perintah “de Hoofd Penghoeloe van Batavia”, Haji Hasan, sesudah menerima
laporan tim yang mengerjakan rukyat dan laporannya dipandang memenuhi segala
syarat. Tugas yang dulu dikerjakan oleh Hoofd Penghoeloe tersebut sekarang
menjadi wewenang Kementerian Agama, yang mengumumkan hal itu dengan saluran
radio TV dan beduk di kampung-kampung.
Di
tahun 30-an itu Kiai Haji Mansur dari Jembatan Lima sudah terkenal sebagai
ulama besar dan seorang ahli ilmu falak. Jadwalnya yang luas diakui
kebenarannya, dijual di banyak toko buku.
Kiai
Mansur tidak saja terkenal sebagai ulama besar dan ahli ilmu falak, melainkan
juga sebagai orang yang bebas dan berani mengucapkan pendiriannya sendiri
mengenai beberapa masalah. Ia kadang-kadang juga mengkritik Pemerintah
Kolonial. Andai kata penulis hidup di lingkungan Jembatan Lima, tentu penulis
mengikuti Kiai Mansur dalam menentukan permulaan dan akhir puasa.
Rahmat
Tuhan bukan Perpecahan
Sekali
peristiwa di tahun 30-an itu, pada hari 30 bulan puasa, penulis berkunjung ke
rumah kawan anggota Muhammadiyah tersebut. Ia berpakaian lengkap dan duduk
menghadapi segelas air sirop dan piring kecil dengan kue. Ia sudah berlebaran.
Penulis:
“Selamat Idul Fitri.”
Dia
: “Terima kasih. Besok saya akan mengucapkan yang sama kepada saudara.”
Rumah
kami berdekatan. Atas pernyataan penulis, ia terangkan bahwa ia baru kembali
dari Gang Kenari, di mana anggota-anggota Muhammadiyah bersama-sama menjalankan
sembahyang Idul Fitri. Pada saat itu saya ingat kepada ajaran agama yang
mengatakan, barang siapa tahu, bahwa bulan baru sudah datang, maka haramlah
baginya berpuasa.
Penulis
masih berpuasa, kawan itu sudah merayakan hari Lebaran. Dengan menunjuk kepada
ajaran tersebut penulis berkata: “Kalau begitu puasa saya haram karena hari ini
sudah bulan baru.”
Dia
: “Tidak begitu. Kalau saya masih puasa, maka haramlah puasa saya, karena saya
menganut paham hisab, yang menentukan hari ini bulan baru. Bagi Saudara
larangan itu besok berlaku. Ini hari saudara masih wajib berpuasa.”
Penulis
: “Dengan tafsiran itu ajaran menjadi terang, berhubung dengan adanya
kemungkinan perbedaan jatuhnya bulan baru.”
Dia
: “Begitulah, sebab soalnya bukan
menentukan bulan baru semata-mata. Soalnya berpuasa bulan Ramadhan, yang
banyaknya tidak selamanya 30 hari, sedang agama membolehkan kita menentukan
bulan Ramadhan itu baik secara rukyat maupun hisab.”
Kawan
itu lebih tua dari penulis, dan meskipun tidak termasuk orang yang berpelajaran
tinggi menurut pendapat penulis ia sangat maju dan pandai menerangkan
ajaran-ajaran agama.
Pada
waktu itu Sekolah Tinggi Hukum baru saja datang dari Nederland, seorang guru
besar bernama Prof Eggens, yang terkenal sebagai pembawa pembaharuan dalam ilmu
hukum. Ia mengajarkan cara berpikir baru, berpikir secara dinamis dan analitis,
bukan cara kuno, berpikir secara absolutis dan statis. Dengan cara berpikir ini
memang beberapa soal hukum dapat diartikan lebih terang dan memuaskan.
Tanpa
menjadi murid Prof Eggens, kawan penulis itu sudah berpikir secara analitis dan
dinamis, sudah menafsirkan ajaran agama tersebut dengan tepat. Ada mubaligh
yang tidak tahu mengetrapkan ajaran itu. Penulis tanyakan kepadanya: “Mengapa
kita tidak bersatu?”
Dia
: “Bersatu bagaimana? Yang begini
ini tidak terjadi tiap tahun. Sering penetapan dengan dua cara itu sama
hasilnya. Tapi kalaupun hasilnya berlainan, itu hanya hari yang ke-30. Dan kita
sudah bersatu 29 hari lamanya. Pengikut rukyat dan hisab bersatu, menjalankan
ibadah puasa, berdasarkan syariat yang sama. Hanya satu hari tidak sama, karena
apa? Karena agama Islam memberi kebebasan bagi umatnya untuk memilih di antara
dua cara itu. Puasa tidak selamanya 30 hari. Nabi sendiri berpuasa lebih banyak
jumlah bulan yang 29 hari daripada yang 30 hari. Yang kita berbeda itu pada
hari ke-30. Dan berpesta serta sembahyang Id sunah, sedang berpuasa wajib.
Mengapa kita lebih suka melihat adanya perpecahan? Mengapa tidak seperti yang
dikatakan Nabi, bahwa perbedaan paham itu rahmat dari Tuhan.”
Penulis:
“Tidakkah dapat dipersatukan?”
Dia
: “Perbedaan paham itu sudah berjalan berabad-abad.”
Penulis
rasa dulu-dulu sudah ada usaha ke arah itu. Sekarang pun juga. Karena rukyat
dan hisab itu kedua-duanya diperbolehkan oleh agama, maka tidak ada kekuasaan
dunia yang dapat mengubahnya. Nyatanya sampai sekarang tetap begitu. Hanya kita
yang bersalah memandang hal itu sebagai perpecahan. Dalam hal ini malah Pemerintah
Hindia Belanda menunjukkan pengertian. Dulu tanggal 1 bulan Ramadhan hari libur
dan tanggal 1 bulan Syawal juga libur. Kemudian libur tanggal 1 Ramadhan
dihapuskan dan diadakan dua hari libur waktu Lebaran untuk menampung
kemungkinan adanya Idul Fitri yang tidak sama jatuhnya.
Dari
Beduk sampai Natsir
Pada
tahun 1950 penulis tinggal di Merdeka Barat. Dari tempat itu bunyi beduk tidak
kedengaran. Suasana sudah lain dari hidup di kampung. Tetangga sebelah kiri
Komisaris Agung Kerajaan Nederland dengan siapa penulis tidak bisa
bercakap-cakap bila kita mulai puasa. Rumah sebelah kanan Kantor Partai
Sosialis dan dengan kawan-kawan itu penulis hanya bicara soal politik.
Waktu
bulan puasa sudah mendekat penulis merasakan suasana sudah lain, tidak seakrab
lagi penghidupan seperti di tahun 30-an. Dan sebagian besar kawan-kawan dekat
penganut cara hisab, sedang sembahyang Idul Fitri di tanah lapang sudah menjadi
kebiasaan kawan-kawan itu.
Beberapa
hari sebelum bulan puasa saya telepon Natsir untuk menanyakan bila kita mulai
puasa. Natsir menjawab dua hari lagi.
Kemudian
saya beritahukan hal itu kepada istri penulis: “Kita lusa mulai puasa.”
Istri
penulis : “Bagaimana kau tahu?”
Penulis
: “Barusan saya telepon Natsir”
Istri
penulis sambil senyum berkata : “Dari beduk sampai ke Natsir. Sayang tidak 20
tahun lebih dulu kau telepon Natsir. Tapi lebih baik terlambat daripada tidak.”
Penulis
: “Mengapa komentar kau begitu?”
Istri
penulis : “Saya tidak perlu lagi membuat ketupat dengan
mendadak.”
Begitulah
penulis di tahun 1950 beralih dari pengikut rukyat menjadi pengikut hisab, dan
penulis tidak merasa murtad.
Bukan
Baru di bawah Matahari
Hari-hari
ini penulis ingat lagi kepada percakapan-percakapan dengan kawan tersebut 40
tahun yang lalu. Selama ini soal awal dan akhir puasa selalu menjadi bahan
tukar pikiran. Pada pokoknya berdialog adalah baik. Tapi jangan ini mencapai
yang tidak mungkin.
Di
waktu akhir ini memang banyak ditanyakan mengapa umat Islam tidak bersatu? Dan
tidak cocoknya ahli hisab dengan ahli rukyat itu dipandang sebagai salah satu
contoh. Malah orang sudah tidak tanya lagi dan seolah-olah sudah menjadi
kenyataan umat Islam berpecah belah, umat Islam acak-acakan. Padahal sejarah
membuktikan bahwa di antara agama-agama besar di dunia ini Islam yang berhasil
memelihara kesatuannya dengan memberi kebebasan maksimal kepada pemeluknya
dengan memelihara yang pokok.
Kalau
tiap-tiap kali mendengar golongan Islam dikatakan tidak bersatu, kadang-kadang
penulis ingin mendengar apakah golongan-golongan lain di Indonesia ini lebih
bersatu.
Berkenaan
dengan soal awal dan akhir bulan puasa kadang-kadang penulis melihat ada kurang
pengertian.
Tiga
tahun yang lalu hari Lebaran tidak jatuh pada hari yang sama. Menurut hisab
hari Rabu, menurut rukyat hari Kamis.
Kementerian
Agama sesuai dengan wewenangnya menentukan lebih dulu secara rutin untuk Idul
Fitri tahun itu dua hari libur yaitu Kamis dan Jumat. Menurut penulis
Kementerian Agama waktu itu wajib mengubah keputusan rutinnya menjadi Rabu dan
Kamis. Hal ini tidak dikerjakan.
Dua
hari libur untuk Idul Fitri itu tidak berarti tanggal 1 dan 2 bulan Syawal
menurut satu aliran saja, tetapi berarti kalau ada perbedaan tentang jatuhnya
tanggal 1 bulan Syawal, maka tiap golongan menurut pahamnya kebagian satu hari
libur.
Menurut
kawan penulis tersebut di atas pengertian ini sudah dimiliki Pemerintah Hindia
Belanda dulu.
Percakapan-percakapan
penulis dengan kawan tersebut yang berlangsung selama 40 tahun yang lalu
penulis tuliskan di sini, sebaik-baik penulis masih ingat. Semoga ada gunanya
bagi pembaca.
Jakarta,
bulan Puasa 1391
Indonesia
Raya nomor Lebaran
=====
*Mohammad Roem, Bunga Rampai dari Sejarah (II), Penerbit
Bulan Bintang, Jakarta, 1977. Hlm 171-178.
0 Komentar