TAK LAMA berlangsung peringatan hijab sedunia pada 1 Pebruari lalu. Peringatan itu telah berlangsung sejak tahun 2013 yang digagas oleh Nazma Khan di New York. Peringatan hijab menjadi banyak wanita dunia ikut merayakan termasuk kaum Muslimin di Indonesia.
Sebelumnya, mencuat kasus dugaan intoleransi di SMKN 2
Padang. Sekolah ini mewajibkan siswi memakai jilbab, termasuk non-Muslim,
hingga kemudian ramai di media sosial. Bahkan beberapa waktu lalu juga viral
kisah Ni Made Ayu Masnathasari, mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas
Muslim Indonesia (UMI) di Kota Makassar yang telah memakai hijab selama lebih
dari lima tahun karena menjalani pendidikan, padahal ia merupakan mahasiswa
yang beragama Hindu di kampus Islam tersebut.
Jilbab dalam sorotan
Kasus intoleransi khususnya terkait hak menggunakan jilbab
sering muncul di negeri ini. Kita pernah mendengar kasu pelarangan jilbab di
SMAN 1 Maumere 2017 dan di SD Inpres 22 Wosi Manokwari pada 2019. Jauh
sebelumnya, pada 2014 pelarangan jilbab juga sempat terjadi pada
sekolah-sekolah di Bali.
Namun sangat disayangkan, dengan berjarak hari yang singkat,
kaum Muslimin Indonesia dikagetkan dengan munculnya SKB yang diteken tiga
menteri, yakni Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim,
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian, dan Menteri Agama (Menag) Yaqut
Choulil Qoumas.
Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri mengenai penggunaan
pakaian seragam dan atribut bagi peserta didik, pendidik dan tenaga
kependidikan di satuan pendidikan resmi diterbitkan hari Kamis, 03 Pebruari
2021 kemarin. Keluarnya SKB ini merespons isu intoleransi cara berpakaian di
sekolah yang belakangan ramai diperbincangkan.
“Bahwa pakaian atau pakaian seragam dan atribut bagi para
murid dan para guru adalah salah satu bentuk perwujudan moderasi beragama dan
toleransi atas keragaman agama,” kata Mendikbud Nadiem Makarim dalam konferensi
pers SKB 3 Menteri secara daring, Rabu, 3 Februari 2021.
Dalam SKB ini ditegaskan secara spesifik jika sekolah negeri
di Indonesia tidak bisa bersikap intoleran terhadap agama, etnisitas maupun
diversivitas apa pun. Para murid, guru, dan tenaga kependidikan bebas untuk
dapat memilih seragam dan atribut tanpa kekhususan atau dengan kekhususan.
“Siapa individu itu adalah guru dan murid dan tentunya
orangtua, itu bukan keputusan daripada sekolah di dalam sekolah negeri,” ujar
Nadiem.
Selanjutnya Nadiem mengatakan, Pemda maupun sekolah tidak
boleh mewajibkan atau melarang seragam dan atribut khusus agama tertentu.
Sebab, hal ini merupakan hak di masing-masing individu, baik itu guru atau
siswa.
Nadiem menerangkan SKB Tiga Menteri ini terbit berdasarkan
sejumlah pertimbangan. Salah satunya, sekolah memiliki peran penting dalam
menjaga eksistensi ideologi negara, yaitu Pancasila, UUD 1945, dan keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Di kesempatan lain, Wakil Presiden Ma’ruf Amin tidak
ketinggalan memberi tanggapan terkait terbitnya Surat Keputusan Bersama (SKB)
Tiga Menteri. Hal itu dia utarakan dalam acara Mata Najwa bertema ‘Sekali Lagi
Soal Toleransi’. Katanya, SKB itu mengatur Penggunaan Seragam Sekolah, dengan
harapan dapat melindungi seluruh warga bangsa.
“Sudah saatnya pemerintah mengambil langkah, membuat suatu
aturan yang bisa memberikan tata cara atau aturan yang bisa mencerminkan
kebinekaan dan tidak merusak toleransi. Maka itu, SKB ini sesuai dengan
aspirasi dan untuk menjaga hubungan serta melindungi seluruh warga bangsa ini,”
kata Wapres Ma’ruf pada acara Mata Najwa, Rabu (03/02/2021).
Menurut Ma’ruf persoalan yang terjadi di Padang, Sumatera
Barat sudah menjadi isu nasional yang bisa mengganggu keberlangsungan hidup
berbangsa dan bernegara.
“Penggunaan jilbab merupakan pilihan individu dari umat
Islam, sehingga hal itu tidak perlu diatur dalam suatu Peraturan Daerah
(Perda),” kata Wapres. “Memaksakan aturan untuk non-Muslim memakai jilbab,
dilihat dari aspek kenegaraan juga tidak tepat dan tidak benar. Dari segi
keagamaan juga tidak benar. Maka pelurusan terhadap kebijakan itu harus
dilaksanakan, harus diluruskan, sehingga tidak terus terjadi
kekeliruan-kekeliruan itu,” tambahnya.
Kilas balik gerakan jilbab
Tepat 40 tahun lalu, gerakan jilbab di Indonesia mencuat
seperti halnya persoalan seragam sekolah berjilbab pada pekan ini. Sebagaimana
dikutip dari buku Revolusi Jilbab, gerakan bermula pada tangal 15 Juli 1980,
saat Mejelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Barat mengirim surat yang
ditandatangani oleh Ketua dan Sekretaris MUI-EZ Muttaqien dan EZ Abidin yang ditujukan kepada Kanwil
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Jawa Barat.
Dalam surat tersebut diinformasikan munculnya kesadaran
menutup aurat di kalangan remaja Muslim pada saat itu. MUI meminta setiap
lembaga umum seperti sekolah negeri agar memebrikan pelayanan yang layak bagi
mereka, baik dalam olah raga renang maupun kegiatan lainnya, mengingat
kebebasan hidup beragama di jamin penuh dalam UUD 1945 pasal 29.
Dengan demikian MUI meminta dan memberikan petunjuk pokok
tentang masalah seragam ini untuk menghindari kebijakan yang berbeda-beda dari
setip sekolah. Perihal surat MUI tersebut kemudian dijawab oleh Direktur
Jenderal Pendidikan Dasar Dan Menengah pertanggal 26 September 1980 Prof. Darji
Darmodiharjo, SH menerangkan bahwa pakaian yang cocok untuk pelajar putri itu
tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan.
Pakaian itu juga harus disesuaikan dengan kepribadian
Indonesia dan sebaiknya mepperhatikan kebiasaan daerah. Surat ini menunjukkan
bahwa sebenarnya tidak ada masalah dengan kerudung atau jilbab. Inilah mula
pertama munculnya pemakaian seragam sekolah berkerudung.
Diawali pada murid Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Negeri di
Bandung pada tahun 1979. Siswi-siswi yang berkerudung di sekolah tersebut tidak
dilarang, tetapi hendak dikelompokkan dalam satu kelas tersendiri.
Rupanya, siswi-siswi tersebut menolak dipisahkan. Hal ini
membuat Ketua MUI Jawa Barat, EZ Muttaqien
turun tangan, dan akhirnya pemisahan tidak terjadi dilakukan.
Kasus berikutnya di SMA Negeri 1 Jember Jawa Timur, karena
ada siswi berkerudung bernama Triwulandari mendapat tantangan. Ia dipaksa
pulang oleh kepala sekolah karena
dianggap melanggar aturan pakaian seragam. Tak sekadar dipanggil kepala sekolah tapi juga dipanggil
oleh Kodim 0824 Jember.
Kkasus lain terjadi di SMA Negri 3 Bandung. Di mana delapan
siswi yang mengenakan kerudung tak mau mengenakan celana pendek saat olahraga.
Dan masih banyak lagi kasus-kasus siswi-siswi berkerudung di seluruh negeri
ini.
Sedangkan di Jakarta, maraknya jilbab dikalangan pelajar SMA
Negeri dimotori oleh Pelajar Islam Indonesia (PII) Jakarta yang dikomandani
Zaenal Muttaqien yang ketika itu menjadi pengurus PII Komisariat Cempaka Putih Jakarta. Gerakan jilbab ini
bergerak karena adalnya motivasi kuat yang dilakukan di pelatihan-pelatihan PII
seleuruh Indonesia. Dan anggota PII sebanyakan adalah pelajar, maka segeralah
menjadi semacam gerakan jilbab di sekolah di seluruh tanah air.
Sebetulnya tidak ada materi jilbab di setiap pelatihan. Tapi
motivasi jilbab itu disisipkan dalam materi akhlak. Meski demikian menurut Zaenal
Muttaqien tidak ada pemaksaan kepada peserta untuk mewajibkan jilbab, hanya
disampaikan bahwa di dalam ajaran Islam yang terkadung di al-Quran bahwa
penggunaan jilbab bagi Muslimah yang dewasa adalah wajib. Dari situlah muncul
kesadaran sebagian besar peserta pelatihan itu menggunakan jilbab, sekaligus
dikuati dengan sosialisasi Gerakan Amal Sholeh (GAS) kala itu.
Tindaklanjutnya adalah pengurus wilayah PII Jakarta
mengirimkan surat pernyataan pada 8 Januari 1983 kepada semua pihak yang
berwenang dan terlibat , antara lain ditujukan pada Ketua MPR/DPR,
menteri-menteri. Tak urung, MUI juga ikutan menuntaskan masalah jilbab.
(Majalah Media Dakwah, No 104 tahun 1983).
Pada masa-masa berikutnya terjadi komunikasi semakin
intensif antara MUI, PII dan Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) dalam
membahas persoalan jilbab di sekolah-sekolah untuk melakukan advokasi. Dengan
perjuangan gigih, kasus jilbab bahkan sampai ke pengadilan.
Kini masalah seragam sekolah maupun di kampus seharusnya
tidak diusik kembali utamanya soal jilbab. Karena jilbab bagi seorang Muslimah
adalah sebuah kewajiban, sedangkan jika ada pihak lain di luar Islam yang ingin
menggunakannya entah dengan alasan untuk ‘menutup aurat’ , keamanan atau karena
alasan kenyamanan tubuhnya tanpa paksaan, seharunya tidak dipermasalahkan.*
Akbar Muzakki, Penulis peminat masalah sejarah
Sumber:
https://www.hidayatullah.com/artikel/mimbar/read/2021/02/04/200875/jangan-patahkan-revolusi-jilbab.html
0 Komentar