Sejak merdeka Negara Republik Indonesia masih menghadapi persoalan pelik bahkan bisa mengancam perpecahan. Berbagai persoalan penting, lupa atau dilupakan oleh sejarah, dan beberapa fakta sejarah dipaksa untuk dikaburkan.
Dan sejarah di Indonesia itu seperti ada adagium sejarah yang tidak berpihak pada yang kalah dan lemah. Dan sejarah harus selalu berpihak pada pemegang kekuasaan, sekali pun ada kebijakan yang salah.
Salah satu peristiwa sejarah yang dipandang kabur dan menorehkan keutuhan negara, walaupun pahit di mata pemerintah saat itu. Dan perlakuannya pun menjadi ‘salah’. Adalah peristiwa sejarah Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia, yang dikenal dengan PRRI, yang berkedudukan di Bukittinggi, Sumatera Barat (Sumbar).
Menelusuri jejak PRRI sesungguhnya tak bisa dilepaskan dengan keterlibatan tentara dan para punggawa partai Masyumi. Meski pun dalam hal ini, mereka (tokoh Masyumi) saat itu menyatakan diri sebagai sipil diluar kendali partai.
Karena kebesaran Masyumi bukan saja partai, organisasi atau gerakan politik. Masyumi dikenal sebagai sebuah gagasan tentang moralitas dan adab politik yang hingga hari ini sulit untuk diperjuangkan. Ada ketegasan politik yang melibatkan partai, dan bisa juga berpirau pun-bisa memilah kepentingan bangsa, partai atau pribadi.
PRRI merupakan drama politik yang menunjukkan sikap yang tak kenal kompromi yang dipandegani dari sipil seperti Sjafruddin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap dan Mohammad Natsir. Dari kalangan militer, Ahmad Hussein, Simbolon, Zulkifli Lubis, dan Dahlan Djambek.
Pada tanggal 15 Februari 1958 saat Achmad Husein memproklamasikan berdirinya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), pemerintah pusat kaget. Ada apa dengan gerakan ini?
Hal ini dipandang sebagai gerakan non parlementer yang mengarah pada separatisme. Padahal ini sebuah gerakan pengingat agar Negara tidak terlena dengan kekuasan demokrasi terpimpin.
Menurut Ahmad Syafii Maarif dalam tulisan PRRI: Upaya Menyelamatkan Keutuhan Bangsa disebutan, bahwa mereka (Trisula Masyumi) berupaya untuk menegakkan konstitusi, karena penyelewengan Soekarno terhadap konstitusi pada saat itu sudah luar biasa parahnya. Malangnya, dalam banyak riwayat mereka dikategrikan sebagai perancang separatisme. Padahal jika dicermati secara jujur tulis Syafii Maarif, PRRI adalah upaya menyelamatkan keutuhan bangsa.
Melihat soliditas dan kekompakkan tiga tokoh Masyumi tersebut, sampai-sampai Soekarno merasa perlu untuk mencerai berikan ketiganya.
Apa yang dilakukan Trisila Masyumi itu merupakan panorama yang menakjubkan di tengah kehidupan elit politik saat itu yang penuh dengan suasana kematian akal sehat. Dan kebijakan dan ketegasan politik M Natsir dan 2 kawannya itu mengajarkan kepada generasi saat ini tentang mempertahankan prinsip bernegara dan ketegasan mengolah kebijakan Negara. Meluruskan yang bengkok, dan membela yang benar meski itu berseberangan dengan kepentingan politik bangsa dan negara.
George Mc. Turnan Kahin, dalam Barbara Sillars Harvey dalam buku Permesta: Pemberontakan Setengah Hati (seperti dikutip Suswanta dalam buku Keberanian untuk Takut), disebutkan bahwa PRRI memicu terjadinya beberapa peristiwa lain yang justru mematikan demokrasi parlementer sekaligus memantapkan jalan bagi tegakknya demokrasi terpimpin. Kegagaan PRRI menjadikan kekuatan Soekarno, PKI dan militer semakin menjadi besar.
Apa yang sebenarnya diinginkan oleh para penggagas PRRI ini terhadap pemerintah? Sebagaimana ditulis oleh Ikatan Keluarga Pahlawan Indonesia dengan judul Pemberontakan PRRI/Permesta, dalam sebuah rapat akbar di Padang tanggal 10 Februari 1958, Letkol Achmad Husein memberi ultimatum kepada pemerintah pusat yang disebut “Piagam Perjuangan Menyelamatkan Negara”.
Inti Piagam tersebut adalah :
Menuntut supaya dalam 5 X 24 jam sejak tuntutan ini diumumkan, Kabinet Djuanda mengembalikan mandat kepada Presiden/Pejabat Presiden, dan Presiden/Pejabat Presiden mengambil kembali mandat Kabinet Djuanda. Supaya Hatta dan Hamengku Buwono IX ditunjuk untuk membentuk satu Zaken Kabinet Nasional. Berseru kepada Bung Hatta dan HB IX agar jangan sekali-sekali menolak tanggung jawab ini.
Menuntut kepada DPR dan para pemimpin rakyat supaya dengan
sungguh-sungguh memungkinkan Hatta-HB IX membentuk kabinet.
Menuntut kepada Presiden Sukarno supaya bersedia kembali
mematuhi kedudukannya sesuai dengan konstitusi, dan memberi kesempatan
sepenuhnya kepada Hatta-HB IX untuk membentuk kabinet.
Apabila tuntutan 1 dan 2 tidak dipenuhi maka sejak saat itu
kami terbebas dari wajib taat kepada Dr. Ir. Sukarno sebagai Kepala Negara.
Masyumi dan krisis politik terpimpin
Harian Republika dalam judul Sejarah Masyumi dan PRRI: Kisah Perlawanan Anti Komunis, menyebutkan, sebelum bersama-sama lima partai lain Masyumi mengirim telegram kepada Letkol Ahmad Husein, dan mengeluarkan pernyataan yang ditandatangani oleh H. Soekiman Wirjosandjojo (Wakil Ketua I) dan H.M.Yunan Nasution (Sekretaris Umum).
Sesudah menyatakan rasa syukur dan terima kasih karena telah diberi kesempatan untuk bertukar pikiran dengan berbagai pihak yang berwenang, dan mengkonstatir terdapat kesamaan pandangan dalam melihat perkembangan keadaan, Masyumi menyampaikan pendiriannya.
Masyumi menegaskan kembali dasar-dasar politik yang dilaksanakannya selama ini, yaitu:
Mengembalikan kedudukan Undang-Undang Dasar.
Mengembalikan ketertiban hukum dan demokrasi.
Menjaga jangan sampai daerah-daerah melepaskan dirinya
dari ikatan Negara Republik Indonesia.
Meyakinkan bahwa kekerasan senjata tidak akan membawa
penyelesaian.
Masyumi mengakhiri statemetnya dengan narasi berikut ini:
“Maka Pimpinan Partai Masyumi terus menerus berusaha untuk
menemui satu jalan yang dapat ditempuh bersama oleh pusat dan daerah untuk
menyelamatkan Negara ini, dan dalam taraf sekarang ini mengajak dengan
sungguh-sungguh kepada pihak-pihak yang
bersangkutan untuk segera mengambil langkah bersama yang nyata untuk
menghindarkan terjadinya sesuatu yang tidak bisa dipulihkan lagi.”
Sebagai tindak lanjut dari statementnya, Masyumi melakukan kontak intensif dengan Pejabat Presiden Mr. Sartono, Perdana Menteri Djuanda, Wakil Perdana Menteri Mr. Hardi dan K.H. Idham Chalid, KSAD Jenderal Nasution, mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta, serta para pemimpin partai politik: PNI (Soewirjo), NU (K.H.M. Dachlan), Partai Katolik (I.J. Kasino), Partai Kristen Indonesia (A.M. Tambunan), dan lain-lain.
Kontak-kontak yang sangat luas itu dilakukan oleh Soekirman Wirjosandjojo, Prawoto Mangkusasmito, K.H. Faqih Usman, Mohamad Roem, Zainal Abidin Ahmad, dan lain-lain. Semua ikhtiar Masyumi itu di apresiasi, baik oleh PM. Djuanda dalam pidato di DPR, maupun oleh Presiden Sukarno dalam pidato saat menerima kembali jabatannya dari Pejabat Presiden Mr. Sartono.
Sejak Januari 1957, prestise Kabinet Ali Sastroaamidjojo II mendapat kritik dan sorotan tajam karena ketidakmampuannya mengatasi berbagai krisi yang terjadi. Karena tampilnya kabimet Ali kedua kalinya sangat mengecewakan militer dan pimpinan nasional karena dinilai semakin memberikan keleluasaan gerak PKI. (Suswanta, Keberanian untuk Takut, hal 77).
Kondisi politik dan ekonomi yang tidak stabil jelas tidak memungkinkan terselenggaranya pembangunan dan pemerintahan dengan baik. Daerah menuduh pusat hanya mementingkan kepentingannya sendiri, terlalu birokratis dan sentralistis, terlalu banyak menyedot dana dari daerah tapi tidak dipergunakan untuk membangun daerah.
Selain itu, munculnya kabinet kedua Ali justru memperlihatkan krisis perekonomian, keamanan yang buruk khususnya di Sulawesi Selatan, Aceh, dan Jawa Barat. Dalam suasana seperti itu juga Soekarno dalam kunjungan keluar negeri yang memakan waktu 12 hari ke negara-negara komunis seperti Uni Soviet, Mongolia, Cekoslovakia dan Cina. Dan saat berpidato sungguh menganggetkan masyarakat Indonesia yang mencita-citakan demokrasi. Justru Soekarno senantiasa mengulang mimpinya untuk mengubur partai-partai di Indonesia.
Seperti dikutip dalam buku karya Suswanta, Soekarno paa hari Sumpah Pemuda 26 Oktober 1956, sekembalinya dari Cina dan Moskow secara terbuka mengulang kembali isi pidatonya bahwa penyebab ketidakstabilan politik adalah karena banyaknya partai politik. Oleh karena itu, cara untuk mengatasinya adalah dengan menguburkan parti-partai yang ada, kemudian diatasi dengan sistem baru hasil konsepsinya yang dinamakan demokrasi terpimpin.
Mc. Riclefs dalam buku Sejarah Indonesia Modern, menyebutkan, M Natsir menentang gagasan demokrasi terpimpin. Partai Murba yang hanya mempunyai kemungkinan kecil untuk dapat mencapai kekuasaan dalam sistem parlementer, memuji gagasan seperti itu dan membuat ikatan yang lebih erat dengan Soekarno.
PNI dan NU tertarik dengan gagasan Soekarno, akan tetapi akan menderita kerugian kalau sistem parlementer dihapuskan, bersikap ambivalen. PKI yang mencari perlindungan mendukung gagasan Presiden, tetapi dengan harapan agar partai politik tidak dibubarkan.
Dan menurut M Natsir, demokrasi di Indonesia jikalau dibiarka terus begini tidak akan mencapai hasil yang diharapkan, baik sebagai sistem politik maupun di laangan ekonomi dalam pertumbuhan nasional.
Sebagaimana dikutip Harian Abadi, 18 Januari 1957, dikutip Suswanta dalam bukunya, Soekarno mengatakan bahwa dengan penguburan partai politik ia tidak bermaksud mengubur demokrasi, akan tetapi dimaksudkan untuk memperingatkan pemimpin-pemimpin partai politik bahwa mereka tidak bisa terus bertindak seperti itu, mengabaikan kebutuhan dan keinginan, harapan serta kekecewaan berjuta-juta orang, hanya karena sudah ada persetujuan diantara para pemimpin di markas besarnya.
Demokrasi, menurut Soekarno, adalah dimaksudkan untuk membela kepentingan rakyat umum dan bukanlah hanya untuk pertunjukan kemerdekaan politik bagi pemimpin partai. “Jikalau kami dapat mempergunakan demokrasi sejati Indonesia dalam kehidupan politik kami, maka kekecewaan dan kesulitan untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan itu akan diterima oleh rakyat Indonesia.”
Dari apa yang diucapkan Presiden Soekarno di atas, jelas bahwa Bung Karno ingin merubah sistem demokrasi parlementer ‘separuh tambah satu’ menjadi ‘demokrasi terpimpin’ demokrasi asli Indonesia yan bersumber pada musyawarah dan gotong royong.
Jadi ada beberapa faktor yang mempengaruhi lahirnya PRRI adalah adanya krisis politik, ekonomi, dan militer. Konflik antar partai, krisis kabinet, gagalnya pembangunan ekonomi, konflik di kalangan militer dan berkembangannya kekuatan PKI merupakan wujud dari krisis saat itu.
Krisis memuncak ketika terjadi perpecahan dwitunggal Soekarno Hatta dan presiden Soekarno melakukan pelanggaran terhadap UUD Sementara, yakni menunjuk dirinya sebagai formatur kabinet, membentuk kabinet ekstra parlementer dengan memasukkan PKI di dalamnya serta membentuk Dewan Nasional yang diketuai dirinya sendiri.
Dalam kondisi seperti ini kasus PRRI dilihat dari tahapan gerakan, menurut Blummer sedang dalam tahap social unrest, yaitu tahap awal sebuah gerakan yang ditandai dengan ketidakpuasan. Sementara sikap presiden Soekarno yang lebih memberikan keleluasaan PKI untuk bergerak, menambah rasa antipasti kalangan sipil dan militer bergolak terhadap pusat kekuasaan.*
Sumber: https://www.hidayatullah.com/kajian/sejarah/read/2021/02/01/200528/prri-soekarno-dan-masyumi.html
0 Komentar